Orang zaman dahulu mengatakan bahwa kita hendaknya memperbarui diri setiap hari. Jika kita bisa menghapus semua hal yang tidak menyenangkan yang terjadi sebelumnya setelah bangun tidur, kita bisa menjalani hidup dengan bahagia.
Saya sering berkata bahwa pikiran adalah akar dari segalanya. Perbuatan baik ataupun buruk, semuanya berawal dari sebersit pikiran. Kita akan berbuat baik jika kita membangkitkan sebersit pikiran untuk melenyapkan ketamakan, kebencian, dan kebodohan. Begitu pikiran baik ini timbul, kita akan menapaki jalan kebenaran.
Namun, dengan banyaknya kondisi luar yang dihadapi, kita mungkin tidak selalu berada di jalan yang benar karena sekeliling kita penuh dengan beragam perangkap dan godaan. Jadi, setelah pikiran baik timbul, kita tetap harus senantiasa meningkatkan kewaspadaan. Waspada berarti memiliki rasa malu.
Kita hendaknya senantiasa berintrospeksi diri. Mengapa kita sering kali tidak bisa mencapai target yang kita tentukan sendiri? Mengapa kita kalah dari orang lain? Melihat orang lain begitu tekun melatih diri, mengapa kita tidak bisa setekun mereka? Di dunia ini terdapat beragam noda batin. Orang lain bisa segera memperbaiki diri, mengapa kita berulang kali melakukan kekeliruan yang sama? Mengapa kita demikian? Dengan adanya rasa malu, kita akan berintrospeksi diri. Jadi, kita harus memiliki rasa malu.
Orang yang memiliki rasa malu baru bisa membangkitkan rasa takut. Jika tidak memiliki rasa malu, seseorang tidak akan mengenal rasa takut dan akan bertindak sesuka hatinya. Pernahkah kita sengaja menciptakan karma buruk atau tidak sengaja melakukan kekeliruan? Jika pernah, kita akan menerima akibatnya. Mengetahui hal ini, kita akan merasa takut. Dengan adanya rasa malu, barulah kita akan takut perbuatan kita membuat kita terjerumus ke tiga alam bawah. Inilah rasa takut.
Nanda adalah adik tiri Buddha yang merupakan calon pewaris takhta di mata sang raja. Istrinya merupakan wanita yang paling jelita di negeri itu. Setelah menikah, Nanda tenggelam dalam hiburan dan kenikmatan hidup.
Suatu hari, Nanda dan istrinya tengah menikmati pertunjukan tari. Melihat Buddha berjalan lewat dengan mangkuk kosong, Nanda segera turun dari lantai atas dan dengan penuh hormat berkata kepada Buddha, “Izinkan aku mempersembahkan makanan pada-Mu.” Dia segera membawa mangkuk ke dalam.
Saat kembali dengan mangkuk yang terisi penuh, dia melihat bahwa Buddha telah berjalan maju. Dia lalu membawa mangkuk tersebut sambil mengikuti Buddha. Akhirnya, mereka tiba di vihara Buddha. Setelah Buddha duduk, dia pun mempersembahkan makanan.
Buddha berkata, “Nanda, kehidupan tidak kekal dan perasaan hanyalah ilusi. Kesempatan terlahir sebagai manusia sangatlah langka. Jika dapat meninggalkan keduniawian dan memutus semua nafsu keinginan, engkau akan terbebaskan.”
Saat Nanda masih merasa ragu, Buddha menyuruh orang untuk mencukur rambutnya. Jadi, dengan setengah paksaan, Nanda meninggalkan keduniawian. Namun, Nanda belum bisa memutus nafsu keinginannya.
Suatu hari, saat akan pergi mengumpulkan makanan, Buddha berkata pada Nanda, “Berjagalah di vihara hari ini.” Nanda sangat gembira mendengarnya. Namun, Buddha segera kembali ke vihara. Melihat Nanda yang telah meninggalkan vihara dan hendak kembali ke rumahnya dahulu, Buddha berkata padanya, “Ke mana engkau hendak pergi? Hari ini adalah kesempatan yang baik dan langka untuk menunjukkan beberapa tempat padamu.”
Dia dan Buddha duduk di sana dan seakan pergi ke tempat yang sangat jauh. Di alam surga, Nanda melihat orang-orang tengah membangun rumah yang sangat bagus. Nanda bertanya kepada Buddha, “Aku belum pernah melihat rumah semegah ini.” Buddha berkata, “Engkau bisa menanyakan siapa pemilik rumah ini.”
Nanda pun bertanya pada seseorang di sana. Orang yang merupakan mandor itu berkata, “Ini dibangun untuk seorang suciwan bernama Nanda yang telah bertekad untuk meninggalkan keduniawian.” Mendengar jawabannya, hati Nanda dipenuhi sukacita dan berpikir, “Untukku?” Mendengar musik yang merdu dan melihat sekelompok wanita jelita menari, Nanda juga bertanya tentang mereka. Mandor itu berkata, “Setelah pemilik rumah ini datang, dewi-dewi inilah yang akan melayaninya.”
Kemudian, Buddha kembali membawa Nanda ke tempat lain yang sangat jauh. Suara rintihan sudah terdengar dari kejauhan. Mereka melihat para yaksa dan setan tengah menghukum tahanan. Melihat ada yang tengah memanaskan sepanci minyak, Nanda pun bertanya, “Untuk apa engkau memanaskan minyak dalam panci sebesar ini?”
Setan itu berkata, “Untuk orang yang berkesempatan untuk melatih diri, tetapi meninggalkan Sangha karena melekat pada nafsu keinginan. Kelak dia akan memiliki kekuasaan besar dan kedudukan tinggi, tetapi kemelekatannya akan membuatnya menciptakan banyak karma buruk. Setelah dia meninggal dunia, minyak yang mendidih inilah yang menantinya.” Nanda lalu bertanya, “Siapakah dia?” Setan itu berkata, “Adik Buddha, Nanda.” Nanda sangat takut mendengarnya dan segera berlari ke sisi Buddha dan berkata, “Mari kita pulang.”
Buddha tersenyum dan dia pun sadar kembali. Nanda tetap duduk di tempat semula di hadapan Buddha. Nanda berkata, “Sebaik apa pun alam surga, setelah berkahku habis, aku tetap akan terjerumus ke alam bawah. Aku takut pada minyak mendidih di alam neraka itu. Jadi, aku akan melatih diri bersama Yang Dijunjung.” Jadi, dia memutus nafsu keinginannya dan berfokus melatih diri.
Kebaikan dan keburukan tarik-menarik. Jika kita tidak memiliki rasa malu dan menenangkan pikiran saat menghadapi kondisi luar, bukankah kita akan seperti Nanda yang kembali tergoda oleh kondisi luar? Buddha menggunakan metode terampil untuk menunjukkan kepada Nanda bahwa kenikmatan di alam manusia tak sebanding dengan alam surga.
Meski dipenuhi berkah di dunia ini, karma buruknya tetap akan berbuah kelak. Tidak peduli menjadi raja atau tidak, dia tetap akan disiksa di dalam minyak mendidih jika melakukan kekeliruan. Buddha menunjukkan semua ini agar Nanda dapat paham dan waspada. Jadi, kita harus memiliki rasa malu, baru bisa membangkitkan rasa takut. Dengan adanya rasa takut, barulah kita bisa waspada setiap waktu.