Saya sering berkata bahwa jika kita dapat mempertahankan tekad awal maka kita pasti dapat mencapai Kebuddhaan. Saat membangkitkan niat untuk melatih diri, itulah awal kita menapaki jalan menuju pencerahan. Sebelum mulai menapaki jalan ini, kita harus punya tujuan yang jelas. Dengan adanya tujuan yang jelas maka arah kita tidak akan menyimpang. Karena tidak tega dengan penderitaan semua makhluk, Buddha berulang kali datang ke dunia ini demi satu tujuan penting, yakni untuk membimbing pikiran dan menyadarkan semua makhluk agar menyelami ajaran Buddha. Dengan penuh cinta kasih dan welas asih, Buddha memberi bimbingan. Namun, apakah kita mendengar dan merenungkannya dengan sungguh-sungguh?
Saya sering mengulas tentang mendengar, merenung, dan mempraktikkan. Setelah mendengar ajaran Buddha, kita harus merenung secara mendalam agar dapat memahami prinsip kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kita harus memupuk berkah dan kebijaksanaan secara bersamaan, menciptakan berkah bagi umat manusia, serta berusaha membimbing semua makhluk untuk menapaki jalan Bodhisatwa.
Ada seorang kepala bagian yang sangat mendedikasikan diri untuk Tzu Chi. Dia membawa banyak idealismenya saat bergabung dengan Tzu Chi. Beberapa waktu kemudian, dia datang ke Griya Jing Si dan berkata kepada saya, “Saya sangat bersungguh hati dalam mempelajari Tzu Chi dan mengikuti berbagai kegiatan Tzu Chi. Saya sangat bersungguh-sungguh dan berusaha keras. Saya merasa bahwa lingkungan Tzu Chi sangat berbeda dengan lingkungan luar. Saya tidak tahu bagaimana memimpin tim saya agar dapat bekerja sama dengan tim lain.” Dia terlihat sangat tidak berdaya. Saya lalu berbagi sebuah kisah dengannya. Saya berkata padanya, “Dalam melakukan segala sesuatu, hendaknya kamu memiliki tujuan dan pikiran yang benar. Jika memiliki pikiran yang benar, memiliki arah dan tujuan yang benar maka tiada yang sulit untuk dicapai.”
Seperti kisah di bawah ini:
Di sebuah wihara, ada seorang biksu senior yang membimbing sekelompok samanera (calon biksu). Di antaranya ada seorang samanera berusia 12 tahun. Biksu senior berkata padanya, “Kamu harus turun gunung setiap hari dan berjalan melintasi dua gunung untuk membeli beras dan minyak goreng.” Setiap pagi, samanera cilik itu turun gunung dengan gembira. Sebelum siang hari, ia sudah kembali dengan memanggul barang belanjaan yang berat. Selama hampir 10 tahun, ia sudah bolak-balik sebanyak lebih dari 3.000 kali.
Suatu hari, seperti biasanya ia pulang siang hari. Ia melihat biksu senior telah menunggunya di depan pintu. Biksu senior berkata, “Mari, kamu taruh dahulu barangnya. Aku akan mengajakmu ke depan gerbang gunung.” Mereka duduk bersama sambil melihat matahari terbenam perlahan-lahan. Mereka mendengar suara orang berkelakar. Dua orang biksu muda sedang bersenda gurau. Saat melihat biksu senior, mereka segera terdiam.
Biksu senior berkata kepada mereka, “Sekarang sudah senja, apa yang kalian beli di bawah gunung?”
Dengan enteng mereka mengambil barang belanjaan mereka dan menjawab, “Kami berbelanja barang-barang ini.”
Biksu senior kembali bertanya kepada mereka, “Kondisi jalan sangat baik dan jarak pasar tidak terlalu jauh. Mengapa selama hampir 10 tahun ini, kalian selalu keluar pagi-pagi dan baru kembali saat senja?”
Kedua biksu muda itu menjawab, “Barang yang kami beli lebih kecil dan ringan. Karena itu sambil berjalan, kami juga beristirahat dan menikmati pemandangan sekitar.”
Biksu senior menoleh dan bertanya kepada samanera cilik itu, “Bagaimana denganmu? Setiap hari kamu kembali dengan memanggul keranjang yang berat. Mengapa kamu dapat tiba sebelum siang hari?”
Samanera itu menjawab, “Setiap pagi, saat akan turun gunung, saya membangkitkan (mengkondisikan –red) hati yang damai dan penuh syukur. Saat sedang naik gunung, meski memanggul keranjang yang berat, tetapi saya sangat gembira karena telah mencapai misi. Hati saya merasa sangat tenang. Jadi, saya turun gunung dengan hati penuh syukur dan naik gunung dengan hati yang damai.”
Sang biksu senior berkata, “Usia kalian sama. Namun, lihatlah, meski memanggul keranjang berat, dia tetap melakukannya dengan hati yang damai. Sebaliknya, kalian yang mengambil barang-barang yang lebih ringan, masih mengeluh lelah. Apa pencapaian kalian selama satu hari?” Kedua biksu muda itu segera bertobat.
Saya menceritakan kisah ini kepada kepala bagian baru itu. Setelah mendengarnya, kepala bagian itu berkata, “Ya, benar. Dalam mengemban tanggung jawab, kita harus menggunakan hati yang penuh syukur. Dengan demikian, saat misi tercapai, kita akan merasakan kedamaian.”
Saya berkata padanya, “Ternyata kamu juga mendalami ajaran Buddha.” Dia pun menceritakan perjalanannya saat pertama kali mempelajari ajaran Buddha. Tentu saja, mempelajari ajaran Budda berbeda dengan praktik nyata dalam keseharian. Kita dapat menyesuaikan arah dan senantiasa ingat untuk menjadikan hati Buddha sebagai hati sendiri. Hati Buddha adalah hati yang penuh welas asih terhadap semua makhluk. Jadi, dalam mempelajari ajaran Buddha, kita harus bersabar dan senantiasa merenungkan makna dari ajaran Buddha, serta mempraktikknya dalam kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu akan terus mengalami perubahan setiap hari. Akan tetapi, Dharma tidak pernah berubah selamanya. Dengan menggunakan ajaran Buddha yang abadi, kita menghadapi segala sesuatu di dunia yang terus berubah. Untuk itu, kita harus merenung secara mendalam untuk mengkaji seperti apa orang tersebut, bagaimana jalinan jodohnya, dan kisah seperti apa yang sesuai dijadikan sebagai perumpamaan. Ini semua merupakan cara untuk membimbing orang.