“Dekatkanlah diri dengan Dharma, bagai bayangan yang selalu mengikuti bentuk. Jika hanya dekat dengan Dharma tanpa menyerap ajaran, kita tidak akan memperoleh manfaat darinya.” Mari kita bersungguh hati menyelami penggalan ini. Apakah kita dekat dengan Dharma?

Setiap hari, kita melakukan kebaktian serta mempraktikkan, melantunkan, dan membaca Sutra. Kita berkutat dengan isi Sutra sepanjang hari. Di mana pun berada, kita selalu melafalkan nama Buddha dan melantunkan Sutra. Kehidupan kita tak luput dari Dharma. Karena itu, kita sangat dekat dengan Dharma.

Meski sangat dekat dengan Dharma, tetapi jika kita tidak menaati aturan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak bersedia menyesuaikan diri dengan semua orang ataupun melatih diri bersama orang lain, kita tidak akan memperoleh manfaat. Kita hanya dekat dengan Dharma, tetapi tidak menyerap ajaran ke dalam hati. Jika demikian, apa gunanya?

Ada seorang bhiksu yang ingin mengambil kitab suci ke Barat. Mahabhiksu Xuan Zang bersusah payah menempuh perjalanan ke Barat dan berhasil kembali dengan membawa kitab suci. Ini membuatnya sangat kagum. Dia lalu menyampaikan kepada gurunya bahwa dia bertekad untuk mengambil kitab suci ke Barat.

Gurunya menyetujuinya dan berkata, “Baik, kapan engkau akan berangkat?”

Dia berkata, “Aku berencana untuk berangkat tujuh hari kemudian.”

Gurunya berkata, “Jika engkau ingin mengambil kitab suci ke Barat, mengapa harus menunggu hingga seminggu kemudian?”

Dia berkata, “Aku ingin melakukan persiapan dahulu.” Gurunya berkata, “Apa yang ingin engkau persiapkan?”

Dia berkata, “Perjalanan dari sini ke Barat sangatlah jauh. Aku ingin menyiapkan beberapa pasang alas kaki agar ada pengganti saat alas kakiku bolong.”

Gurunya lalu berkata padanya, “Aku akan mengimbau para umat untuk menyumbangkannya padamu.”

Dia berkata, “Itu bagus sekali, terima kasih.”

Gurunya lalu mengumumkan bahwa ada seorang bhiksu yang bertekad untuk mengambil kitab suci ke Barat dan membutuhkan alas kaki. Mendengar hal ini, semua orang menyumbangkan alas kaki. Ada yang menyumbangkan sepasang, ada pula yang menyumbangkan dua pasang. Berhubung telah menerima banyak alas kaki, bhiksu itu pun meminta orang-orang untuk berhenti menyumbangkannya.

Suatu hari, seorang umat datang dengan membawa payung. Dia berkata kepada bhiksu itu, “Gurumu berkata bahwa engkau akan mengambil kitab suci ke Barat. Engkau sungguh mengagumkan. Aku membawakan sebuah payung untukmu. Payung ini dapat melindungimu dari angin dan sinar matahari.” Bhiksu itu pun berterima kasih padanya dan menerima payung tersebut. Kemudian, makin banyak orang yang menghadiahkan payung padanya. Ada setumpuk besar payung di kamarnya.

Gurunya bertanya padanya, “Apakah persiapanmu sudah matang?”

Dia menjawab, “Semua yang dibutuhkan sudah ada.”

Gurunya berkata, “Apakah masih ada yang kurang?”

Dia berkata, “Tidak, tidak. Aku telah memiliki banyak alas kaki dan payung.”

Gurunya berkata, “Orang-orang ingin melindungimu dari terik matahari dan hujan. Engkau telah menyiapkan barang yang dibutuhkan. Namun, engkau harus mengarungi gurun pasir, sungai, dan lautan. Bagaimana jika aku mengimbau orang untuk memberikan sebuah perahu padamu?”

Mendengar ucapan gurunya, bhiksu ini berkata, “Jangan, jangan. Jangan memberiku perahu.”

Gurunya berkata, “Tidak boleh tidak ada perahu. Tanpa perahu, bagaimana engkau bisa menyeberangi sungai?”

Mendengar ucapan gurunya, bhiksu ini akhirnya mengerti. Dia segera berlutut dan berkata, “Guru, aku mengerti sekarang. Sesepuh zaman dahulu telah mengambil kitab suci dan menerjemahkannya. Aku telah bertahun-tahun meninggalkan keduniawian, tetapi hanya menyia-nyiakan waktu. Di dekatku sudah ada Dharma yang bisa aku dengar dan pelajari, juga ada ladang pelatihan yang begitu baik. Namun, aku tidak tahu cara menghargainya, malah ingin mengambil kitab suci ke tempat yang jauh. Entah sejauh apa perjalanan yang harus ditempuh. Selain itu, aku juga berpikir untuk menyiapkan begitu banyak barang yang bisa merintangiku. Berapa lama baru aku bisa tiba di tempat tujuan? Bisakah aku tiba di sana dengan selamat dan kembali dengan membawa Dharma? Guru, aku telah mengerti sekarang. Aku akan menenangkan pikiran dan sungguh-sungguh menerima ajaranmu. Aku akan bersungguh hati mempelajari Dharma.”

Dari kisah ini, kita bisa mengetahui ke mana hendaknya kita mencari Dharma. Dharma ada dalam hati masing-masing. Setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan dan kebijaksanaan yang setara dengan Buddha. Dharma tidak bertambah dan tidak berkurang. Hanya saja, kita diliputi oleh lapis demi lapis kegelapan dan noda batin. Meski ingin melatih diri, kita tetap melekat pada banyak hal.

Dalam kisah tadi, niat baik dan pemberian orang-orang malah menjadi beban yang berat bagi bhiksu itu. Sesungguhnya, bagaimana hendaknya kita melatih diri? Kita harus menjaga pikiran kita. Pikiran adalah pelopor segalanya dan Dharma ada dalam batin kita. Untuk apa kita pergi jauh-jauh untuk mencari Dharma? Jadi, kita hendaknya mendekatkan diri dengan Dharma, bagai bayangan yang selalu mengikuti bentuk.

Dharma selalu ada di sekeliling kita. Sesungguhnya, Dharma bukan hanya ada di sekeliling kita, melainkan selalu menyertai kita karena setiap orang memiliki hakikat sejati yang murni. Namun, hakikat sejati yang murni ini diselimuti noda batin sehingga kita mencari Dharma ke luar. Sesungguhnya, ini tidak bermanfaat bagi kita.

Meski Dharma ada di hadapan kita, kita tidak akan memperoleh manfaat darinya karena hati kita telah diselimuti kegelapan dan noda batin. Jika kita hanya mempelajari Dharma tanpa berusaha untuk memahami dan mencernanya, itu malah akan menjadi penyakit. Singkat kata, kita harus bersungguh hati memahami Dharma. Asalkan memiliki kesungguhan hati, ketulusan, dan kerelaan, kita akan melihat Tathagata di mana-mana.