Keyakinan adalah ibu dari segala pahala yang menumbuhkan segala akar kebajikan. Jika kita memiliki keyakinan dan senantiasa menumbuhkan akar kebajikan, maka jalan kehidupan ini akan sangat lapang dan luas. Karena itu, kita harus menggunakan kebijaksanaan untuk membuat pilihan yang berkenaan dengan setiap orang, hal, dan masalah. Setelah membuat pilihan,  kita harus sangat yakin dan jangan timbul keraguan.

Hati kita penuh dengan noda batin dan belenggu yang tak kunjung terbuka. Karena itu, kita harus memiliki keyakinan. Pikiran kita harus lurus, baru bisa menumbuhkan kebajikan. Jika pikiran kita tidak lurus dan tidak bajik, maka kita akan berjalan menyimpang menuju keburukan. Jadi, keraguan membawa kegelapan. Jika cahaya kebijaksanaan tidak bersinar, pintu hati kita menjadi mudah tertutup. Kita harus selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak ragu terhadap ajaran benar. Karena jika demikian, maka kita akan tersesat dan jauh menyimpang.

Ada seorang pria ingin pergi ke wihara untuk mengikuti kebaktian pagi. Namun, wihara itu terletak sangat jauh dari desanya. Orang di wihara mulai mengetuk kayu tanda berkumpul. Pria itu juga tiba di wihara. Saat melihatnya, seorang bhiksu menyapanya, “Anda datang pagi sekali.” Pria tersebut kemudian menjawab, “Ya, saya datang untuk mengikuti kebaktian.”

Bhiksu itu melihatnya dan kembali bertanya, “Kenapa Anda tidak membawa lentera? Di luar sangat gelap dan jalan begitu sempit. Bagaimana bisa Anda tiba di sini tanpa membawa lentera?”

Pria itu menjawab, “Tidak perlu. Membawa lentera sama sekali tidak bermanfaat bagi saya.” Dia kembali melanjutkan, “Karena mata saya tidak bisa melihat. Jadi, membawa lentara atau tidak, tidaklah berbeda.”

Para bhiksu mulai berkumpul untuk memulai kebaktian. Selama kebaktian, dia bisa mendengar lantunan Sutra dengan sangat jelas. Usai kebaktian, dia bertemu dengan guru di sana untuk bertanya tentang beberapa penggalan Sutra. Guru itu bertanya, “Anda sudah berapa lama mempelajari Sutra?”

Dia menjawab, “Tidak lama. Saya terus berpikir kehidupan manusia tidak panjang. Mulai sekarang, saya harus segera mendekatkan diri dengan pintu Buddha untuk mendalami kebenaran. Karena itu, hari ini saya khusus datang mengikuti kebaktian pagi untuk yang pertama kalinya.”

Guru itu berkata, “Ini pertama kalinya Anda datang mengikuti kebaktian pagi. Mengapa Anda tidak membawa lentera? Anda sudah datang pagi-pagi. Apakah Anda tidak takut jatuh ke dalam selokan saat dalam perjalanan?”

Pria itu menjawab, “Tidak. Saya sudah tahu jelas jalan ke sini. Meski ini pertama kalinya saya ke sini mengikuti kebaktian pagi, tetapi sebenarnya saya sudah pernah ke sini beberapa kali dengan dituntun orang. Jadi, saya sudah tahu jalannya.”

Guru itu kembali bertanya, “Ini pertama kalinya Anda mengikuti kebaktian, bagaimana Anda bisa ingat begitu banyak? Apakah sebelumnya Anda pernah membaca Sutra?”

Dia menjawab, “Tidak. Saya tidak mengerti. Namun, saya bisa mendengar lantunan Sutra para bhiksu di sini dengan sangat jelas. Karena itu, jika ada yang saya tidak paham, saya akan menanyakannya pada Guru.”

Saat senja, hari pun mulai gelap. Saat akan pulang, dia berkata kepada guru, ”Guru, bolehkah Anda meminjamkan saya sebuah lentera?”

“Bukankah Anda bilang lentera tidak berguna bagimu? Tadi pagi Anda bisa datang, mengapa pada malam hari Anda membutuhkan lentera?” Pria itu menjawab, “Saya yakin pagi-pagi tidak ada orang di jalan. Jadi, saya tidak akan ditabrak orang. Namun, sekarang hari mulai gelap. Saat saya tiba di desa, hari pasti sudah gelap. Jika tidak membawa lentera, orang mungkin akan menabrak saya. Jadi, sekarang saya harus pulang dengan membawa lentera agar orang lain tidak menabrak saya.”

Meski ini hanya sebuah kisah, tetapi bukankah kita juga seperti itu? Kita harus memiliki kebijaksanaan. Meski mata pria tadi tidak bisa melihat, tetapi dia memiliki mata hati. Dia yakin dia tahu arahnya. Dia yakin pada dirinya sendiri. Meski matahari belum terbit dan hari masih gelap, dia yakin dia bisa tiba di wihara dengan aman. Dia yakin dia bisa melakukan perjalanan dengan aman. Ini karena dia meyakini dirinya sendiri. Namun, mengapa saat pulang, dia harus membawa lentera? Ini karena dia ingin berjaga-jaga agar orang lain tidak menabraknya. Dia yakin pada dirinya sendiri, tetapi dia tidak yakin pada orang lain. Karena itu, pada saat pulang, dia membawa lentera.

Untuk yakin pada diri sendiri sekaligus yakin pada orang lain, dibutuhkan kebijaksanaan yang sangat tinggi. Singkat kata, manusia selalu saling menaruh curiga. Karena itulah, pikiran kita menjadi sangat kacau. Jalan hidup kita juga menjadi gelap. Meski jalan tersebut sangat lurus dan lapang, kita sendiri malah merintangi jalan kita sendiri. Ini karena keraguan. Karena itu, kita harus mengingatkan diri sendiri untuk tidak ragu terhadap diri sendiri, juga jangan ragu terhadap orang lain. Jika ragu terhadap orang lain, maka kita tidak dapat belajar sesuatu.

Ada sebuah ungkapan berbunyi, “Di antara tiga orang, pasti ada seorang yang menjadi guru kita”. Setiap orang adalah guru kita. Tak peduli mereka adalah mitra baik ataupun mitra jahat, mereka semua adalah pendidikan hidup. Kita jangan memandang perbedaan pendapat sebagai masalah.

Saat timbul suatu masalah, kita harus menganggapnya sebagai pelajaran. Dengan begitu, kita akan memiliki kebijaksanaan untuk meyakini diri sendiri dan melihat segala sesuatu dengan jelas. Kita juga jangan merendahkan orang lain dan ragu terhadap orang lain. Kita harus memiliki kebijaksanaan. Kita harus yakin terhadap diri sendiri, bukan ragu terhadap diri sendiri. Jadi, Saudara sekalian, kita harus menggunakan pikiran sederhana dan hati yang murni untuk bergaul dengan mitra baik. Inilah yang benar.

Demikianlah kisah nya dituliskan dari Video Master Cheng Yen Bercerita – Orang Buta Membawa Lentera (014)  https://youtu.be/8wVFRm4YhyQ

GATHA PELIMPAHAN JASA
Semoga mengikis habis Tiga Rintangan
Semoga memperoleh kebijaksanaan dan memahami kebenaran
Semoga seluruh rintangan lenyap adanya
Dari kehidupan ke kehidupan senantiasa berjalan di Jalan Bodhisattva