Setiap orang hendaknya merendahkan hati. Janganlah kita tinggi hati. Orang yang tinggi hati merasa tidak takut apa pun. Inilah kesombongan dan keangkuhan. Akibatnya, kebenaran sejati di dunia ini diselimuti oleh kegelapan batin dan ego manusia yang tinggi.
Pandemi Covid-19 kali ini telah membawa pelajaran bagi umat manusia. Bagaikan hewan yang tubuhnya penuh dengan bulu, saat hidupnya aman, tenteram, dan lancar, ia akan makin lama makin angkuh. Hingga suatu hari nanti ia terjatuh ke dalam air, barulah ia akan tersadarkan.
Dengan menggetarkan tubuhnya, ia dapat mengeringkan air dan menghilangkan kotoran yang menempel di tubuhnya. Dengan demikian, bulu di sekujur tubuhnya akan kembali bersih. Dengan prinsip yang sama, selama bertahun-tahun, kehidupan yang aman dan tenteram telah membuat nafsu keinginan dan ketamakan manusia terus berkembang dan tidak ada ujungnya.
Ada sebuah kisah seperti ini.
Ada seorang pria yang harta kekayaannya sangat banyak. Suatu hari, pada waktu senggangnya, dia keluar untuk berjalan-jalan. Dia melihat-lihat sekelilingnya dan berpikir, “Lahan ini adalah milikku. Lahan itu pun adalah milikku.”
Setelah berjalan maju lagi, dia melihat sehamparan lahan yang lebih indah, tetapi sayangnya, itu bukan miliknya. Ini membuatnya merasa kurang dan sedikit tidak puas. Dia lalu menghadap raja dan berkata, “Lahanku sangat luas, tetapi lahan di depan lahanku bukanlah milikku.”
Raja bertanya, “Berapa luas lahan yang engkau inginkan?” Dia berkata, “Aku hanya berharap semua tempat yang terlihat bisa menjadi milikku.”
Raja berkata, “Baiklah, asalkan engkau bisa menjangkaunya, aku akan memberikan lahan di sana padamu.” Dia berkata, “Benarkah? Yang Mulia tidak bercanda?”
Raja berkata, “Aku serius dengan ucapanku. Asalkan engkau bisa menjangkaunya, lahan itu akan menjadi milikmu.” Dia berkata, “Aku memutuskan untuk untuk berkeliling besok pagi. Semua lahan yang aku injak akan menjadi milikku.”
Raja berkata, “Benar, semuanya akan menjadi milikmu.” Dia pun pulang ke rumah dengan gembira dan menantikan esok hari.
Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, dia berkata kepada keluarganya, “Aku berangkat. Aku akan mendapatkan semua lahan yang terlihat olehku.” Jadi, dia pun berangkat.
Dia pergi ke perbatasan antara lahan miliknya dan lahan yang bukan miliknya dan berdiri di sana sambil berkata, “Kini, seiring setiap langkahku, lahan yang aku pijak akan menjadi milikku. Makin jauh melangkah, makin banyak lahanku. Karena itu, aku harus segera melangkah maju.” Demikianlah, dia mulai maju dengan cepat selangkah demi selangkah.
Dia tidak menyia-nyiakan waktu sedikit pun. Dia bahkan enggan berhenti sejenak untuk minum seteguk air. Dia hanya terus maju selangkah demi selangkah. Mengapa demikian? Karena makin jauh dia melangkah, makin banyak pula lahan yang akan diperolehnya. Jadi, dia terus maju selangkah demi selangkah.
Dia telah berjalan sangat jauh. Dia tidak beristirahat pada siang hari, bahkan tidak minum seteguk air pun. Dia terus berlari hingga matahari hampir terbenam. Selagi matahari masih memancarkan sedikit cahaya, dia mempercepat langkahnya dan terus berlari hingga matahari terbenam.
Hingga penglihatannya kabur, dia masih ingin melangkah maju. Setelah maju tiga langkah, dirinya pun tumbang. Meski demikian, dia berusaha untuk mengulurkan kedua tangannya sejauh mungkin. Dia berpikir bahwa makin jauh tangannya terulur, makin banyak juga lahan yang diperolehnya.
Setelah tumbang dan meluruskan tangannya, dia mengangkat kepalanya dan melihat matahari terbenam. Dia melihat bahwa lahan di depannya masih sangat luas. Dia ingin menoleh untuk melihat berapa jauh dia telah berlari, tetapi sudah tidak memiliki tenaga sedikit pun. Kepalanya terkulai di atas tanah, napasnya pun terhenti dan kehidupannya berakhir.
Manusia sering kali memiliki ketamakan yang tak berujung. Mengapa manusia diliputi ketamakan? Saat diliputi ketamakan, manusia sering kali menimbulkan kerusakan. Kini, populasi dunia sangatlah banyak. Lihatlah gedung-gedung pencakar langit yang begitu tinggi dan besar. Orang-orang terus melakukan pengembangan yang belum pernah ada sebelumnya. Apakah itu cukup? Belum cukup.
Manusia juga menebangi pohon di pegunungan demi membangun vila mewah. Itu sungguh disayangkan. Hutan-hutan yang indah di bumi ini terus ditebang dan dirusak oleh manusia. Ini semua akibat ulah manusia. Kita ingin menciptakan berkah ataukah mendatangkan bencana? Jika tidak berhati-hati, kita yang semula ingin menciptakan berkah mungkin malah mendatangkan bencana yang membawa dampak bagi generasi penerus. Manusia terus menebang hutan dan merusak pegunungan.
Manusia hendaknya mengenal rasa puas dan bersyukur. Dengan merasa puas setiap hari, barulah kita bisa hidup aman dan tenteram. Bukankah pria dalam kisah tadi tidak mengenal rasa puas? Dia terus melangkah maju karena merasa bahwa semua yang terlihat akan menjadi miliknya. Namun, faktanya belum tentu demikian. Orang yang paling kaya ialah orang yang mengenal rasa puas.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, (DAAI TV Indonesia)