Dalam interaksi antarsesama manusia, harus ada dua hal, yakni cinta kasih dan rasa syukur. Saat menerima berbagai kebaikan, hati kita harus senantiasa dipenuhi rasa syukur.  Demikian pulalah yang diajarkan Buddha saat Buddha masih hidup.

Suatu hari, di Jetavana, ada sekelompok murid yang selalu merasa bahwa Buddha memiliki kekuatan besar yang dapat mengubah segalanya. Mereka selalu merasa bahwa Buddha yang dapat memikul tanggung jawab besar sungguh luar biasa.

Berhubung mereka terus membahasnya, Buddha pun bertanya pada mereka, “Apa yang sedang kalian bahas?”

Para murid-Nya menjawab, “Kami sedang membahas tentang Yang Dijunjung yang memiliki kekuatan besar untuk memikul beban berat atas semua makhluk. Yang Dijunjung dapat memikul beban berat atas semua makhluk, ini sungguh luar biasa.”

Buddha berkata, “Ini bukan apa-apa. Setiap orang bisa melakukannya. Hanya saja, orang-orang tidak menyadari kekuatan batin yang mereka miliki. Setelah menyadarinya, setiap orang akan memiliki kekuatan batin ini.”

Para murid Buddha bingung bagaimana agar bisa menyadarinya. Bisa memiliki kekuatan batin setelah menyadarinya, itu sungguh sulit dibayangkan dan dipahami dengan pemikiran makhluk awam.

Buddha lalu memberikan sebuah contoh.

Suatu hari, seorang pria kurang mampu melewati sebuah desa dan melihat seekor induk lembu melahirkan seekor anak lembu.

Dia berpikir, “Anak lembu ini pasti sangat murah. Saya bisa membeli anak lembu ini dan menghasilkan uang dengannya.”

Pemilik lembu sungguh menjual anak lembunya dengan harga murah.

Dengan membawa anak lembu, pria kurang mampu itu mencari tempat tinggal. Dia melihat seorang nenek yang hanya tinggal sendirian di sebuah rumah dan mencoba untuk menyewa satu kamarnya. Nenek itu pun setuju untuk menyewakan satu kamar padanya.

Pria itu juga berkata, “Tolong sediakan makanan untuk kami, saya akan membayarnya.”

Selain menyewakan kamar, nenek itu juga menyiapkan makanan untuk pria dan anak lembu itu. Nenek itu melakukannya setiap hari.

Beberapa waktu kemudian, pria itu merasa bahwa dia seharusnya memberikan uang yang dijanjikan, tetapi dia tidak memiliki uang. Karena itu, dia berkata pada nenek itu, “Anak lembu ini saya berikan padamu. Saya akan mencari nafkah di daerah lain.”

Nenek itu berkata padanya, “Saya akan memeliharanya dengan baik. Kamu pergilah dengan tenang.”

Berhubung seluruh tubuh lembu itu berwarna hitam, seperti tahi lalat di tubuh nenek itu, ia pun dinamai “Tahi Lalat Sang Nenek”.

Lembu itu hidup bebas dan tenang serta sering bermain dengan anak-anak di desa. Seiring berlalunya hari demi hari yang damai dan bahagia, lembu itu pun tumbuh besar.

Suatu hari, rombongan karavan pulang dengan mengangkut banyak barang dari kota. Saat menyeberangi sungai, kereta-kereta lembu terjebak di tengah sungai. Dalam rombongan karavan itu, ada seorang anak muda yang pandai menilai lembu. Melihat di seberang ada sekelompok lembu, dia pun berjalan ke sana dan mendapati “Tahi Lalat Sang Nenek”.

Dia bertanya pada gembala lembu, “Siapa pemilik lembu ini? Saya ingin menggunakannya untuk membantu saya menarik kereta dari sungai.”

Gembala lembu itu berkata bahwa pemiliknya tidak ada di sana.

Anak muda itu lalu berjalan ke hadapan lembu itu dan berkata, “Jika kamu bisa membantu saya menarik kereta-kereta itu keluar dari sungai, saya akan memberimu 500 keping uang logam.”

Namun, lembu itu seakan-akan tidak tertarik.

Anak muda itu lalu berkata, “Jika kamu bisa membantu saya menarik semua kereta keluar dari sungai, saya akan memberimu 1.000 keping uang logam.”

Akhirnya, lembu itu dengan cepat berlari ke arah rombongan karavan.

Anak muda itu segera mengikuti lembu itu, lalu melepaskan tali dari lembu penarik kereta dan mengikatkannya dengan erat pada lembu itu. Lembu itu dengan cepat menarik kereta-kereta keluar dari sungai. Dalam waktu setengah hari, dia berhasil menarik semua kereta keluar dari sungai.

Sebelum rombongan karavan pergi, anak muda itu mengeluarkan 500 keping uang logam dan menggantungkannya di leher lembu itu.

Namun, lembu itu segera berlari ke depan rombongan caravan dan enggan membiarkan mereka pergi. Anak muda itu paham dan segera menggantungkan 500 keping uang logam lagi di leher lembu itu.

Setelah itu, barulah lembu itu mundur dan membiarkan mereka lewat. Lembu itu langsung berlari pulang ke rumah.

Nenek itu heran melihat lembunya pulang dengan sesuatu menggantung di lehernya. Dia membukanya dan melihat uang di dalamnya. Dia memeluk leher lembu itu dan berkata, “Nak, dari mana kamu mendapatkannya?”

Nenek itu lalu bertanya pada gembala lembu.

Nenek itu terharu sampai menangis. Dia menempelkan wajahnya pada wajah lembu itu dan berkata, “Nak, tidak sia-sia saya menyayangimu. Saya menganggapmu sebagai anak saya. Meski wujud kita berbeda karena kamu adalah hewan dan saya adalah manusia, tetapi kita memiliki hakikat yang sama sehingga kita bisa dekat satu sama lain. Kamu mengeluarkan begitu banyak tenaga dan bersusah payah untuk mendapatkan uang ini. Saya merasa tidak sampai hati. Saya sangat bersyukur padamu.” Dia segera memandikan lembu itu.

Setelah memandikannya, nenek itu mengoleskan minyak pada tubuhnya. Nenek itu sungguh sangat menyayangi lembu itu. Merasakan perhatian pemiliknya, lembu itu pun menangis karena terharu. Hati nenek itu juga dipenuhi rasa syukur.

Kekuatan lembu itu berasal dari cinta kasih dan rasa syukur. Kekuatan cinta kasih tidak terbatas. Rasa syukur di dalam hati juga akan menghasilkan kekuatan yang tidak terhingga. Jika setiap orang bisa membangkitkan cinta kasih dan rasa syukur, tidak ada kekuatan yang tidak bisa dikerahkan. Dengan semangat seperti ini, tidak ada hal yang tidak bisa dilakukan.