Kita harus memiliki hati dan pikiran yang lapang. Jika kita berpikiran picik, biasanya tabiat buruk kita, seperti ketamakan, akan terus terakumulasi hingga sangat besar. Ketamakan kecil sering kali diikuti oleh ketamakan besar. Karena itu, kita harus menjaga pikiran dengan baik.

Janganlah kita tamak akan kekayaan materi yang tidak seharusnya menjadi milik kita. Kekayaan materi hanyalah titipan. Sesungguhnya, berapa banyak kekayaan yang dapat kita habiskan? Berapa besar kekayaan yang dibutuhkan untuk kehidupan satu orang atau satu keluarga? Jika tidak memahami kebenaran ini, kita akan diliputi ketamakan dan tak akan pernah terpuaskan. Sesungguhnya, untuk apa kita begitu sibuk dan bersusah payah sepanjang hidup kita?

Orang-orang bersusah payah bukan sekadar demi mencari nafkah. Yang paling membuat orang bersusah payah ialah hati yang tidak pernah terpuaskan. Karena tidak mengenal rasa puas, mereka pun tamak akan segalanya. Jika demikian, kehidupan mereka akan sangat menderita. Karena itu, kita hendaknya senantiasa membina pikiran baik. Kita harus mengendalikan diri dalam keseharian agar tidak menggunakan atau menginginkan sesuatu yang bukan milik kita. Jadi, kita harus senantiasa menjaga pikiran kita agar berada di jalur yang benar.

Terhadap orang lain, kita hendaklah berlapang hati. Kita hendaknya belajar untuk bertoleransi dan berlapang hati untuk memaafkan orang lain. Kita harus mendisiplinkan diri dengan ketat dan berlapang hati terhadap orang lain. Kita sendiri bisa menggunakan barang yang lebih sederhana dan sedikit, tetapi bagi orang lain, kita hendaklah menyediakan barang yang lebih baik dan banyak.

Dengan berlapang hati terhadap orang lain dan ketat terhadap diri sendiri, kita tentu tidak akan melanggar aturan apa pun. Jadi, kita harus senantiasa membina pikiran baik dan kelapangan hati. Jika bisa demikian, secara alami hidup kita akan damai dan tenang setiap hari.

Ada seorang pedagang besar yang menjual berbagai jenis biji-bijian. Suatu hari, dia berpikir, “Pekerjaan ini sangat berat dan tidak bisa menghasilkan uang dengan cepat. Sesuai berat barang yang dijual, aku hanya bisa memperoleh keuntungan yang konstan.” Kemudian, dia mendapat sebuah ide. Dia melubangi timbangannya dan menuangkan raksa ke dalamnya. Saat membeli barang, dia memiringkan timbangannya agar raksa di dalam timbangan mengalir ke ujung.

Ada orang yang mengantarkan barang seratus kati, tetapi saat ditimbang, timbangannya hanya menunjukkan 80 kati. Dia berkata, “Ini tidak sampai seratus kati. Lihatlah sendiri.” Dia lalu menunjukkan timbangannya pada orang itu. Orang itu berkata, “Aneh sekali.” Jadi, dengan barang seratus kati, orang itu hanya mendapatkan bayaran untuk 80 kati.

Saat menjual barang, dia mengarahkan raksanya mengalir ke pangkal sehingga pangkalnya menjadi lebih berat. Jadi, dengan barang 50 kati, dia dapat memperoleh bayaran untuk 70 kati. Karena itu, dia memperoleh keuntungan besar.

Hingga berusia lanjut dan sekarat, dia memanggil putranya dan berkata, “Sesungguhnya, ada sebuah rahasia yang membuatku bisa menghasilkan begitu banyak uang.” Dia menyuruh putranya untuk mengambil timbangannya dan berkata, “Timbangan ini telah dimanipulasi. Saat menjual barang, miringkanlah timbangan ke pangkalnya. Dengan demikian, kamu bisa mendapatkan bayaran lebih besar dari berat sesungguhnya. Kamu harus menguasai trik ini. Saat membeli barang, miringkanlah timbangan ke ujung. Dengan demikian, kamu bisa membayar lebih sedikit dari berat sesungguhnya.” 

Mendengar ucapannya, putranya sangat sedih. Ternyata ayahnya menghasilkan uang dengan cara yang tidak berhati nurani seperti ini. Namun, melihat ayahnya yang tengah sekarat, dia berkata, “Ayah tidak perlu khawatir. Aku akan menciptakan pahala untuk Ayah.” Kemudian, ayahnya pun meninggal dunia.

Dia mengundang banyak bhiksu untuk mengadakan upacara bagi ayahnya. Usai melantunkan Sutra, dia mengeluarkan timbangan itu, mematahkannya, lalu membakarnya. Dia berkata pada ayahnya, “Aku akan menciptakan pahala untuk Ayah. Semoga para Buddha dan Bodhisatwa bisa menjadi saksiku. Mulai sekarang, aku akan melakukan yang sebaliknya untuk menebus kesalahan masa lalu ayahku.” Saat dia membakar timbangan itu, tiba-tiba dua asap hitam memelesat ke langit.

Tiga hari kemudian, kedua putra kembarnya tiba-tiba meninggal dunia tanpa diketahui penyebabnya. Dia merasa sangat sedih. Pada malam itu, dia bermimpi. Seorang pria tua berambut putih berkata padanya, “Semula, karma buruk ayahmu sangat berat dan kamu yang akan menerima buah karmanya. Kedua putramu itu datang untuk menghamburkan harta kekayaanmu. Kini kamu telah berikrar untuk mengikis semua karma buruk ayahmu sehingga langit memanggil kembali kedua putramu. Dalam waktu singkat, istrimu akan kembali mengandung dan melahirkan dua putra yang sangat baik untukmu.”

 

Tidak lama kemudian, istrinya sungguh mengandung dan melahirkan dua anak kembar. Kedua anak ini sangat patuh dan pintar. Setelah tumbuh dewasa, kedua anak ini pergi ke ibu kota untuk mengikuti ujian. Mereka berdua memperoleh nilai tertinggi. Jadi, tamak akan milik orang lain mungkin akan mendatangkan buah karma buruk bagi generasi penerus kita. Karena itu, kita hendaknya senantiasa membina kelapangan hati.
Kita harus mendisiplinkan diri dengan ketat dan berlapang hati terhadap orang lain. Pikiran dapat membuat kita melakukan kebaikan, juga dapat membuat kita melakukan kejahatan. Jadi, kebaikan dan kejahatan hanya dibatasi oleh satu garis tipis. Karena itu, kita harus senantiasa lebih bersungguh hati.