Kita harus mengembangkan kebijaksanaan dan mempraktikkan segala kebajikan. Asalkan bisa terjun ke tengah masyarakat dengan kebijaksanaan, kita dapat mempraktikkan Empat Metode Pendekatan, yakni berdana, bertutur kata penuh cinta kasih dan kelembutan, senantiasa berpikir untuk membawa manfaat bagi orang lain, serta berinteraksi secara harmonis dengan orang-orang dan menginspirasi mereka untuk bersama-sama berbuat baik. Ini sangat mudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, dengan mengembangkan kebijaksanaan dan mempraktikkan segala kebajikan, kita dapat menolong semua makhluk. Ini dapat dilakukan oleh semua orang. Apakah sulit untuk menjalankan praktik Bodhisatwa? Orang-orang dari berbagai bidang dapat menjalankannya. Ini tidaklah sulit. Karena itu, kita harus bersungguh hati.
Kita harus menjalankan Enam Paramita, yakni dana, disiplin moral, kesabaran, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Jika bisa menjalankan Enam Paramita secara lengkap, berarti kita telah menjalankan praktik Bodhisatwa. Untuk menjalankan praktik dana, kita harus bersedia berdana dan bersumbangsih. Kita juga harus tekun dan bersemangat mempraktikkan kebenaran yang kita sebarkan. Saat menghadapi kesulitan, kita harus bisa mengatasinya. Kita juga harus memiliki kelembutan, kebajikan, dan kesabaran. Semua ini harus kita praktikkan.
Untuk melatih diri dengan tekun dan bersemangat, kita harus bisa teguh dan berkonsentrasi. Kita hendaknya berkonsentrasi pada pikiran benar. Jangan terganggu oleh kondisi luar. Semua orang hendaknya bisa melakukannya. Dalam mempelajari ajaran Buddha, kita hendaknya memahami hal ini. Jadi, jika bisa memahami dan mempraktikkan semua kebajikan yang disebutkan di atas, pelatihan diri kita bisa sangat sempurna.
Setelah mendengar dan memahami Dharma, kita harus mewariskan Dharma. Jika bisa memahami dan menyebarkan Dharma, kita harus bisa mewariskannya. Kebajikan harus dipraktikkan, bukan sekadar disebarkan. Kita harus bisa mempraktikkannya. Dharma bisa dipraktikkan oleh semua orang. Manusia harus bisa mempraktikkannya karena hewan juga bisa mempraktikkannya.
Berkalpa-kalpa yang tak terhitung lalu, ada seekor naga beracun. Sejak ia lahir, embusan napasnya saja bisa membuat orang-orang di sekitarnya keracunan. Saat ia membuka mata, orang yang terlihat olehnya pun akan mati. Ini membuatnya sangat sedih. “Mengapa aku terlahir dengan tubuh yang penuh racun? Membuka mata bisa melukai orang, mengembuskan napas bisa melukai orang, bahkan sisik di seluruh tubuhku pun menyemburkan gas beracun jika terbuka.”
Naga ini yakin pada ajaran Buddha. Suatu hari, ia bahkan berikrar untuk menjalankan sila satu hari. Setelah berikrar, dalam perjalanan pulang, ia melewati sebuah hutan dan merasa lelah. Ia pun meringkuk di atas hamparan rumput dan tertidur.
Seorang pemburu yang kebetulan lewat melihat sesuatu yang berkilau. Setelah melihat dengan saksama, dia pun menyadari bahwa itu adalah seekor naga. Dia sangat gembira. Dia berpikir, “Naga ini sudah tidur lelap. Jika bisa mengulitinya dan mempersembahkan kulitnya pada raja, aku akan memperoleh banyak hadiah.” Timbulnya pikiran buruk membuat pemburu itu menggunakan sebuah tongkat yang sangat besar untuk menekan kepala naga dengan kuat.
Naga ini semula sangat kuat. Namun, hari itu ia tengah menjalankan sila. Meski telah bangun, ia tidak berani bergerak. Pemburu yang telah membangkitkan niat buruk menekan kepalanya dengan sangat kuat dan bersiap-siap untuk mengulitinya.
Naga ini sama sekali tidak berani bergerak karena jika ia bergerak, sisiknya akan terbuka dan racun dari tubuhnya akan melukai pemburu itu. Ia tidak berani membuka mata dan mengembuskan napas. Ia berpikir, “Aku tengah menjalankan sila. Aku tidak boleh melukai orang lagi.”
Saat pemburu itu menggunakan pisau untuk mengulitinya, ia sangat kesakitan. Meski demikian, ia tetap menahan rasa sakit itu dan membiarkan pemburu mengulitinya. Ia rela mengorbankan nyawanya untuk melindungi pemburu itu. Pemburu itu mengulitinya hingga bersih tanpa sisa sedikit pun. Dengan gembira, pemburu itu pergi dengan membawa kulitnya.
Tidak jauh dari naga ini terdapat sebuah sungai. Berhubung kulit di seluruh tubuhnya telah diambil, naga ini mengalami rasa sakit yang tak terkira. Terlebih, di bawah sinar matahari yang terik, bergerak saja sangat sulit. Kemudian, serangga-serangga mulai berdatangan. Tidak lama kemudian, tubuhnya sudah dikerubungi serangga.
Di bawah teriknya sinar matahari dan gigitan serangga, naga ini ingin bergerak, tetapi khawatir akan melukai serangga-serangga di seluruh tubuhnya. Ia ingin berendam di dalam sungai, tetapi khawatir serangga-serangga itu akan mati tenggelam. Jadi, dengan hati yang lembut, niat untuk menjalankan sila, dan kekuatan kesabaran, ia tetap berpegang pada samadhi. Akhirnya, ia mati dengan damai meski tubuhnya mengalami penderitaan tak terkira.
Usai membagikan kisah ini, Buddha berkata, “Tahukah kalian bahwa naga itu merupakan kehidupan lampau-Ku, sedangkan pemburu itu merupakan kehidupan lampau Devadatta?” Buddha bersyukur kepada Devadatta yang memberi-Nya ujian sebesar itu. Dengan kesabaran yang begitu besar, naga itu menyempurnakan praktik Enam Paramita sehingga dapat lebih cepat mencapai kebuddhaan.
Saudara sekalian, dalam mempraktikkan Enam Paramita, naga itu menghadapi rintangan yang begitu besar, tetapi dengan tekad yang teguh, ia tetap mempraktikkannya. Jadi, kita harus lebih bersungguh hati setiap waktu.