Janganlah kita memiliki niat melukai orang lain, sebaliknya kita harus memiliki niat menolong orang. Inilah yang harus kita tanyakan kepada diri sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, saat menghadapi orang dan masalah, kondisi menyenangkan ataupun tak sesuai harapan sulit untuk dihindari.
Terhadap orang yang membuat kita tidak senang, adakah kita membangkitkan rasa tidak puas, dendam, atau benci? Apakah kita memiliki sikap batin seperti ini? Terhadap sesuatu yang kita sukai, apakah timbul ketamakan dalam batin kita sehingga ingin menguasai atau memilikinya? Terhadap sikap batin seperti ini, kita harus selalu mengingatkan diri kita.
Ada seorang bapak bertanya kepada saya, “Jika seumur hidup ini tidak mencelakai orang, tidak menjadi orang jahat, tidak mencuri, dan tidak merampok, apakah kita termasuk orang baik?” Saya menjawab, “Tidak mencelakai orang, tidak menjadi orang jahat, tidak mencuri, dan tidak merampok hanyalah kewajiban kita dalam kehidupan ini.” Kewajiban ini sudah sepatutnya kita jalankan.
Untuk menjadi orang baik, kita harus punya ketekunan. Dalam hal apa pun, kita harus berlapang dada. Saat ada orang yang tertimpa penderitaan dan bencana, kita harus segera bersumbangsih. Setelah bersumbangsih, kita tak menuntut balasan. Dengan begitu, kita merasa tenang dan damai. Inilah orang baik yang sesungguhnya.
Tidak melakukan kejahatan hanyalah kewajiban. Melakukan kebajikan menunjukkan kehidupan yang aktif dan bersemangat.
Baik berbuat jahat maupun berbuat baik, semuanya bermula dari sebersit niat. Jadi, kita harus senantiasa bertanya ke dalam hati. Kita bertanya kepada hati kita sendiri, “Bagaimana kondisi batin saya?”
Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus senantiasa memiliki hati yang tulus. Terhadap setiap orang dan hal, kita harus tulus. Terhadap setiap orang dan hal, kita harus tulus. Sesungguhnya, kita juga tak boleh mengabaikan keyakinan kita sendiri. Jadi, menjadi orang yang tulus sangatlah penting.
Ada sebuah kisah. Ada seorang umat perumah tangga. Sebelum pergi bekerja setiap harinya, dia selalu memberi hormat kepada Bodhisatwa Ksitigarbha. “Bodhisatwa, maaf membuat-Mu harus menjaga rumah sendirian. Aku sekarang harus berangkat untuk bekerja.” Sepulangnya dari bekerja, dia juga menyapa Bodhisatwa Ksitigarbha, “Aku sudah pulang.” Ketulusan ini dia pertahankan selama puluhan tahun.
Suatu malam, dia bermimpi. Saat dia sedang berjalan di pegunungan, sepertinya ada orang yang memanggilnya. Dia berhenti dan melihat ke sekelilingnya untuk mencari siapa yang memanggil. Saat dia berhenti, suaranya malah menghilang. Dia lalu lanjut berjalan. Dia kembali mendengar suara dan berhenti lagi, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Dia berpikir, “Mungkin hanya perasaanku saja.”
Saat dia melangkah lagi, baru beberapa langkah, suara yang memanggil itu kembali terdengar. Dia lalu berkata, “Siapa pun dirimu, katakan saja apa yang bisa kubantu.” Suara itu berkata, “Aku terkubur di dalam tanah dan sangat menderita. Bisakah engkau menggali tanah di samping kakimu?” Dia berpikir tak peduli benar atau tidak, menolong orang tetaplah sangat penting. Namun, dia tak dapat menemukan alat. Dia hanya bisa menggunakan kedua tangannya. Dia terus menggali hingga kedua tangannya berdarah.
Hingga kedalaman tertentu, tangannya menyentuh sebuah benda keras. Dia lalu terus menggali dengan lebih cepat hingga wajah dan tubuh dari benda itu terlihat. Ternyata itu adalah patung Bodhisatwa Ksitigarbha. Dia segera mengambil patung itu. Seluruh bagian patung itu tertutup tanah. Dia lalu membersihkannya dengan air dan memujanya di rumah. Namun, dia masih mendengar suara lagi.
Meski tak dapat melihat orangnya, dia bertanya, “Ada apa lagi?” Orang yang memanggilnya itu berkata, “Terima kasih engkau telah menolongku dari dalam tanah dan membersihkan tubuhku hingga bersih.” Umat ini berkata, “Itu bukan apa-apa. Itu sudah seharusnya.”
Suara itu kembali berkata, “Ini mungkin tidak berarti apa-apa bagimu. Namun, sudah banyak orang yang lewat di sana. Aku juga memanggil mereka, tetapi tidak ada yang menghiraukanku. Hanya dirimu yang bersedia untuk berhenti dan menggali tanah untuk menolongku. Aku sangat berterima kasih kepadamu.” Tiba-tiba umat ini terbangun dari tidurnya. Ternyata itu hanya mimpi. Dia lalu bersujud di hadapan Bodhisatwa Ksitigarbha sambil bertanya-tanya mengapa dirinya bisa bermimpi seperti itu.
Saat itu kebetulan langit sudah mulai terang. Seperti biasa, dia berpamitan dengan tulus kepada Bodhisatwa Ksitigarbha sebelum berangkat. Setelah selesai bekerja, dia pulang pada sore hari.
Dalam perjalanan, tiba-tiba gunung seakan bergetar dan permukaan tanah retak. Gunung bergetar dan batu-batu berjatuhan. Tertimbun berbatuan dan tanah dari gunung, dia seketika tak sadarkan diri. Saat kembali sadar, dia sudah berada di atas tumpukan tanah. Dia sendiri merasa aneh dan tak bisa membayangkannya. Dia pun bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, dia langsung bersujud di hadapan Bodhisatwa Ksitigarbha dan berkata, “Maaf, saya pulang terlambat karena bertemu bahaya di jalan. Beruntung, saya masih bisa selamat.” Namun, saat itu dia melihat retakan pada kaki Bodhisatwa Ksitigarbha itu dan tersadar seketika. “Saat aku tertimbun tanah pegunungan, Bodhisatwa Ksitigarbha-lah yang menolongku.”
Dengan hati yang penuh rasa syukur, dia memberi hormat kepada Bodhisatwa Ksitigarbha. Kisah ini hendak memberi tahu kita bahwa dalam keseharian, kita harus menjaga kondisi batin yang tenang dan tulus. Terlebih lagi, kita harus selalu bersedia untuk menolong orang.
Lihatlah umat tadi. Meski di dalam mimpi, dia tetap memiliki hati dia tetap memiliki hati yang bersedia untuk menolong orang lain, terlebih lagi dalam kehidupan nyatanya. Jadi, kita harus selalu menjaga pikiran kita. Kita harus selalu bertanya dan berefleksi ke dalam hati apakah dalam menghadapi orang dan masalah kita sudah menggunakan hati yang tulus serta tetap tenang saat menghadapi kondisi apa pun. Untuk itu, kita harus selalu bersungguh hati.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Metta Wulandari