Buddha berkata bahwa orang yang sombong bersikap angkuh. Lihatlah, orang seperti ini juga sangat banyak. Mereka menganggap diri mereka berpendidikan tinggi dan lebih hebat dari orang lain. Orang seperti ini hanya tertarik pada pengetahuan atau wawasan umum belaka. Mereka hanya tahu istilah dan kulit luarnya saja. Namun, tahu saja tidak ada gunanya jika tidak dapat menerapkannya di tengah masyarakat untuk memberi manfaat bagi banyak orang. Itu hanya pengetahuan belaka. Mereka tahu mengenai banyak hal dan bisa mengajari orang lain, tetapi saat diminta untuk mempraktikkannya, mereka tidak bisa. Mereka tidak dapat menyatu dengan orang banyak. Ini juga berujung pada banyaknya kerisauan. Ini juga merupakan penderitaan.
Nanda adalah adik dari Buddha. Berkat dorongan dari Buddha, dia masuk ke dalam Sangha, tetapi tekadnya tidak teguh. Nafsu keinginannya masih banyak. Terlebih lagi, dia juga angkuh dan sombong. Dia sangat menginginkan kenikmatan hidup berkeluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, dia juga suka memamerkan statusnya kepada orang lain.
Suatu ketika, saat mengumpulkan persembahan makanan, dia menghampiri rumah keluarga bangsawan. Melihat hal ini, orang-orang bergosip, “Bukankah dia adalah adik Buddha? Meski sudah meninggalkan keduniawian, pakaiannya masih begitu indah. Dia juga masih makan enak. Dia hanya berkeliling di daerah orang-orang berstatus tinggi.”
Hal itu terdengar oleh Buddha. Buddha lalu memanggil Nanda dan berkata, “Nanda, engkau telah bersalah. Engkau adalah petapa, tetapi engkau mengenakan jubah yang mewah dan hanya mengumpulkan makanan dari keluarga terpandang. Nafsu keinginanmu belum dilenyapkan. Meski meninggalkan keduniawian, engkau bukan hanya tidak mengembangkan pahala, tetapi malah menambah kemelekatan terhadap kondisi luar. Engkau penuh kesombongan dan keangkuhan. Engkau menganggap dirimu selamanya adalah kaum bangsawan. Sikap seperti ini adalah kesalahan besar. Kesalahanmu membuat orang lain menciptakan karma buruk lewat ucapan.”
Buddha memberinya banyak nasihat. Setelah mendengarnya, Nanda merasa malu karena belum menaklukkan kesombongannya. Dia memohon kepada Buddha, “Bagaimana caranya agar aku bisa melenyapkan ketamakan, kebencian, kebodohan, dan kesombongan?”
Buddha berkata, “Ganti jubahmu dengan jubah kasaya berbahan kain perca yang sederhana. Pergilah ke pemakaman dan amatilah bagaimana tubuh manusia berakhir setelah mati. Berintrospeksilah dengan sungguh-sungguh. Kendalikan pikiranmu dan rasakanlah kehidupan di sekitar pemakaman.”
Nanda menerima semua petunjuk Buddha. Dia telah bertekad dan berikrar untuk menerima, meyakini, dan menjalankannya. Dia benar-benar pergi ke pemakaman.
Buddha sering meminta bhiksu lain untuk menengok Nanda yang berlatih di sana. Saat para bhiksu melewati pemakaman, mereka melihat Nanda berlatih dengan tekun. Dia juga makan dengan sederhana. Dia mengumpulkan persembahan makanan dari keluarga kurang mampu di sekitar pemakaman. Jadi, makanan yang dia terima juga sangat sedikit. Mangkuk makannya tidak penuh. Setelah makan, dia mulai berlatih dan bermeditasi sesuai aturan.
Setelah seratus hari berlalu, Buddha mendengar kabar Nanda. Dengan kebijaksanaan-Nya, Buddha juga mengamati dan melihat proses pelatihan diri Nanda. Beliau meminta bhiksu lain menjemput Nanda kembali.
Setelah Nanda kembali ke tengah-tengah Sangha, Buddha melihat kini tekad pelatihan diri Nanda sudah teguh. Dia sudah berbeda dari sebelumnya. Meski menjadi lebih kurus, tetapi dia penuh energi pelatihan diri.
Buddha memuji Nanda, “Engkau telah mengendalikan indramu dan hanya makan secukupnya.”
Indra meliputi mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran. Semuanya telah dijaga dengan baik. Pikirannya terkendali dan mampu menyerap kebenaran. Nanda berlatih dengan tekun dan bersemangat sepanjang hari tanpa membiarkan waktu tersia-siakan sedikit pun.
Saat beristirahat pada malam hari, baik sebelum, saat, ataupun setelah tengah malam, pikirannya tetap terkendali dan tidak kacau. Nanda tetap tekun dan giat. Batinnya juga sangat bebas.
Pada waktu sebelum, saat, atau setelah tengah malam serta pada waktu menjelang matahari terbit, pikiran Nanda tetap terjaga dan teguh. Inilah pikiran yang menakjubkan.
Buddha juga mengatakan bahwa Nanda adalah orang yang bijaksana. Dia telah mengetahui dengan baik esensi dan karakteristik pikiran. Dia memahami timbul dan tenggelamnya pikiran.
Kita makhluk awam sering kali tidak dapat mengendalikan pikiran yang bergejolak. Namun, Nanda sudah mampu memahami esensi dan karakteristik pikiran. Dia telah mampu mengendalikan pikirannya. Dia memahami cara kerja pikiran. Dia memahami sifat, ciri, dan fungsi pikiran. Dia memahami kondisi, perwujudan, dan fungsi pikiran. Dengan memahami esensi dan karakteristik pikiran, dia mampu memahami kebenaran. Karena itu, Buddha berkata, “Aku sangat gembira.”
Buddha turut bergembira. Beliau berkata kepada para bhiksu, “Begitulah kalian semua hendaknya berlatih.” Buddha meminta mereka meneladan Nanda. Meski dahulu Nanda hidup dalam kesesatan, kerap memanjakan diri, dan penuh kesombongan, tetapi dia telah menerima nasihat Buddha dan berlatih dengan sepenuh hati.
Dalam waktu sekitar seratus hari, dia mampu mengubah diri dan menjadi praktisi yang teguh dalam pelatihan diri. Buddha meminta semua orang untuk belajar darinya. Jadi, Buddha memberi ajaran dengan berbagai cara sesuai kondisi dan kemampuan masing-masing orang. Kita hendaknya segera menerima ajaran ini.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Metta Wulandari
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Metta Wulandari