Saya sering berkata bahwa kita tidak tahu ketidakkekalan atau esok hari yang akan datang terlebih dahulu. Setiap malam, sebelum tidur, kita hendaknya berpikir, “Apakah besok saya masih bisa bangun?” Jika bisa, kita hendaknya bersyukur. Jika tidak bisa, saat ketidakkekalan datang, kita harus menghadapinya dengan tenang. Artinya, kita harus bisa melepas.
Hidup atau mati tidaklah penting. Yang terpenting ialah selama kita hidup, bagaimana kita menjalani hidup, bagaimana kita bersikap, dan bagaimana kita bertindak. Kehidupan sehari-hari kita tak luput dari ucapan dan perbuatan. Bagaimana kita berbicara dengan sesama dan bagaimana kita bertindak, itulah yang terpenting.
Buddha mengajarkan Enam Paramita pada kita, yaitu dana, disiplin moral, kesabaran, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Kita membutuhkan keenamnya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan seumur hidup kita.
Dalam hidup ini, jika kita bisa berdana, berpegang pada sila, menaati aturan, dan bersabar dalam menghadapi segala sesuatu di dunia ini, barulah kita bisa bersemangat melatih diri, meneguhkan pikiran, dan mengembangkan kebijaksanaan.
Ada sebuah keluarga yang merupakan umat Buddha yang taat. Melihat seorang Sramana datang, keluarga itu dipenuhi sukacita. Sang ibu menyuruh menantunya untuk membawa mangkuk Sramana itu ke dalam. Dia lalu mengundang Sramana tersebut untuk masuk ke halamannya. Kemudian, dia meninggalkannya sebentar. Setelah itu, dia kembali lagi.
Menantunya telah memenuhi mangkuk dengan nasi dan membawanya keluar. Tiba-tiba, sang ibu berteriak, “Manik-manik putih saya yang paling berharga hilang.” Dia segera mencarinya.
Berhubung sedang menyerahkan nasi pada Sramana yang berdiri di depan pintu, menantunya bertanya, “Yang Mulia, apakah Anda melihat manik-manik ibu saya?” Sramana itu menjawab, “Tidak.”
Putra ibu itu lalu berlari keluar dan berkata, “Bagaimana mungkin tidak? Manik-manik ibu saya ada di atas meja. Mereka berdua meninggalkan tempat dan hanya Anda yang ada di sini. Kalau bukan Anda yang ambil, siapa lagi?”
Sramana itu tidak menjawab.
Sang putra lalu mengambil sebatang tongkat dan mulai memukul Sramana itu. Pada saat itu, ada seekor angsa yang terus mengelilingi mereka. Di tengah kemarahannya, sang putra mengayunkan tongkatnya dan tidak sengaja membunuh angsa itu.
Sramana itu lalu berkata, “Manik-manik putih itu ditelan oleh angsa ini.”
Sang putra berkata, “Tidak mungkin. Bagaimana mungkin angsa menelan manik-manik?”
Sramana itu berkata, “Saat ibumu berdiri, manik-manik itu bergulir jatuh ke lantai. Saat manik-manik itu bergulir di lantai, kebetulan angsa itu lewat. Ia menelannya karena mengira itu makanan.”
Sang ibu dan putranya tidak percaya.
Sang menantu lalu berkata, “Berhubung angsa ini sudah mati, kita bisa membelah perutnya untuk memeriksa apakah di dalam saluran pencernaannya ada manik-manik ini atau tidak. Dengan begitu, kita bisa membuktikan ucapannya.”
Lalu, dia membelah perut angsa itu dan memeriksa saluran pencernaannya. Manik-manik itu benar-benar ada di dalam saluran pencernaan angsa itu dan Sramana itu terbukti tidak bersalah. Sang ibu dan menantunya segera berlutut. Putranya juga segera berlutut dan bertobat kepada Sramana itu atas tindakannya yang impulsif.
Awalnya, dia menghormati Sramana itu. Namun, hanya demi sebutir manik-manik, dia malah menuduh Sramana itu dan memukulnya dengan tongkat. Karena itu, dia bertobat kepada Sramana itu. Mereka berkata, “Anda melihat semuanya, mengapa tidak bercerita dari awal, malah rela dipukul?”
Sramana itu berkata, “Saya tidak bercerita karena angsa itu masih hidup. Belakangan, saya bercerita karena kehidupannya telah berakhir. Sebagai seorang praktisi, saya harus menghormati kehidupan.” Inilah kesabaran dan konsentrasi.
Terhadap seekor angsa saja, dia bisa menunjukkan rasa hormat terhadap kehidupan, cinta kasih, dan welas asihnya. Demi melindungi angsa tersebut, dia rela membiarkan tubuhnya terluka. Meski harus mengorbankan nyawanya, dia juga bersedia melindungi angsa itu. Selain rela mengorbankan nyawa, dia juga berpegang pada sila. Dia tidak ingin ucapannya mencelakakan angsa itu. Rela mengorbankan diri termasuk sejenis dana.
Dia juga enggan melanggar sila dengan mengucapkan sesuatu yang bisa mencelakakan angsa itu. Inilah yang disebut menaati sila. Demi melindungi nyawa angsa itu, dia tetap bersabar meski dipukul. Inilah yang disebut kesabaran.
Sebagai seorang praktisi, dia rela mengorbankan nyawanya demi berpegang teguh pada sila. Bukankah ini yang disebut semangat? Bisa terus mempertahankan semangat, ini disebut konsentrasi. Tentu saja, konsentrasi juga tumbuh dari kebijaksanaan.
Buddha berkata bahwa dari kehidupan ke kehidupan, dalam proses melatih diri, Beliau bersiteguh menjalankan Enam Paramita dan puluhan ribu praktik meski harus mengorbankan nyawa-Nya. Apa pun yang Beliau lakukan, Beliau selalu membawa manfaat bagi sesama dan menghormati kehidupan. Membawa manfaat bagi sesama lebih penting daripada membawa manfaat bagi diri sendiri.
Saudara sekalian, dalam hidup ini, kita harus sangat bersungguh hati. Kematian tidak bisa dihindari. Namun, yang terpenting, segala sesuatu tidak bisa dibawa pergi, hanya karma yang selalu mengikuti. Dengan bersungguh-sungguh menciptakan berkah, barulah kita bisa senantiasa memperoleh buah karma yang baik.
Demikianlah dituliskan kisahnya dari video Master Cheng Yen Bercerita – Manik-manik yang Hilang (148 ) https://youtu.be/svxAzEQ65ic
Master Cheng Yen Bercerita : Disiarkan di Stasiun Televisi Cinta Kasih DAAITV INDONESIA :
Channel
Jakarta 59 UHF, Medan 49 UHF
Master Cheng Yen Bercerita Tayang Setiap Hari Senin Dan Selasa Pukul
06.30 WIB, 14.45 WIB, 08.30 WIB, 22.00 WIB. HANYA DI DAAI TV
TV Online : https://www.mivo.com/live/daaitv
GATHA PELIMPAHAN JASA
Semoga
mengikis habis Tiga Rintangan
Semoga memperoleh kebijaksanaan dan memahami kebenaran
Semoga seluruh rintangan lenyap adanya
Dari kehidupan ke kehidupan senantiasa berjalan di Jalan Bodhisattva