Segala sesuatu di dunia ini merupakan hasil perpaduan dari berbagai sebab dan kondisi. Sebagaimana sebab dan kondisinya, demikian pulalah buah dan akibat yang ditimbulkan. Dengan prinsip yang sama, kondisi batin kita juga bergantung pada benih yang kita tabur di ladang batin kita dan kondisi pendukungnya. Keduanya dilandasi prinsip yang sama.
Orang-orang sering mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung prinsip kebenaran. Kita harus memahami kebenaran ini. Jika hendak mencapai kebuddhaan, kita harus memiliki benih dan kondisi yang murni. Jika memiliki benih dan kondisi yang buruk atau keruh, kita akan menuai buah dan akibat yang buruk pula. Setelah memahami kebenaran ini, kita tahu bahwa setiap tindakan kita merupakan sebutir benih dan setiap keadaan yang dihadapi merupakan kondisi. Niat dan pikiran apa yang kita bangkitkan?
Jika kita terbiasa membangkitkan ketamakan, kebencian, kebodohan, kesombongan, dan keraguan, itu merupakan tabiat makhluk awam. Membangkitkan salah satunya saja dapat mendatangkan penyesalan seumur hidup, apalagi membangkitkan kelimanya secara bersamaan. Jadi, kita harus sangat berhati-hati.
Buddha memberi tahu kita bahwa sesungguhnya, segala sesuatu di dunia ini memiliki sifat hakiki yang sama dan sangat murni. Buddha juga menceritakan sebuah kisah tentang kesabaran yang dapat mengatasi segala kesulitan.
Ada seekor raja kera yang hidup bahagia di hutan bersama kawanannya. Namun, akibat kekeringan selama bertahun-tahun, tidak ada lagi buah dan makanan lain di hutan. Kera-kera itu terus mencari makanan di hutan.
Saat keluar dari hutan, mereka melihat sebuah kebun yang penuh dengan buah-buahan. Kera-kera itu sangat senang dan memasuki kebun itu untuk memetik buah. Ternyata, perkebunan itu milik seorang raja.
Kawanan kera yang tiba-tiba muncul untuk memetik buah membuat para tukang kebun sangat takut dan melaporkannya kepada sang raja. Mendengar laporan mereka, sang raja murka dan berkata, “Jangan biarkan kera-kera itu kabur. Lekas kurung mereka.”
Setelah mengetahui hal ini, raja kera itu berusaha untuk menyelamatkan kawanannya. Ia berkata kepada kera-kera yang keluar bersamanya, “Lekas kumpulkan sulur dari hutan.” Kawanan kera bergotong royong untuk menarik sulur yang sangat panjang dan mengantarkannya kepada raja kera.
Raja kera itu mengikatkan satu sisi pada tubuhnya sendiri dan mengaitkan sisi lainnya ke sebatang pohon kering di dalam kebun. Ia berpegang pada sebatang pohon kering di luar dan berkata pada kawanan kera yang terkurung di dalam, “Ayo, keluarlah lewat sulur ini.” Kawanan kera pun keluar satu per satu.
Raja kera itu terus berpegang pada pohon kering itu. Seiring lewatnya seekor demi seekor kera, lengannya mulai tidak kuat. Namun, demi menyelamatkan kawanannya, ia terus bertahan. Meski lengannya mengalami dislokasi persendian, ia tetap bersabar dan bertahan hingga akhir. Pada saat itu pulalah, sang raja datang untuk menghukum kawanan kera. Namun, kera-kera itu sudah tidak ada di sana.
Raja kera itu menghampiri sang raja dan berlutut di hadapannya sambil berkata, “Yang Mulia, aku adalah pemimpin kawanan kera itu. Aku tidak memimpin mereka dengan baik. Akibat kekeringan selama beberapa tahun ini, semua pohon liar sudah layu sehingga tidak bisa berbuah. Demi bertahan hidup, mereka baru memasuki kebun Yang Mulia. Ini adalah kesalahanku. Aku rela mengorbankan nyawaku. Bisa menjadi makanan kalian semua, aku sukarela.”
Mendengar perkataannya, sang raja merasa tersentuh dan malu sekaligus. Dia tersentuh oleh raja kera yang begitu murah hati. Raja berpikir, “Ia mengasihi dan melindungi kawanannya serta menghargai nyawa mereka. Sebagai seorang raja yang memimpin negeri ini, aku juga hendaknya mengasihi rakyat. Mengapa aku kalah jauh dari kera ini?”
Dia merasa sangat malu dan berkata kepada raja kera, “Aku bisa menyediakan makanan untuk kawananmu. Jadi, engkau bisa pulang dan mereka juga bisa bertahan hidup. Aku hendaknya memimpin negeri ini dengan kemurahan hati agar cuaca bisa bersahabat. Ini juga merupakan kewajibanku.” Raja kera sangat bersyukur kepada sang raja dan meninggalkan tempat itu.
Setelah itu, sang raja kembali ke istana dan memberi tahu permaisuri tentang apa yang dialaminya. Dia merasa bahwa kera itu sungguh membuat orang tersentuh. Permaisuri juga menangis mendengarnya dan berkata, “Hewan saja bisa saling mengasihi, mengapa antarmanusia harus saling bertikai? Kita hendaknya memimpin negeri ini dengan kemurahan hati.” Dengan dukungan permaisuri, sejak saat itu, sang raja memimpin rakyatnya dengan penuh cinta kasih.
Meski kera itu merupakan seekor hewan, tetapi ia memiliki sifat hakiki yang bajik dan murni tanpa noda. Namun, sang raja malah dikuasai kebencian dan kemarahan. Saat kebunnya mengalami kerusakan, dia pun murka. Namun, setelah bertemu raja kera itu, dia bisa segera melenyapkan ketamakan, kebencian, kebodohan, dan kesombongannya, menjauhkan kondisi buruk, mengubah hukuman menjadi hadiah dengan menyediakan makanan bagi mereka, dan mengubah pola pikirnya. Karena itulah, kita perlu mempelajari ajaran Buddha.
Meski terkadang bertemu kondisi luar yang buruk, jika kita dapat menjaga benih di dalam batin kita dengan baik, benih ini tidak akan tercemar. Jadi, yang terpenting dalam mempelajari ajaran Buddha ialah bersungguh-sungguh menjaga kemurnian hati kita agar tidak terpengaruh oleh kondisi luar. Inilah tujuan kita melatih diri. Mari kita bersungguh hati menjaga sifat hakiki yang murni ini.