Dalam ajaran Buddha dikatakan bahwa sumber dari segala pahala adalah keyakinan yang menumbuhkan segala akar kebajikan. Semua niat baik pasti bermula dari keyakinan. Namun, kita harus memiliki keyakinan benar. Jika keyakinan kita menyimpang, segala upaya pelatihan diri kita akan sia-sia. Jadi, memiliki keyakinan benar sangatlah penting.
Namun, memiliki keyakinan saja tidaklah cukup, kita juga harus tekun dan bersemangat melatih diri. Kehidupan sangatlah singkat. Jika kita tidak menggenggam waktu untuk menapaki Jalan Kebenaran yang kita pilih dengan mantap dan sungguh-sungguh, waktu kita akan berlalu sia-sia dan sulit bagi kita untuk memahami kebenaran. Jadi, setelah memiliki keyakinan benar, kita harus tekun dan bersemangat melatih diri.
Saat melatih diri, kita harus memiliki perhatian benar dan konsentrasi. Tanpa konsentrasi, kita tidak akan bisa mempertahankan perhatian benar. Jika demikian, bagaimana bisa kita mencapai tujuan dari jalan pelatihan diri yang panjang ini? Jadi, kita harus memiliki konsentrasi yang tidak terbuyarkan. Kita juga harus memiliki kebijaksanaan.
Dengan kebijaksanaan, barulah kita bisa membedakan baik dan buruk serta sepenuhnya memahami bahwa hati, Buddha, dan semua makhluk pada hakikatnya tiada perbedaan. Saat kita memandang orang lain dan diri sendiri sebagai satu kesatuan, kita akan terbebas dari perselisihan. Inilah kebijaksanaan. Jika bisa melatih diri hingga merangkul seluruh alam semesta dan terbebas dari perselisihan, bukankah kita telah melampaui keduniawian dan mencapai tataran Buddha?
Suatu kali, saat sekelompok anggota Sangha tengah mendiskusikan sesuatu, Buddha melewati mereka dan berkata, “Adakah yang tidak kalian pahami?” Seorang anggota Sangha berkata, “Dalam Sangha, terdapat seorang bhiksu muda. Dia bertekad untuk melatih diri, tetapi terus memikirkan seorang wanita di dalam hatinya. Yang Dijunjung, bagaimana kami membimbingnya?” Buddha berkata, “Bawa bhiksu muda itu ke hadapan-Ku.”
Setelah bhiksu muda itu dibawa ke hadapan-Nya, Buddha bertanya padanya, “Benarkah engkau terus memikirkan seorang wanita?” Dengan penuh penyesalan, bhiksu muda itu berkata kepada Buddha,” Benar, aku sangat menderita karenanya.” Buddha menatap bhiksu itu, lalu berkata kepada semua anggota Sangha, “Ini adalah tabiat buruk yang dibawanya dari kehidupan lampau.”
Pada masa Raja Brahmadatta, seorang ayah dan putranya yang merupakan praktisi brahmana tinggal di pegunungan. Mereka melatih diri di sana. Sang ayah merupakan seorang guru ajaran brahmana yang sangat memandang penting pelatihan diri. Karena itu, dia pindah ke pegunungan bersama putranya demi mewariskan ajaran brahmana kepada putranya.
Setelah pindah ke pegunungan, suatu hari, saat sedang bekerja, putranya bertemu dengan seorang wanita yang bertubuh molek. Pemuda ini tidak dapat menahan godaan dan terpikat oleh wanita tersebut. Suatu hari, saat ayahnya pulang ke rumah dan melihatnya duduk di tempat tidur, ayahnya berkata padanya, “Biasanya engkau sangat tekun, tetapi hari ini terlihat tidak bersemangat. Apakah ada yang membebani pikiranmu?”
Pemuda ini dengan jujur berkata pada ayahnya, “Ada seorang wanita yang memintaku untuk pindah ke permukiman dan membina rumah tangga bersamanya. Aku sangat menderita. Saat terpikir harus meninggalkan Ayah, aku merasa sangat tidak sampai hati, tetapi aku juga tidak bisa jauh dari wanita ini. Dia berjanji bahwa dia akan menungguku untuk pindah bersamanya ke permukiman dan menjalani hidup seperti orang pada umumnya.”
Ayahnya lalu berkata padanya, “Jika engkau telah mengambil keputusan, Ayah tidak akan melarangmu. Namun, jika hidup bersama wanita ini membuatmu bersusah payah, ingatlah bahwa Ayah selalu menyambutmu kembali untuk terus melatih diri bersama.” Saat itu, dia sama sekali tidak terharu dan dengan gembira menemui wanita itu. Mereka bersama-sama pindah ke permukiman. Dia membantu wanita itu merapikan kamar dan tempat tidur dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga.
Saat wanita itu berkata bahwa dia ingin makan sesuatu, baik itu daging maupun ikan, pemuda itu akan segera menghidangkannya. Dia selalu sibuk hingga tidak sempat beristirahat. Dia sangat lelah. Beberapa waktu kemudian, dia berpikir, “Ayah telah melakukan banyak hal demi aku, tetapi aku malah meninggalkannya dan bersusah payah demi seorang wanita karena tidak tahan menghadapi godaan. Untuk apa aku berbuat demikian?” Dia pun tersadarkan dan meninggalkan wanita itu. Dia lalu kembali ke pegunungan untuk menerima bimbingan ayahnya.
Bercerita sampai di sini, Buddha berkata kepada para anggota Sangha, “Perlu kalian ketahui bahwa pemuda saat itu adalah kehidupan lampau bhiksu muda ini dan sang ayah adalah kehidupan lampau-Ku. Meski bhiksu muda ini bertekad untuk melatih diri, tetapi noda batin dan tabiat buruknya belum terhapus.”
Dari kisah ini kita bisa mengetahui bahwa kita harus memiliki akar keyakinan yang dalam. Kita harus sungguh-sungguh membina keyakinan benar. Jangan biarkan keyakinan kita menyimpang, seperti pemuda yang tersesat karena nafsu keinginan duniawi. Kita hendaknya tahu bahwa tujuan mempelajari ajaran Buddha ialah menghapus noda batin dan kembali pada hakikat sejati.
Kita harus menghapus noda batin serta kembali pada hakikat sejati dan keyakinan benar. Kita harus memiliki keyakinan benar, baru bisa melenyapkan pikiran keliru. Kita juga membutuhkan perhatian benar. Tanpa perhatian benar, kondisi luar bisa dengan mudah menggoyahkan tekad kita. Jadi, kita harus memiliki tekad yang teguh. Jika tidak, kita akan seperti pemuda yang termakan oleh godaan hingga keyakinan dan tekadnya goyah.
Untuk itu, kita tentu membutuhkan konsentrasi dan kebijaksanaan. Konsentrasi dapat menumbuhkan kebijaksanaan. Jadi, kita hendaklah senantiasa menjaga keteguhan tekad pelatihan kita.