Sebagai praktisi pelatihan diri, kita tidak boleh sombong. Kita harus membangun tekad agung untuk membina keluhuran. “Membangun perhatian benar terhadap segala sesuatu di dunia; membangun keyakinan dan ikrar di Jalan Bodhi yang lapang.” Penggalan ini memberi tahu kita bahwa kita tidak boleh tinggi hati atau angkuh.

Dalam melatih diri, jika kita tinggi hati atau membangkitkan keangkuhan dan kesombongan, kita tidak akan mengalami kemajuan. Dalam meneladan Buddha, kita harus merendahkan hati. Saya sering berkata bahwa kita harus merendahkan hati. Jangan meninggikan diri. Jika tidak, orang-orang akan berkata, “Orang ini sangat tinggi hati dan menyebalkan.” Inilah yang disebut angkuh dan sombong.

Sikap angkuh, sombong, dan meninggikan diri sendiri akan membuat orang merasa sebal. Karena itu, kita hendaknya berusaha untuk merendahkan hati. Saat kita rendah hati, orang lain akan senang melihat kita. Saat melihat kita, mereka akan membangkitkan rasa sukacita.

Kita harus melatih diri dengan sungguh-sungguh. Orang yang tidak melatih hati dan pikirannya akan kekurangan pengetahuan dan kebijaksanaan sehingga sangat tinggi hati. Orang seperti ini tidak bisa diterima oleh siapa pun.

Ada sepasang suami istri yang mencari nafkah dengan mempersembahkan pertunjukan sandiwara, musik, ataupun tarian untuk menghibur orang-orang. Mereka memiliki seorang putri bernama Utpala yang telah dilatih sejak kecil. Seiring pertumbuhannya, dia makin jelita dan disukai oleh setiap orang. Dia berlatih hingga memiliki keterampilan yang luar biasa.

Suatu kali, ada sebuah acara besar di kota dan mereka diundang untuk tampil. Semua penonton sangat senang dan bersorak memujinya. Karena itu, Utpala pun makin sombong. Dia berkata kepada para penonton, “Pernahkah kalian melihat orang dengan postur tubuh dan penampilan sepertiku yang lebih jelita, lebih terampil, dan lebih berpengetahuan dariku?”

Seseorang menjawab, “Pernah. Ada Buddha Sakyamuni yang membabarkan Dharma. Penampilan-Nya sangat agung dan setiap orang yang melihatnya membangkitkan rasa sukacita dan rasa hormat. Bahkan, raja dan para menteri pun menghormati-Nya.”

Utpala tidak terima mendengarnya dan berkata kepada orang tuanya, “Mari kita menemui Buddha Sakyamuni yang dikatakan agung oleh orang-orang.” Kedua orang tuanya pun mengikutinya. Di belakang mereka, juga ada sekelompok besar orang yang ikut pergi.

Setelah tiba di luar vihara dan melihat Buddha sedang membabarkan Dharma kepada para anggota Sangha di dalam, dia berjalan masuk dengan berlenggok-lenggok sambil bernyanyi. Dia sama sekali tidak menghiraukan Buddha dan tetap menampilkan tarian yang menggoda. Melihatnya, Buddha membangkitkan belas kasih.

Melihat betapa agungnya Buddha, Utpala pun berhenti menari. Lalu, Buddha berkata, “Utpala, lihatlah para anggota Sangha yang usianya berbeda-beda. Ada yang masih muda dan kuat, ada pula yang telah tua. Lihatlah kondisi tubuh mereka.” Utpala pun berbalik dan melihat sekelilingnya. Dia melihat para bhiksu tua yang tubuhnya membungkuk dan wajahnya berkeriput. Dia melihat betapa buruk penampilan seseorang pada usia tua.

Buddha berkata, “Utpala, kelak kondisi tubuhmu akan sama seperti mereka.” Mendengar suara Buddha yang begitu lembut dan melihat penampilan Buddha yang begitu agung, Utpala tergugah oleh ucapan Buddha yang maknanya begitu mendalam dan merasa bagai terbangun dari mimpi.

Dia berpikir, “Benar, karena aku masih muda, tarianku dapat memikat hati banyak orang. Beberapa tahun kemudian, tubuhku akan menua. Atas dasar apakah aku menyombongkan bakat dan kecantikanku?” Seketika itu juga, dia bertobat. Dia berlutut dan memohon Buddha untuk menerimanya sebagai murid.

Pada zaman Buddha, gadis ini mengira bahwa dia memiliki berbagai kondisi yang unggul daripada orang lain, yakni penampilannya, keterampilannya, dan lain-lain. Inilah kesombongan tinggi. Orang yang mengeklaim bahwa dirinya telah tercerahkan atau mencapai sesuatu, padahal belum, adalah orang yang memiliki kesombongan tinggi.

Di dunia ini, ada banyak orang seperti ini. Jika belum memahami sesuatu, kita hendaknya mengakuinya dengan jujur. Jika benar-benar paham, kita baru boleh mengaku paham. Janganlah kita mengaku paham, padahal tidak. Konfusius juga berkata, “Jujur mengakui apa yang dipahami dan tidak dipahami, inilah pengetahuan.”

Kita harus tahu berapa banyak hal yang kita pahami. Setelah kita benar-benar memahami sesuatu, kita bisa berbagi dengan orang lain. Jika kita belum memahami sesuatu, kita harus mempelajarinya lagi. Inilah kebijaksanaan yang sesungguhnya, tahu berapa banyak yang dipahami diri sendiri dan mengakuinya dengan jujur. Namun, orang yang memiliki kesombongan tinggi tidak demikian.

Meski belum memahami sesuatu secara tuntas, mereka dengan bangga berkata, “Saya memahami segalanya dan lebih pintar darimu. Saya lebih bijaksana darimu. Saya tahu lebih banyak darimu.” Inilah kesombongan tinggi, yakni merasa diri sendiri lebih tinggi dari orang lain. Mereka selalu menganggap diri sendiri lebih tinggi, tahu lebih banyak, lebih baik, dan unggul dari orang lain. Inilah kesombongan tinggi. Banyak orang yang memiliki kesombongan seperti ini.

Saudara sekalian, tidak mudah untuk mendengar Dharma. Karena itu, kita harus mengembangkan perhatian benar serta membangun keyakinan dan ikrar.