Saya sering berkata bahwa kita harus mempraktikkan Dharma dalam keseharian dan bersumbangsih sebagai Bodhisatwa dunia. Dalam meneladan Buddha, kita harus mendengar Dharma dan menyerapnya ke dalam hati. Sesungguhnya, mempraktikkan Dharma dalam keseharian sama sekali tidak sulit asalkan kita melakukannya dengan sukarela dan sukacita. Sesungguhnya, Buddha dan Bodhisatwa ada dalam diri kita. Kita harus mencarinya di dalam diri, bukan di luar.

Buddha terus-menerus memberi tahu kita bahwa setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan. Jadi, setiap orang setara dengan Buddha serta memiliki hakikat kesadaran dan kebijaksanaan yang sama dengan Buddha. Namun, sebagai makhluk awam, kita memiliki tabiat buruk. Tabiat buruk ini berasal dari lubuk hati kita dan telah terpupuk dari berbagai kehidupan.

Akibat sebersit kegelapan batin, kita telah membentuk tabiat buruk dari kehidupan ke kehidupan. Tabiat buruk ini memengaruhi perilaku kita. Seiring waktu, tabiat buruk kita makin parah dan dalam kehidupan sehari-hari, ketamakan kita makin menumpuk. Dahulu, saya selalu berkata kepada insan Tzu Chi bahwa cukup mendonasikan 10 persen dari yang dimiliki. Saya yakin ini tidaklah berat.

Saat seseorang menghasilkan 10 dolar, mendonasikan 1 dolar tidak masalah. Saat seseorang menghasilkan 100 dolar, mendonasikan 10 dolar juga tidak masalah. Saat seseorang menghasilkan seribu dolar, mendonasikan 100 dolar pun tidak keberatan. Namun, saat seseorang menghasilkan 100 ribu dolar, dia akan berpikir-pikir untuk mendonasikan 10 ribu dolar. Jika seseorang menghasilkan 100 juta dolar, berapa banyak 10 persen dari penghasilannya? Sepuluh juta dolar.

Untuk mendonasikan 10 juta dolar, dia mungkin harus berpikir berhari-hari. Namun, ada seorang pengusaha yang berkata di hadapan orang banyak bahwa beliau akan mendonasikan 20 persen dari penghasilannya. Saya yakin bahwa beliau pasti bisa mewujudkannya. Saya ingin berbagi sebuah kisah dengan kalian.

Ada seorang pria yang memelihara sekawanan sapi perah. Dia ingin menunjukkan betapa baiknya kualitas susu yang dihasilkan oleh sapi perahnya. Karena itu, dia sering berbagi susu dengan teman-temannya. Teman-temannya berkata, “Susu yang dihasilkan sapimu begitu berkualitas, mengapa engkau tidak mentraktir orang-orang?” Dia berkata, “Baiklah, aku akan mentraktir orang-orang. Bulan depan, seluruh warga desa boleh datang. Aku akan mentraktir semuanya minum susu.”

Setelah pulang, dia dengan gembira berkata kepada keluarganya, “Aku akan membuat seluruh warga desa tahu betapa baiknya kualitas susu yang dihasilkan oleh sapi-sapiku.” Dia pun mulai melakukan perencanaan untuk menyediakan susu bagi seluruh warga desa bulan depan.

Dia memberi tahu keluarganya untuk berhenti memerah seekor sapi. Dia berkata, “Mulai hari ini, jangan memerah susu sapi itu agar susu yang dihasilkannya dapat tersimpan di tubuhnya. Bulan depan, aku akan memerah susunya untuk mentraktir seluruh warga desa agar semua orang tahu betapa baiknya kualitas sapiku.”

Sebulan kemudian, semua orang datang. Dengan percaya diri, dia berkata, “Tidak masalah, datanglah semuanya. Aku telah menyimpan susu yang cukup untuk semuanya.” Orang-orang menunggu di sana. Dia pun membawa sapi pilihannya keluar. Setelah itu, dia mulai memerahnya. Apakah ada susunya? (Tidak ada) Sudah tidak ada. Bukankah manusia juga demikian? Saat ingin melakukan sesuatu, kita hendaknya segera melakukannya. Jangan menunda-nunda.

Di dunia ini, siapa yang menabur, dialah yang menuai. Anda yang menabur, Anda jugalah yang menuai. Dengan melakukan kebaikan, kita dapat memupuk pahala. Jika kita tidak melakukan apa-apa, waktu akan berlalu dengan sia-sia. Karena itulah, saya sering berkata bahwa kita harus menggenggam waktu yang ada dan mempertahankan tekad hingga selamanya. Kita harus segera melakukan hal yang seharusnya dilakukan.

Dengan membangkitkan cinta kasih dan bersumbangsih secara nyata, pahala kita akan bertahan hingga selamanya. Jadi, saat membangkitkan tekad, seketika itu pulalah hendaknya kita mulai bersumbangsih. Pahala yang kita ciptakan akan tetap menjadi milik kita. Singkat kata, kalian semua berasal dari negara yang berbeda-beda dan bekerja di bidang yang berbeda-beda pula. Kita bisa berhimpun di sini berkat adanya jalinan jodoh.

Setelah mendengar dan melihat perbuatan baik serta merasa bahwa kalian bisa melakukannya, maka kalian harus melakukannya. Jadi, mari kita berbuat baik bersama, mempraktikkan Dharma dalam keseharian, dan bersumbangsih sebagai Bodhisatwa dunia.

Orang-orang yang berada di depan, belakang, kiri, dan kanan kalian, semuanya adalah Bodhisatwa. Kalian semua yang berada di hadapan saya adalah Bodhisatwa hidup. Singkat kata, memuja para Buddha dan Bodhisatwa hanya menunjukkan sedikit ketulusan kita. Yang terpenting ialah melakukan praktik nyata. Praktik nyata mewakili ketulusan kita yang tak terhingga.