Di dunia ini, yang paling berharga ialah kehidupan. Semua orang bekerja keras setiap hari. Saat ditanya mengapa mereka begitu bekerja keras, mereka menjawab bahwa demi menjaga kelangsungan hidup. Hidup di dunia ini, kita semua membutuhkan kehidupan yang sehat. Inilah yang paling penting. Jadi, yang paling berharga ialah kehidupan.

Antarsesama manusia hendaknya saling mengasihi. Semua orang mengalami hidup, tua, sakit, dan mati. Di antaranya, yang paling menderita adalah sakit. Saat sakit, yang paling dibutuhkan ialah curahan perhatian dan cinta kasih.

Saat Buddha masih hidup, bagaimana Beliau mengatasi penderitaan akibat penyakit? Dengan kondisi pada saat itu, Buddha hanya bisa merawat orang yang sakit dengan penuh cinta kasih. Namun, dengan kondisi zaman sekarang, kita bisa berbuat lebih banyak.

Dalam Sutra terdapat banyak kisah tentang Buddha yang mengimbau orang-orang untuk berdana, baik dana berupa materi maupun organ dalam tubuh. Namun, menjadi Bodhisattva tidaklah mudah.

Buddha pernah menceritakan sebuah kisah kehidupan lampau Sariputra. Ada orang yang bertanya, “Yang Dijunjung, Sariputra merupakan murid Yang Dijunjung yang terkenal akan kebijaksanaannya. Namun, mengapa dari kehidupan ke kehidupan, dia hanya melatih diri sendiri?” Jadi, Buddha pun menceritakan kisah ini.

Pada zaman dahulu, ada seorang tetua yang kaya akan cinta kasih. Dia berharap dapat berdana. Karena itu, dia terus mengeluarkan hartanya untuk menolong orang kurang mampu. Lama-kelamaan, cinta kasihnya semakin mendalam. Dia berikrar, asalkan ada yang membutuhkan, dia pasti akan berusaha untuk memberi bantuan.

Ikrarnya yang tulus ini berhasil menjangkau para dewa. Dewa Sakra merasa bahwa tidak mungkin ada manusia yang membangun ikrar seagung itu. Karena itu, dia bermanifestasi menjadi seorang pemuda dan menunggu di tempat yang akan dilewati oleh tetua tersebut. Di sana, dia menangis pilu.

Melihat pemuda itu menangis, tetua itu pun menanyakan apa yang terjadi.

Pemuda itu berkata, “Saya hidup berdua dengan ibu saya. Keluarga kami sangat miskin. Sekarang ibu saya jatuh sakit. Kata tabib, penyakit ibu saya sangat langka. Selain obat, juga dibutuhkan katalis.”

Tetua itu berkata, “Tidak perlu khawatir. Di mana saya bisa membeli katalis itu? Sesulit apa pun, saya pasti akan membantumu.”

Pemuda itu berkata, “Meski saya memberitahumu, kamu juga tidak bisa membantu saya. Ini sangat sulit.”

Tetua itu berkata, “Beri tahu saya, saya akan berusaha semaksimal mungkin.”

Pemuda itu berkata, “Katalis yang dibutuhkan oleh ibu saya ialah satu mata orang yang baik hati.”

Tetua itu terdiam sejenak dan berpikir, “Selama bertahun-tahun ini, saya selalu menolong orang-orang. Saya juga termasuk orang yang baik hati. Mengorbankan satu mata bisa menolong nyawa satu orang, ini pantas untuk dilakukan.”

Dia langsung berkata pada pemuda itu, “Ini mudah, saya berikan mata saya.”

Selesai berbicara, dia langsung mencungkil mata kanannya dengan tangannya.

Pemuda itu berteriak dan berkata, “Aduh, mengapa kamu langsung mencungkil matamu tanpa bertanya dahulu? Yang dibutuhkan adalah mata kiri, bukan mata kanan.”

Namun, tetua itu telah mencungkil matanya. Dia lalu berpikir, “Saya telah mengorbankan satu mata saya. Jika saya mengorbankan mata lainnya lagi, saya hanya tidak bisa melihat dunia ini, tetapi nyawa saya masih ada.” Setelah mempertimbangkannya, dia pun mencungkil mata kirinya.

Setelah menerima mata tetua itu, pemuda itu sengaja melemparnya ke tanah dan menginjaknya dengan suara yang keras sambil berkata, “Bagaimana mungkin mata orang yang baik hati seamis ini? Kamu pasti bukan orang yang baik hati.”

Tetua itu sangat terpukul. Jadi, dia berikrar, “Saya tidak akan menolong orang lain lagi. Saya hanya akan melatih diri sendiri.”

Usai menceritakan kisah ini, Buddha berpaling dan berkata kepada para umat dan anggota Sangha, “Apakah kalian tahu bahwa tetua yang baik hati dalam kisah tadi adalah salah satu kehidupan lampau Sariputra? Di kehidupan lampau, Sariputra pernah dihina saat berdana sehingga tekad dan ikrarnya mundur. Meski kebijaksanaannya telah terbangkitkan, tetapi dia tidak ingin terjun ke tengah masyarakat ataupun menjadi Bodhisattva.” Jadi, untuk membangun ikrar agung, juga dibutuhkan adanya jalinan jodoh.

Dahulu, Buddha terus mengimbau orang-orang untuk mempraktikkan Enam Paramita, yakni dana, disiplin moral, kesabaran, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Yang pertama dalam Enam Paramita ialah dana. Jadi, dalam Sutra sering diulas tentang dana berupa kepala, mata, sumsum tulang, dan otak.

Namun, coba kita pikirkan, zaman Buddha sudah berlalu 2.000 tahun lebih. Meski saat itu ada orang yang ingin menyumbangkan mata, saya rasa teknik medis juga belum mendukung untuk melakukan transplantasi kornea mata seperti sekarang. Saat itu juga tidak ada peralatan medis secanggih sekarang.

Pada lebih dari 2.000 tahun yang lalu, ini adalah hal yang mustahil. Namun, Buddha sangatlah bijaksana. Ajaran-Nya saat itu merupakan prediksi untuk masa mendatang, yaitu sekarang.

Kini semua itu sudah bisa terwujud. Dengan teknologi zaman sekarang, transplantasi organ tubuh sudah bisa dilakukan. Sebelum seseorang meninggal dunia, jika dia bersedia menyumbangkan organ tubuhnya, banyak organ yang bisa disumbangkan, termasuk tulangnya.

Asalkan di dalam hati kita terdapat cinta kasih, maka kita bisa menyumbangkan kepala, mata, sumsum tulang, dan otak kita. Ini adalah upaya untuk menyelamatkan kehidupan. Apakah kalian tahu bahwa Buddha juga terkenal sebagai Buddha Hidup dan Tabib Agung? Dokter yang baik merupakan Tabib Agung.

Buddha ingin menyelamatkan batin dan menumbuhkan jiwa kebijaksanaan semua makhluk. Jadi, Beliau berusaha untuk mengobati luka batin, meluruskan pikiran yang menyimpang, dan menyembuhkan penyakit batin semua makhluk. Jadi, Buddha merupakan Tabib Agung bagi batin semua makhluk. Asalkan memiliki jiwa dan raga yang sehat, kehidupan kita tidak akan menyimpang.