Buddha mengajari murid-murid-Nya sesuai kapasitas masing-masing. Bagaimanapun kapasitas mereka, Buddha hanya memiliki satu harapan, yakni setiap orang dapat mencapai kebuddhaan dan menyadari hakikat kebuddhaan mereka. Tidak peduli kapasitas orang-orang besar atau kecil, Buddha berharap setiap orang dapat kembali pada hakikat yang murni serta menabur benih-benih Bodhi agar benih-benih itu dapat bertumbuh membentuk hutan Bodhi. Inilah harapan Buddha.

Jadi, Buddha terus menanti dan menggunakan waktu yang lama untuk memberikan ajaran sesuai kapasitas masing-masing orang. Adakalanya, Buddha menggunakan ajaran Hinayana untuk memberi tahu orang-orang bahwa kehidupan penuh dengan penderitaan. Murid-murid Buddha yang dekat dengan-Nya harus senantiasa waspada, memahami dari mana penderitaan berasal, dan membebaskan diri dari penderitaan. Setelah memahami penderitaan dan sebab penderitaan, mereka bersungguh-sungguh dan tekun melatih diri.

Banyaknya hal duniawi mendatangkan noda batin yang tak terbatas. Jika kita tidak berhati-hati dan mengakumulasi berbagai sebab penderitaan, kita akan menuai penderitaan. Karena itu, setiap orang hendaklah senantiasa ingat untuk melenyapkan noda batin dalam kehidupan sehari-hari. Kita hendaknya mengingatkan satu sama lain untuk melatih diri di jalan menuju lenyapnya penderitaan. Kita harus menapaki jalan ini dalam keseharian dan senantiasa bermawas diri.

Meski kita semua tahu bahwa Jalan Bodhi sangat lapang dan lurus, tetapi kehidupan tak lepas dari Empat Kebenaran Mulia. Untuk melenyapkan noda batin, kita membutuhkan Empat Kebenaran Mulia. Jadi, dengan Empat Kebenaran Mulia, kita dapat menghapus semua kegelapan dan noda batin, keraguan, dan sebagainya. Buddha menggunakan waktu yang sangat lama untuk membabarkan kebenaran yang fundamental ini.

Sariputra dan Maudgalyayana merupakan murid Buddha sekaligus teman baik. Suatu hari, mereka membahas tentang Dharma.

Sariputra bertanya kepada Maudgalyayana, “Belakangan ini, engkau membimbing dua murid untuk melatih diri. Bagaimana pelatihan diri mereka? Bagaimana cara engkau membimbing mereka?”

Maudgalyayana berkata kepada Sariputra, “Mereka berdua sangat tekun melatih diri, tetapi entah mengapa, mereka tidak mengalami kemajuan. Mereka telah melatih diri beberapa waktu, tetapi sepertinya tidak memperoleh pencapaian apa pun.”

Sariputra lalu bertanya, “Metode pelatihan apa yang engkau ajarkan pada mereka?”

Maudgalyayana berkata, “Aku mengajari salah satunya meditasi pernapasan dan yang lainnya untuk merenungkan betapa tidak bersihnya tubuh ini. Meski mereka berdua sangat bersungguh-sungguh, tetapi sepertinya belum memahami Dharma.”

Sariputra lalu bertanya, “Apa mata pencaharian mereka dahulu?”

Maudgalyayana berkata, “Salah satunya adalah tukang besi dan yang lainnya adalah tukang cuci pakaian.”

Sariputra lalu bertanya kepada Maudgalyayana, “Metode pelatihan apa yang engkau ajarkan pada tukang besi itu?”

Maudgalyayana berkata, “Aku mengajarinya untuk merenungkan betapa tidak bersihnya tubuh ini. Kepada tukang cuci pakaian, aku mengajarkan meditasi pernapasan.”

Mendengar perkataannya, Sariputra berkata padanya, “Kedua metode yang engkau ajarkan sangat baik, tetapi digunakan pada orang yang salah. Engkau hendaknya mengajarkan meditasi pernapasan kepada tukang besi. Untuk menempa besi, dia membutuhkan api. Untuk itu, dia harus berulang kali menarik dan meniup udara ke dalam tungku agar kobaran api membesar. Engkau hendaknya mengajarinya meditasi pernapasan agar dia dapat menghitung setiap kali menarik udara keluar. Dengan berfokus menghitung dari satu hingga sepuluh, pikirannya akan terpusatkan. Tukang cuci pakaian selalu menerima pakaian yang kotor yang harus dicuci dengan air dan dijemur sinar matahari agar kembali bersih. Jika dapat memahami kebenaran ini, dia dapat berfokus menyucikan pikirannya.”

Maudgalyayana menerima sarannya dengan sukacita dan segera menukar metode pelatihan kedua murid tersebut. Tukang besi duduk dan berfokus menghitung embusan dan tarikan napasnya dari satu hingga sepuluh, lalu mengulanginya lagi dari satu. Dia berfokus melakukan meditasi pernapasan hingga hatinya merasa damai dan tenang dan dirinya terbebas dari noda batin dan pikiran pengganggu.

Begitu pula dengan tukang cuci pakaian yang merenungkan bahwa tubuh ini tidak bersih. Dari pengalamannya mencuci pakaian, dia menyadari bahwa tubuh manusia tidaklah bersih. Apa yang kita makan akan melalui proses pencernaan dan menghasilkan kotoran. Kita juga bisa berkeringat.

Setelah seseorang meninggal dunia, bukankah tubuhnya juga akan membusuk dan hanya menyisakan setumpuk tulang? Jadi, apa yang perlu diperhitungkan dalam hidup ini? Kita tidak perlu bersikap perhitungan. Jadi, dia bisa melenyapkan noda batin dan memperoleh ketenangan. Kedua murid tersebut dipenuhi sukacita, bagaikan ikan yang memperoleh air.

Dalam Sangha, para murid utama Buddha juga membimbing orang-orang yang baru bertekad untuk melatih diri dan mengajari mereka metode pelatihan. Dengan bimbingan yang tepat, orang-orang yang berkapasitas kecil juga dapat melenyapkan noda batin mereka, memahami kebenaran tentang penderitaan, serta perlahan-lahan memahami Dua Belas Sebab Musabab yang Saling Bergantungan. Demikianlah para anggota Sangha membimbing satu sama lain.