Setiap hari, makhluk awam dipenuhi kesibukan. Di tengah kesibukan ini, bertemu kondisi apa pun, kita akan merasa bahwa kondisi tersebut adalah kondisi yang membawa penderitaan terbesar. Ini karena makhluk awam hanya memahami sebagian. Jarang ada orang yang mendalami kebenaran tentang penderitaan secara menyeluruh.

Pada zaman Buddha, ada sekelompok murid Buddha yang terpaku pada penderitaan sendiri sehingga tidak dapat melampaui penderitaan tersebut untuk memahami kebenaran dan mengetahui dari mana penderitaan berasal.

Suatu pagi, empat orang bhiksu duduk di bawah sebatang pohon membentuk lingkaran dan membahas penderitaan dalam hidup.
Bhiksu pertama berkata, “Nafsu keinginan mendatangkan penderitaan terbesar.”

Bhiksu kedua berkata, “Bukan, kelaparanlah yang mendatangkan penderitaan terbesar.”

Bhiksu ketiga berkata, “Bukan, kemarahanlah yang mendatangkan penderitaan terbesar.”

Bhiksu keempat berkata, “Aku berbeda dari kalian semua. Aku merasa bahwa ketakutanlah yang mendatangkan penderitaan terbesar.”

Mendengar ucapan mereka, Buddha merasa sangat kasihan pada mereka. Karena itu, Buddha berkata pada mereka, “Aku akan menceritakan sebuah kisah pada kalian.”

Dahulu, ada seorang tetua yang memiliki kekayaan berlimpah. Dia memiliki sebuah hutan. Berhubung sangat gemar mempelajari ajaran Buddha, dia sering melatih diri di sana. Ada empat ekor hewan di sisinya, yakni burung, tekukur, ular berbisa, dan rusa. Siang hari, mereka pergi mencari makanan. Saat matahari terbenam, mereka akan pulang dan mendampingi tetua tersebut.

Suatu hari, si burung berkata, “Aku menderita sekali.” Tetua bertanya, “Mengapa engkau menderita?” Si burung berkata, “Demi bertahan hidup, aku harus mencari makanan setiap hari. Adakalanya, aku sangat lapar sehingga hampir terperangkap oleh jaring burung. Jika tidak ada rasa lapar, aku tidak perlu membahayakan diri. Namun, rasa lapar itu ada sehingga aku mau tidak mau harus mencari makanan.”

Tekukur berkata, “Aku merasa bahwa nafsu keinginanlah yang paling membuatku menderita. Setiap hari, aku ingin melatih diri dengan tenang di sini, tetapi setiap kali nafsu keinginan terbangkitkan, aku tidak bisa menahan diri untuk mencari pasangan. Ini membuatku sangat menderita.”

Ular berbisa berkata, “Aku menderita saat kemarahanku terbangkitkan sehingga aku sangat ingin menggigit orang. Karena itu, pada siang hari, aku tidak berani berada di sisi sang tetua dan harus pergi ke luar.”

Rusa juga berkata, “Aku sangat suka berjalan-jalan di hutan. Aku suka mencari air dan rumput. Namun, aku selalu merasa sangat gelisah. Aku takut bertemu pemburu. Saat bertemu pemburu, aku selalu merasa takut dan melompati jurang tanpa berpikir panjang. Meski itu adalah jurang yang sangat dalam, aku tetap akan melompatinya. Begitu melihat bayangan pemburu, ketakutanku pun terbangkitkan. Meski aku sangat suka mencari air dan rumput di tempat yang tenang, tetapi rasa takut seperti ini sungguh membawa penderitaan tak terkira bagiku.”

Sang tetua lalu berkata kepada empat ekor hewan itu, “Kalian tidak pernah memikirkan mengapa kalian terlahir sebagai hewan dan bagaimana membebaskan diri dari kehidupan sebagai hewan. Memiliki fisik seperti ini adalah penderitaan kalian yang sesungguhnya. Kalian hendaknya sungguh-sungguh berintrospeksi.”

Bercerita sampai di sini, Buddha berkata kepada empat orang bhiksu itu, “Kondisi kalian tidaklah berbeda dari empat ekor hewan itu. Kalian bertekad untuk melatih diri, tetapi belum menghapus tabiat buruk kalian sehingga tak ada bedanya dengan hewan. Mengapa kalian tidak sungguh-sungguh melatih diri?” Keempat bhiksu itu sangat malu mendengarnya.

Sebelum meninggalkan keduniawian, mereka terus merasakan penderitaan seperti ini. Setelah meninggalkan keduniawian, mengapa mereka masih diliputi noda batin? Buddha berkata, “Kalian hanya terpaku pada diri sendiri. Penderitaan yang sesungguhnya tidaklah sesedikit yang kalian katakan. Masalah terbesar manusia ialah memiliki tubuh ini sehingga memiliki perasaan yang berbeda-beda.”

Mari kita pikirkan, apakah pengetahuan dan pandangan kita sempit? Apakah kita melihat sesuatu hanya dari perspektif kita? Saat merasa bahwa diri sendiri paling menderita, pernahkah kita memikirkan penderitaan orang lain? Demikianlah makhluk awam, selalu merasa bahwa diri sendirilah yang paling menderita.

Pikirkanlah, penderitaan yang dirasakan oleh empat bhiksu itu berbeda-beda. Empat ekor hewan itu juga merasakan penderitaan yang berbeda-beda. Makhluk awam selalu melihat penderitaan dari perspektif diri sendiri. Apakah penderitaan hanya seperti yang digambarkan oleh empat bhiksu dan hewan itu?

Dalam hidup ini, apakah hanya ada penderitaan akibat kelaparan? Apakah hanya ada penderitaan akibat kemarahan? Apakah hanya ada penderitaan akibat nafsu keinginan? Apakah hanya ada penderitaan akibat ketakutan dan kerisauan? Setiap orang merasakan empat macam penderitaan ini.

Penderitaan berasal dari akumulasi noda batin. Jadi, kita harus memahami penderitaan dan sebab penderitaan serta mencari cara untuk mengakhiri penderitaan. Bagaimana cara mengakhiri penderitaan? Dengan melatih diri di Jalan Mulia. Kita harus yakin bahwa jalan agung yang lapang ini akan membawa kita pada tataran kebuddhaan. Namun, kita harus memiliki kegigihan Bodhisatwa, baru bisa menapaki jalan yang lapang ini.

Asalkan bersedia menapaki jalan ini, kita pasti bisa mencapai tempat tujuan kita. Untuk itu, kita harus menghapus noda batin. Kita hendaknya menggenggam waktu sebagai manusia untuk menghapus noda batin dan mengesampingkan kepentingan pribadi, baru bisa mencapai tataran yang mengutamakan kepentingan semua makhluk.