Buddha mengajari kita untuk senantiasa membina cinta kasih dan welas asih. Dalam sebuah negeri, dari raja hingga rakyat, semua orang harus bersatu hati dan bergotong royong, barulah negeri tersebut bisa sejahtera dan damai. Jadi, selain memiliki keyakinan, kita juga harus bertindak secara nyata untuk berbuat baik.
Buddha mengajari kita untuk mengasihi diri sendiri, orang lain, dan semua makhluk. Saat kita mengasihi kehidupan diri sendiri dan tahu bahwa penyakit membawa penderitaan, kita hendaknya juga memikirkan kehidupan orang lain, bahkan semua makhluk. Wabah penyakit bukan hanya menyerang orang biasa, melainkan semua orang. Wabah penyakit bisa muncul di mana saja. Jadi, wabah penyakit membawa penderitaan bagi semua orang.
Kita harus tahu bahwa dalam hidup ini, penderitaan terbesar ialah penyakit. Selain penyakit, juga terdapat berbagai bencana lainnya. Baik jatuh sakit, mengalami kecelakaan, dilanda bencana alam ataupun ulah manusia, maupun mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, semua itu disebut bencana.
Manusia pasti mengalami fase lahir, tua, sakit, dan mati. Setelah lahir, seiring berlalunya tahun demi tahun, kita perlahan-lahan bertumbuh dewasa hingga akhirnya memasuki usia tua. Saat sudah berusia lanjut, kita mudah jatuh sakit dan berakhir pada kematian. Demikianlah urutannya.
Namun, ada pula orang yang tidak bisa hidup hingga usia tua. Ada yang meninggal dunia beberapa hari setelah dilahirkan, ada pula yang terluka atau meninggal dunia karena mengalami kecelakaan. Semua itu termasuk mati sebelum waktunya. Artinya, mereka meninggal dunia sebelum usia tua. Semua ini disebut mati sebelum waktunya. Jadi, ada orang yang meninggal dunia sebelum mencapai usia tua. Tentu saja, ini bergantung pada karma masing-masing.
Dahulu, saya pernah menceritakan sebuah kisah singkat yang mengandung kebenaran yang mendalam. Di sebuah kuil di Jepang, tinggal banyak sramanera cilik. Ada seorang bhiksu lansia yang bersungguh hati membimbing mereka. Bhiksu lansia ini memiliki sedikit kemampuan untuk membaca wajah sehingga tahu bahwa ada seorang sramanera cilik yang akan mengalami bencana dalam waktu dekat yang mungkin akan merenggut nyawanya.
Suatu hari, bhiksu lansia berkata pada sramanera itu, “Kamu sudah lama tidak pulang ke rumah. Saya akan meliburkanmu sebulan agar kamu bisa mengunjungi orang tuamu.” Sramanera itu sangat gembira. Dia segera merapikan barang bawaannya, lalu berpamitan pada gurunya. Setelah meninggalkan kuil, sramanera itu terus berjalan dengan cepat. Dia berjalan sambil menikmati pemandangan dan merasa sangat menyenangkan.
Tidak lama kemudian, dia merasa panas. Saat dia melihat sebuah sungai dan berpikir untuk mencuci wajahnya, dia melihat sebuah sarang semut di atas pohon terjatuh ke sungai. Dia berpikir, “Jika sarang semut itu dibiarkan terbawa oleh arus sungai, semut-semut di dalamnya pasti akan mati.” Karena itu, dia menggulung kaki celana dan lengan bajunya, lalu berusaha untuk mengangkat sarang semut itu.
Dia hampir tergelincir di sungai. Beruntung, dia berhasil mengangkat sarang semut. Dengan hati-hati, dia menaruhnya di tepi sungai dan berkata pada semut-semut itu, “Untung saya berhasil menyelamatkan kalian. Nyawa saya juga hampir melayang. Sekarang kita sudah selamat. Mari kita saling mendoakan.”
Kemudian, dia pun pulang ke rumah. Saat dia tiba di rumah, orang tuanya heran mengapa dia tiba-tiba pulang. Berhubung dia sudah pulang, ayahnya berkata, “Baguslah kalau kamu pulang.”Tidak sampai sebulan, ayahnya berkata, “Kamu hendaknya bersiap-siap untuk kembali.”
Dia lalu merapikan barang bawaannya dan kembali ke kuil dengan gembira. Melihatnya kembali ke kuil, bhiksu lansia itu merasa heran dan berpikir, “Mengapa dia bisa kembali dengan selamat?” Dia kembali melihatnya dengan saksama dan mendapati bahwa sudah tidak ada tanda-tanda akan mengalami bencana dari wajahnya.
Tanda-tanda panjang umur kini terlihat di wajahnya. Dia bertanya pada sramanera cilik itu, “Selama pulang ke rumah, apa yang kamu lakukan?” Sramanera menjawab, “Tidak melakukan apa-apa. Saya hanya pulang ke rumah dan menikmati waktu bersama orang tua saya.” Bhiksu lansia itu berkata, “Apakah terjadi sesuatu dalam perjalanan pulang? Ceritakan pada saya.”
Sramanera itu berpikir-pikir dan berkata, “Saya hanya menikmati pemandangan di jalan. Oh, saat melewati sebuah sungai, saya melihat sebuah sarang semut terjatuh dari pohon. Melihat semut-semut itu berusaha untuk menyelamatkan diri, saya merasa bahwa saya harus menyelamatkan mereka. Saya hampir tergelincir saat mencoba menyelamatkan mereka. Beruntung, saya berhasil mengangkat sarang semut itu.Setelah itu, saya pun pulang ke rumah.”
Bhiksu lansia itu mengelus kepala sramanera cilik itu dan berkata, “Benar, kamu harus selalu membina cinta kasih terhadap semua makhluk.Dengan begitu, kamu baru bisa tumbuh besar dengan sehat.”
Kisah ini hanyalah sebuah kisah singkat, tetapi kebenaran yang terkandung di dalamnya sangatlah mendalam. Kisah ini mengajari kita untuk senantiasa membina cinta kasih, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya. Jadi, baik bhiksu-bhiksuni maupun umat perumah tangga, semuanya hendaklah bersumbangsih dan berbuat baik dengan penuh cinta kasih. Demikianlah cara menciptakan pahala besar. Jadi, dalam kehidupan sehari-hari, kita harus senantiasa membina cinta kasih.