Selama lebih dari dua ribu tahun ini, ajaran Buddha telah membawa manfaat bagi banyak orang. Yang disayangkan ialah selama lebih dari dua ribu tahun ini, masih ada banyak orang yang belum mendengar ajaran Buddha. Suatu hari, saat berjalan bersama sekelompok anggota Sangha, Buddha tiba-tiba membungkukkan badan, mengambil segenggam tanah, dan bertanya pada mereka, “Tanah di tangan-Ku ini atau tanah di Gunung Sumeru yang lebih banyak?”

Para anggota Sangha berkata, “Yang Dijunjung, bagaimana segenggam tanah bisa dibandingkan dengan tanah di Gunung Sumeru?” Buddha lalu meletakkan tanah di tangan-Nya dan berkata, “Murid-murid-Ku, setelah sekian lama berada di sisi-Ku, berapa banyak ajaran yang telah kalian pelajari?” Sariputra berkata, “Saudara sekalian, meski kita mendengar ajaran Buddha dan melihat Buddha membimbing semua makhluk setiap hari, tetapi yang bisa kita lihat sangatlah terbatas. Dibandingkan dengan prinsip kebenaran di dunia ini, ajaran yang kita pelajari pasti tidak banyak.”

Buddha bersukacita mendengarnya dan berkata kepada para anggota Sangha, “Apa yang dikatakan oleh Sariputra memang benar. Meski kalian mendengarkan ajaran-Ku dan melihat-Ku membimbing makhluk lain setiap hari, tetapi sejauh apa kalian bisa memahaminya?” Terlebih, ada banyak orang yang tidak bisa mendengar, melihat, dan mengenal ajaran Buddha ataupun terlahir di zaman Buddha. Dibandingkan dengan kebenaran alam semesta, kebenaran yang kita dengar dan lihat sangatlah sedikit. Jadi, sulit untuk terlahir sebagai manusia dan lebih sulit lagi untuk mengenal ajaran Buddha.

Suatu hari, usai makan, seorang bhiksu mencuci mangkuknya dan menyimpannya. Kemudian, dia mulai melakukan meditasi berjalan di lapangan di luar vihara. Dia berjalan ke bawah sebatang pohon, duduk di sana, dan mulai bermeditasi. Tiba-tiba, dia mendengar, “Yang Arya.” Dia mendengarnya beberapa kali.

Meski dia masih berada di tengah meditasi, suara tersebut berhasil menarik perhatiannya. Dia melihat seekor ular piton yang sangat besar terus mendekatinya. Dia merasa agak panik dan segera berkata, “Apa yang engkau inginkan?” Ular itu berkata padanya, “Pernahkah Yang Arya mendengar nama Raja Agnidatta?” Bhiksu itu berkata, “Pernah, tetapi beliau telah meninggal dunia.” Ular itu berkata, “Aku adalah Raja Agnidatta.” Bhiksu itu berkata, “Ini mustahil. Raja Agnidatta adalah seorang umat Buddha yang selalu memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha. Bagaimana mungkin beliau terlahir menjadi seekor ular piton?”

Ular itu berkata, “Benar, aku adalah seorang umat Buddha serta sering memberi persembahan pada Buddha dan Sangha. Saat aku sakit berat dan sekarat, pelayanku yang sedang mengipasiku tidak sengaja menjatuhkan kipas di wajahku. Saat itu, aku sangat marah. Di tengah kemarahan itulah, aku mengembuskan napas terakhir dan meninggal dunia. Kemarahan itu membuatku terlahir menjadi seekor ular. Aku pernah berbuat baik, juga pernah memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha. Mengapa aku terlahir menjadi seekor ular? Mohon pencerahan dari Yang Arya agar aku dapat terbebaskan.”

Bhiksu itu berkata, “Sayang sekali, meski memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha serta berbuat baik, tetapi engkau tidak mendengar Dharma. Jika mendengar Dharma, engkau tidak perlu terlahir menjadi seekor ular.” Ular itu berkata, “Aku juga tidak tahu mengapa bisa seperti ini.”

Bhiksu itu lalu berbagi dengan ular itu tentang penderitaan, sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan secara mendetail. Lalu, ular itu pergi dengan penuh sukacita.

Sebulan lebih kemudian, tiba-tiba angin bertiup di vihara, bunga-bunga juga berjatuhan dari langit di hadapan Buddha dan para anggota Sangha. Seorang dewa muncul dan bersujud di hadapan Buddha. Dewa itu berkata, “Terima kasih kepada murid Yang Dijunjung yang berbagi ajaran-Mu denganku sehingga aku dapat memahaminya, bertobat, dan terbebas dari kehidupan sebagai ular. Dengan berkah memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha sebelumnya, aku terlahir di alam surga. Aku datang untuk mengungkapkan rasa syukur.” Para anggota Sangha melihat Buddha membabarkan Dharma baginya dan memberkatinya.

Pada zaman Buddha, terdapat kisah seperti ini. Jadi, sulit untuk terlahir sebagai manusia, tetapi sangat mudah untuk terjatuh ke alam hewan. Kebencian dan kemarahan menjelang ajalnya membuatnya terlahir menjadi seekor ular. Beruntung, dia pernah menciptakan berkah sehingga dapat bertemu dengan bhiksu yang menyerap Dharma ke dalam hati dan berbagi Dharma dengannya untuk membebaskan dirinya. Jadi, kita harus bersungguh hati menjaga pikiran kita.

Sulit untuk terlahir sebagai manusia dan lebih sulit lagi untuk mengenal ajaran Buddha. Kita sering kali dirintangi oleh tabiat buruk kita yang sulit diperbaiki. Kelengahan sesaat bisa membuat pikiran kita tidak terkendali. Jadi, kita hendaknya bersyukur kepada Buddha yang mengajari kita dengan cinta kasih dan welas asih serta menunjukkan penderitaan kepada kita agar kita dapat menyadari berkah dan meningkatkan kewaspadaan setelah melihat penderitaan. Inilah tujuan Buddha membabarkan kebenaran tentang penderitaan.