Mahakasyapa merupakan salah satu murid utama Buddha yang terlahir di sebuah keluarga berada. Orang tuanya menyayanginya dan dirinya sangat berpengetahuan dan bijaksana. Namun, dia tidak tertarik pada cinta kasih individual, ketenaran, dan keuntungan.

Setelah tumbuh dewasa, dia tidak bersedia untuk menikah. Namun, orang tuanya sangat khawatir dan terus berusaha agar dia mau menikah. Karena itu, dia berkata, “Baiklah jika ini yang kalian inginkan.”

Sambil menunjuk sebuah patung emas, dia berkata, “Jika kalian bisa menemukan wanita yang persis dengan patung emas ini, barulah saya akan menerimanya.”
 

Namun, ke mana mereka harus mencarinya? Karena itu, mereka membuat banyak replika patung itu dan mengutus banyak orang untuk mencari wanita yang persis dengan patung itu di berbagai kota dan negeri.

Akhirnya, mereka menemukan seorang wanita yang persis dengan patung itu. Dia juga berasal dari keluarga berada dan orang tuanya sangat menyayanginya. Dia juga bersiteguh untuk tidak menikah.

Berhubung suka mendalami ajaran Buddha, dia berharap dapat menjaga kesuciannya seumur hidup. Namun, berhubung orang tua dari kedua keluarga telah mengatur pernikahan mereka, Mahakasyapa terpaksa menikahi wanita itu.

Meski menempati kamar yang sama, mereka tidur di ranjang yang berbeda. Mereka berjanji untuk melatih diri kelak. Karena itu, hingga belasan tahun menikah, mereka tetap menjaga kesucian masing-masing.
 

Setelah orang tua mereka meninggal dunia dan tekanan dari orang tua sudah tiada, barulah mereka bisa mengejar pelatihan diri masing-masing. Kemudian, Mahakasyapa meninggalkan rumah.

Suatu kali, dia pergi ke Rajgir dan melihat bahwa rakyat di sana sangat harmonis. Setiap keluarga berkata bahwa Buddha telah membabarkan Dharma di sana. Mereka berbagi tentang sukacita dan pemahaman mereka setelah mendengar Dharma.

Mahakasyapa yang mendengarnya berpikir, “Sesungguhnya betapa dalam dan menakjubkan ajaran Yang Mahasadar ini? Mengapa setiap keluarga di kota ini begitu harmonis dan bersukacita setelah mendengar Dharma?” Karena itu, dia juga pergi ke tempat orang-orang berkumpul untuk mendengarkan Dharma.
 

Melihat Buddha dari jauh saja sudah membuatnya dipenuhi sukacita. Kemudian, dia perlahan-lahan mendekati Buddha dan memohon untuk menjadi murid Buddha. Mahakasyapa melatih diri dengan bertapa. Di antara para murid Buddha, Mahakasyapa adalah yang pertama melatih diri dengan bertapa.

Berhubung melatih diri dengan bertapa, dia sering kali menghindari area orang berada dan lebih memilih untuk menjangkau area orang kurang mampu.

Suatu hari, di daerah pedesaan di Rajgir, ada seorang nenek yang sangat kekurangan. Dia jatuh sakit dan tidak memiliki tempat tinggal sehingga hanya bisa menggelandang.

Suatu hari, dia tidak mendapatkan makanan sehingga tubuhnya lemas. Dia juga jatuh sakit. Karena itu, dia terjatuh di belakang sebuah rumah di dalam gang.
 

Kebetulan, pembantu rumah tersebut keluar untuk membuang air cucian beras. Melihat nenek itu, dia menuangkan sebagian air cucian beras ke mangkuknya yang sudah pecah. Nenek itu berpikir, “Air cucian beras juga dapat menghilangkan rasa lapar dan haus.”

Saat itu, dia melihat seorang bhiksu yang agung, tetapi berpakaian compang-camping, yaitu Mahakasyapa. Mahakasyapa terus mendekatinya dari kejauhan. Dengan tubuh yang lemas, nenek itu memandangi Mahakasyapa. Mahakasyapa berjongkok di samping nenek itu dan berbicara dengannya.
 

Nenek itu berkata, “Melihat Yang Mulia, saya merasa sangat malu. Saya tidak memiliki apa-apa dan tidak bisa memberi persembahan.”

Mahakasyapa lalu berkata, “Rasa malu yang timbul dalam hatimu merupakan pakaian yang paling agung. Dengan adanya niat untuk berdana, Anda sudah sangat kaya.”
 

Nenek itu berkata, “Saya sungguh tidak memiliki apa pun yang bisa dipersembahkan. Apakah di antara begitu banyak orang di sini, tidak ada yang bisa membantu bhiksu sepertimu?”

Mahakasyapa berkata, “Ada, tetapi Anda lebih membutuhkan kesempatan untuk menciptakan berkah.”

Nenek itu berkata, “Saya tidak memiliki apa pun untuk menciptakan berkah.”
 

Mahakasyapa berkata, “Anda bisa menggunakan air di mangkukmu untuk memberi persembahan.”

Nenek itu berkata, “Ini adalah air cucian beras yang tidak bersih.”

Mahakasyapa berkata, “Air cucian beras ini adalah milikmu. Jadi, Anda bisa berdana dengan air ini. Anda bisa meminumnya, saya juga bisa.”

Nenek itu dengan penuh sukacita menuangkan air itu ke mangkuk Mahakasyapa. Setelah menerima air cucian beras, Mahakasyapa langsung meminumnya.
 

Nenek yang sudah sekarat itu sangat gembira karena berkesempatan untuk memberi persembahan kepada anggota Sangha. Kemudian, dia meninggal dunia dengan senyuman di wajahnya.

Setelah meninggal dunia, nenek itu terlahir di alam Trayastrimsa menjadi dewi yang sangat cantik. Dewi ini heran mengapa dirinya bisa menjadi makhluk surgawi. Dia lalu teringat bahwa dirinya memberi persembahan kepada Mahakasyapa dan didoakan oleh Mahakasyapa. Dia merasa bahwa dia harus mengungkapkan rasa syukurnya.
 

Suatu hari, saat Mahakasyapa berada di sebuah permakaman, dewi itu menaburkan bunga sebagai wujud persembahan.

Inilah kisah Mahakasyapa membimbing nenek miskin.

Ada banyak kisah mengenai Mahakasyapa.
 

Bodhisatwa sekalian, mari kita bersungguh hati merenungkan bagaimana Buddha mengajari kita dan para murid-Nya untuk membimbing semua orang bersumbangsih. Membimbing orang yang kekurangan jauh lebih sulit. Jadi, kita harus tahu bahwa untuk membalas budi Buddha, kita harus terjun ke tengah masyarakat.