Saat Buddha berada di Jetavana, pagi hari murid-Nya pergi pindapata. Saat mereka pulang dari pindapata, ekspresi mereka terlihat sangat sedih. Buddha pun bertanya pada mereka, “Murid-Ku, kalian hari ini pergi pindapata, setelah pulang, mengapa tidak gembira? Sebenarnya, apa yang terjadi?” Salah satu murid-Nya menjawab, “Di kota, ada orang berada yang keluarganya meninggal dunia, demi persembahan, dia membunuh hewan-hewan. Dia membunuh banyak hewan untuk persembahan.”
Setelah mendengarnya, Buddha menghela napas dengan penuh belas kasih dan juga tidak berdaya. Buddha pun berkata, “Inilah kegelapan batin manusia. Mengorbankan begitu banyak nyawa yang tak berdosa sebagai bahan persembahan untuk orang yang sudah meninggal. Sungguh menyedihkan.” Saat itu Buddha sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Para murid-Nya bertanya pada Buddha, “Bagaimana pendapat-Mu tentang hal ini?”
Buddha pun bercerita. Di sebuah desa kecil, ada sebuah keluarga berada sedang mempersiapkan pemakaman. Keluarga ini mengundang Brahmana, selain membaca doa, juga mengadakan upacara pemakaman. Dia berpesan harus membunuh sekian banyak babi dan kambing untuk persembahan. Setelah semuanya selesai disiapkan, Brahmana pun melihat ke lokasi. Dia merasa bahwa sepertinya masih kurang seekor kambing. Dia pun berkata pada seorang pekerja, “Masih kurang satu ekor kambing.”
Pekerja itu pun membawa seekor kambing dan memandikannya, lalu menggantungkan karangan bunga ke leher kambing. Lalu, memberi makan kambing itu, kambing itu juga memakannya. Namun, tiba-tiba ia menghadap ke langit dan berteriak, seperti sedang tertawa. Lalu, kambing itu berhenti dan mengeluarkan suara sedih. Pekerja itu merasa heran dan membawa kembali kambing itu. Setelah kambing itu dibawa keluar, Brahmana itu duduk bermeditasi di sana. Tiba-tiba dia terbayang setelah kambing itu dimandikan, ia digantungkan karangan bunga, dan tertawa menghadap langit.
Kambing itu berkata padanya, “Sangat bersyukur, selama 500 kehidupan terlahir menjadi kambing. Hari ini sudah saatnya melepaskan diri.” Brahmana bertanya, “Mengapa kamu bilang bahwa selama 500 kehidupan terlahir menjadi kambing dan hari ini sudah mau bebas?”
Kambing itu berkata, “Di 500 kehidupan yang lalu, saya juga seperti kamu, yaitu seorang Brahmana. Saya juga bantu orang melakukan upacara persembahan dan membunuh banyak hewan. Karena itu, selama 499 kehidupan saya terlahir sebagai kambing. Sekarang adalah kehidupan yang ke-500, setelah itu, saya sudah bisa melepaskan diri sebagai kambing. Saya sangat senang dan bersyukur. Saya tertawa menghadap langit.”
Brahmana bertanya padanya, “Mengapa kamu sepertinya sedih?” Kambing itu berkata, “Teringat bahwa kelak kamu akan sama seperti saya. Kelak kamu juga akan menerima buah karma karena telah banyak membunuh hewan. Jika terpikir kehidupanmu di masa mendatang, saya merasa sedih untukmu.” Brahmama itu bagaikan terbangun dari mimpi. Saat membuka mata, dia melihat pekerja itu membawa kembali kambing itu dan leher kambing itu menggantung karangan bunga.
Dia bertanya pada pekerja itu, “Apakah terjadi hal yang aneh setelah memandikannya?” Setelah mendengar pekerja itu mengatakannya, dia berkata pada kambing itu dengan ramah, “Saya akan melindungimu dari karma yang kamu cipta di masa lampau. Saya juga berharap kelak saya tidak sama seperti kamu.” Dia pun melepaskan karangan bunga yang ada di leher kambing itu dan membawanya keluar berjalan menuju hutan. Di dalam hutan, dia berkata, “Mari kita melatih diri bersama dan saling menyemangati.” Mereka pun tinggal di dalam hutan.
Setelah Buddha bercerita sampai di sini, Beliau pun berkata pada murid-Nya, “Inilah kegelapan batin manusia. Menciptakan banyak karma buruk demi orang yang sudah meninggal. Dia telah menciptakan karma buruk untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya, persembahan hewan tidak membawakan manfaat sedikit pun bagi orang yang sudah meninggal. Namun, bagi orang yang menciptakan karma buruk, maka akan menerima buah karmanya. Contohnya, 500 kehidupan yang lalu saat kambing itu sebagai Brahmana, dia membunuh banyak hewan, maka dia harus menerima buah karma dalam jangka panjang.”
Itu sangatlah mengerikan. Jadi, kita harus berhati-hati dalam menjalani hidup dan memupuk rasa belas kasih di dalam hati. Tidak hanya menghargai hidup kita sendiri, tetapi juga harus menghargai hidup orang lain. Asalkan kita bisa melindungi semua makhluk hidup dengan aman dan tenteram serta bahagia, inilah welas asih. Jika kita bisa menyayangi makhluk hidup bagaikan menyayangi diri sendiri, maka itulah welas asih.
Untuk memiliki rasa welas asih kita harus memupuknya dengan sukacita dan keseimbangan batin. Jika kita bisa bersumbangsih dengan sukacita, maka kita bisa hidup dengan bahagia dan tenteram. Jika kita bisa bersumbangsih dengan sukacita, maka dengan sendirinya semua makhluk bisa bahagia dan tenteram.
Demikianlah dituliskan kisahnya dari video Master Cheng Yen Bercerita – Selama 500 Kehidupan Terlahir sebagai Kambing https://youtu.be/6l0nc-H3VYA
Master Cheng Yen Bercerita : Disiarkan di Stasiun Televisi Cinta Kasih DAAITV INDONESIA :
Channel Jakarta 59 UHF, Medan 49 UHF
Setiap Sabtu 18.30 WIB; Tayang ulang: Sabtu 22.00 WIB, Sabtu (Minggu berikutnya) 06.00 WIB
TV Online : https://www.mivo.com/live/daaitv
GATHA PELIMPAHAN JASA
Semoga mengikis habis Tiga Rintangan
Semoga memperoleh kebijaksanaan dan memahami kebenaran
Semoga seluruh rintangan lenyap adanya
Dari kehidupan ke kehidupan senantiasa berjalan di Jalan Bodhisattva