Pada hakikatnya, ajaran semua Buddha ialah sama. Semua Buddha melatih diri dalam jangka panjang. Meski setiap Buddha memiliki ikrar yang berbeda-beda, tetapi semuanya memiliki satu ikrar utama yang sama, yaitu membimbing semua makhluk. Kita hendaknya membangun ikrar agung untuk terjun ke tengah masyarakat demi membimbing semua makhuk yang tak terhingga. Kita harus membangun ikrar seperti ini.

Untuk membimbing semua makhluk, kita harus melapangkan hati serta membangkitkan cinta kasih, welas asih, sukacita, dan keseimbangan batin. Jadi, berikrar untuk terjun ke tengah masyarakat, inilah ajaran para Buddha. Saya sering berkata bahwa Buddha melatih diri dan mencapai kebuddhaan demi semua makhluk.

Sejak berkalpa-kalpa yang lalu, para Buddha membangkitkan niat untuk membimbing semua makhluk dari kehidupan ke kehidupan. Prinsip kebenaran harus dibabarkan di tengah masyarakat, baru bisa tersebar luas. Saat mengalami penderitaan terbesar, orang-orang bisa merasakan kesungguhan hati dan cinta kasih dari orang-orang yang mencurahkan perhatian pada mereka.

Dengan cinta kasih dan kesungguhan hati, kita menggunakan Dharma untuk menjangkau semua makhluk. Saat menerima cinta kasih seperti ini, orang-orang yang menderita juga menerima Dharma. Di tengah penderitaan, mereka memperoleh Dharma. Dengan demikian, mereka dapat terbimbing. Semua orang memiliki jalinan jodoh masing-masing.

Contohnya Sariputra yang menggenggam jalinan jodohnya. Sariputra memahami bahwa semua makhluk memiliki jalinan jodoh masing-masing. Dalam siklus kelahiran kembali di lima alam kehidupan, seseorang mungkin pernah menciptakan berkah di kehidupan lampau sehingga dapat hidup nyaman di kehidupan sekarang. Namun, dia mungkin tersesat di kehidupan sekarang. Sariputra juga menanti kesempatan untuk membimbing semua makhluk. Berhubung akan menjadi Buddha suatu hari nanti, Sariputra tahu bahwa dia harus terjun ke tengah masyarakat di kehidupan sekarang.

Di Sravasti, ada seorang tetua yang sangat kaya. Semua orang sangat iri padanya. Namun, makin orang-orang memujinya kaya, dia makin mementingkan kekayaan. Dia menjadi sangat kikir dan menginginkan lebih banyak kekayaan. Di tengah meditasi, Sariputra mendapati tetua yang sangat kikir ini. Dia tidak rela berdana sedikit pun bagi orang-orang yang kekurangan dan menderita.

Saat ada anggota Sangha yang akan melewati rumahnya, dia selalu menyuruh orang untuk menutup pintu. Dia tidak ingin anggota Sangha pergi ke rumahnya untuk mengumpulkan makanan. Sariputra bertekad untuk membimbing tetua ini. Suatu hari, mereka hendak menutup pintu rumah sebelum waktu makan tiba. Namun, Sariputra masuk sebelum mereka sempat menutupnya.

Melihat Sariputra masuk ke rumahnya, tetua itu merasa tidak senang dan menyalahkan penjaga pintu rumahnya. Penjaga pintu berkata, “Aku tidak melihatnya.” Tetua itu tidak menghiraukan Sariputra. Meski Sariputra berdiri di sana, tetapi setelah pelayan menyajikan makanan di hadapannya, tetua itu hanya makan sendiri. Setelah tetua itu selesai makan, pelayan mengantarkan air untuk berkumur. Tetua itu sengaja berjalan ke hadapan Sariputra dan memuntahkan air bekas kumur ke dalam mangkuk Sariputra. Setelah membungkukkan badan sambil tersenyum, Sariputra pun pergi.

Tetua itu merasa bersalah dan berpikir, “Mengapa aku berbuat demikian? Dia adalah bhiksu agung. Akankah dia melakukan sesuatu yang berbahaya bagiku?” Berhubung merasa sangat cemas, dia pun berkata pada pelayannya, “Lekas ikuti dia untuk melihat apa yang akan dilakukannya dengan air itu.” Pelayan itu terus mengamati dari belakang.

Sariputra berpikir, “Tidak mudah untuk mendapatkan air kumur yang dimuntahkannya ini. Bagaimana agar dia bisa memperoleh pahala? Dia telah menciptakan berkah di kehidupan lampau sehingga bisa hidup begitu nyaman di kehidupan sekarang. Namun, dia tersesat di kehidupan sekarang. Kekikiran, ketamakan, dan kesombongannya terhadap anggota Sangha akan membuatnya mengalami penderitaan tak terkira di kehidupan mendatang. Bagaimana menyelamatkan tetua ini?”

Dia lalu mendapat sebuah ide. Dia menuangkan air itu di atas tanah, mengaduknya, lalu menyatukannya dengan jalan yang akan dilewati Buddha. Buddha juga mengetahui hal ini. Melihat Sariputra telah menyatukan tanah itu dengan jalan, Buddha pun berjalan ke sana. Sariputra mendongak dan tersenyum kepada Buddha. Guru dan murid berdiri di sana dengan damai, tenang, dan senyuman yang memahami satu sama lain. Sambil tersenyum, Buddha berkata, “Aku memahami ketulusanmu memberkati tetua ini.”

Pelayan itu segera pulang dan melapor kepada tetua itu tentang apa yang dilihat dan didengar olehnya. Mendengar kata-katanya, tetua itu sangat menyesal. Dia merasa bahwa Buddha dan Sariputra sungguh penuh cinta kasih dan welas asih. Dia lalu membawa semua anggota keluarga dan pelayannya ke vihara. Dia bertobat dan menyatakan berlindung kepada Buddha.

Demikianlah Sariputra mencampur air dengan tanah untuk membimbing tetua tersebut. Inilah latihan menyeluruh, latihan tanpa henti, latihan jangka panjang, dan latihan penghormatan. Demikianlah hendaknya kita melatih diri. Semua orang yang melatih diri, termasuk Sariputra, harus menjalani proses pelatihan yang sama. Dia tahu bahwa untuk menjadi Buddha di masa mendatang, dia harus terlebih dahulu mengamati semua orang di tengah masyarakat dan mencari tahu bagaimana cara membebaskan orang-orang dari noda dan kegelapan batin. Inilah yang harus kita latih dan pelajari.