Suatu hari, Buddha menceritakan tentang sebuah kisah. Namun, para murid-Nya tidak begitu paham dengan kisah tersebut. Karena itu, mereka pun menanyakannya. Buddha berkata, “Kita harus bersumbangsih tanpa memiliki pamrih dan mengesampingkan keakuan.” Namun, para anggota Sangha menjawab, “Untuk memperoleh pembebasan, bukankah kita harus memutuskan jalinan jodoh dengan semua makhluk? Pada saat bersumbangsih, bukankah kita terus menjalin jodoh dengan semua makhluk? Jika demikian, dapatkah kita terbebas dari kelahiran dan kematian?”
Buddha menjawab, “Yang dimaksud dengan terbebas dari kelahiran dan kematian adalah sumbangsih tanpa memiliki pamrih dan tidak menyimpannya di dalam hati sehingga memicu kekhawatiran. Saat kita tidak khawatir tentang memperoleh dan kehilangan, itu berarti kita sudah memperoleh pembebasan.” Salah seorang murid Buddha berkata, “Ya, saya ingat Buddha pernah menceritakan sebuah kisah lain kepada kita.” Buddha berkata,”Mari ceritakan kisah yang engkau ingat itu kepada orang lain.”
Ada seorang raja yang memiliki 2 orang anak. Pangeran pertama sangat baik hati. Demi membantu orang kurang mampu, dia rela mendonasikan segala yang dimilikinya. Sementara itu, pangeran muda sangat tamak. Dia khawatir sang kakak akan dicintai rakyat sehingga kelak akan menguasai negeri itu. Karena itu, dia berencana untuk mencelakai sang kakak.
Mengetahui bahwa adiknya berniat buruk, sang kakak lalu meminta izin kepada raja untuk meninggalkan negeri itu. Meski sangat kehilangan, raja tetap mengizinkannya. Saat pangeran pertama dan istrinya mengemas barang-barang mereka, pangeran kedua berkata kepada kakaknya, “Kamu seharusnya pergi hanya dengan membawa sedikit barang. Ini baru pencapaianmu yang sesungguhnya.”
Pangeran pertama dan istrinya pergi ke wilayah pegunungan dan menjalani hidup di sana dengan tenang. Istri pangeran berpikir, “Ini kehidupan seperti ini sangat tenang, tetapi ini bukanlah rencana jangka panjang.” Pangeran pertama juga berpikir, “Jika terus tinggal di wilayah pegunungan, saya tak dapat memberi manfaat bagi sesama. Saya seharusnya pergi ke tempat yang ramai untuk membantu orang lain.”
Setelah saling berdiskusi, pangeran dan istrinya memutuskan turun gunung. Mereka pindah ke kota yang ramai dan melakukan pekerjaan kasar untuk bertahan hidup. Di sana, mereka tetap membantu orang yang hidup kekurangan. Suatu hari, pangeran melihat seorang bapak tua yang pingsan di bawah pohon. Dia lalu membawanya pulang dengan harapan ingin mengobatinya. Namun, mereka tidak memiliki uang.
Istri pangeran lalu bekerja sebagai pelayan untuk mencari uang pengobatan bagi bapak tua itu. Melihat hal tersebut, seorang dewa sangat tersentuh. Demi menguji mereka, dewa itu menjelma menjadi orang biasa. Dia berkata kepada pangeran itu, “Untuk apa kamu hidup bersusah payah seperti itu? Saya juga ada seorang teman yang sangat baik hati. Dia juga sama sepertimu yang menghabiskan semua hartanya untuk membantu orang lain tanpa memiliki pamrih. Namun, pada akhirnya dia terlahir di alam neraka.”
Pangeran bertanya padanya, “Bagaimana dengan kondisi orang yang ditolong itu?” Bapak tua itu menjawab, “Tentu saja orang itu terselamatkan dan terlahir di alam surga.” Mendengarnya, pangeran berkata, “Asalkan orang yang terselamatkan dapat terlahir di alam surga, segala upaya saya tidaklah sia-sia. Ini tujuan saya membantu orang lain.”
Tersentuh olehnya, sang bapak tua memberi sujud kepadanya. Dia berkata, “Meski kamu hidup serba kekurangan, tetapi saat melihat orang menderita, kamu rela mengorbankan segalanya untuk membantu. Tak semua orang mampu melakukan hal ini. Mulanya saya ingin menguji tekadmu. Kini saya sudah tahu tekadmu yang teguh. Saya memberi hormat dan mendoakanmu.”
Setelah menceritakan kembali kisah ini, anggota Sangha itu berkata, “Yang Dijunjung, saya sudah menceritakan kembali kisah ini. Apakah tujuan Buddha adalah mengajarkan kami untuk melakukan kebaikan, menghindari kejahatan, dan menyucikan pikiran? Apakah ini yang Buddha ajarkan?”
Buddha menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Ya, pikiran manusia yang tersesat bermula dari sebersit niat buruk. Niat buruk ini sangat menakutkan. Saat niat buruk terbangkitkan, maka segala kejahatan yang dilakukan akan mendorong kita kelak terlahir di alam neraka.”
Karena itu, kita harus senantiasa menjaga pikiran dengan baik. Janganlah kita membangkitkan niat buruk dan melakukan kejahatan. Kita harus tekun dan bersemangat untuk melakukan kebaikan. Dengan membuat roda Dharma di dalam hati, maka secara alami niat buruk kita akan terlenyapkan. Para anggota Sangha yang mengikuti Buddha selalu berdiskusi Dharma dengan Buddha.
Zaman kita sekarang berjarak lebih dari 2.000 tahun dari zaman Buddha hidup. Kita juga hendaknya lebih banyak mendengar Dharma dan mempraktikkannya dalam keseharian serta saling berdiskusi Dharma. Dengan demikian, maka hati kita akan semakin jernih.