Kita sering berkata bahwa setiap bidang pasti ada ahlinya dan setiap orang memiliki fungsi yang berbeda. Meski memiliki fungsi yang berbeda, tetapi kita memiliki satu kesamaan yaitu, sifat hakiki kita yang bajik tanpa keburukan dan murni tanpa noda.
Inilah potensi kebajikan kita. Inilah sifat hakiki kita. Namun, kita juga harus mengembangkan berbagai fungsi yang berbeda-beda di dunia ini. Di dunia ini, setiap orang di tengah masyarakat harus memiliki berbagai keahlian untuk membawa manfaat bagi orang banyak. Karena itulah saat mengahadapi orang-orang atau melakukan sesuatu pertama, kita harus tekun dan berusaha untuk maju, kedua, kita harus mengecilkan ego dan merendahkan hati.
Jika kita bisa terus melangkah maju dan senantiasa mengingatkan diri sendiri untuk mengecilkan ego dan merendahkan hati, kita bisa kembali pada sifat hakiki kita dan menjalankan fungsi kita untuk membawa manfaat bagi orang banyak. Dengan demikian kita bersumbangsih bagi masyarakat.
Inilah harapan saya. Dalam sutra, terdapat sebuah kisah seperti ini. Disebuah puncak gunung terdapat sebuah ladang pelatihan dengan dua Bhiksu.
Salah satu Bhiksu berkata, “Dipuncak gunung di seberang sana, ada banyak Bhiksu dan salah satu diantaranya bernama Yang Arya Jeyata” Beliau memiliki tingkat pelatihan diri tertinggi”. “Kita harus mengunjungi Bhiksu tua ini dan memintanya untuk berbagi pengalamannya dalam melatih diri”.
Kedua orang Bhiksu inipun berjalan menuju puncak gunung tersebut. Saat melewati sebuah hutan dan duduk dibawah sebatang pohon mereka bertanya-tanya dimana Bhiksu Yang Arya Jeyata berada.
Pada saat itu mereka melihat seorang Bhiksu tua yang sedang mengumpulkan kayu bakar, beliau bersiap-siap untuk mendaki gunung. Salah seorang Bhiksu berkata, “Permisi apakah engkau mengenal Bhiksu Yang Arya Jeyata?, beliau tinggal di puncak gunung ini, kemana kami harus mencarinya?”.
Bhiksu tua berkata, “Gua ketiga di puncak gunung, beliau tinggal di sana”.
Setelah berterimakasih padanya, kedua Bhiksu itu dengan gembira melanjutkan perjalanan. Saat tiba, mereka melihat Bhiksu tua di depan gua yang terlihat tidak asing dari belakang. Merekapun segera berjalan mendekat. Bhiksu tua itu menoleh dan menyapa mereka sambil tersenyum.
Kedua Bhiksu itu berkata, “Bukankah engkau Bhiksu tua yang bertemu dengan kami di kaki gunung tadi?” dengan tulus dan penuh hormat kedua Bhiksu bersujud di depan Bhiksu tua dan bertanya, “Apakah engkau Bhiksu Yang Arya Jeyata?”.
Bhiksu tua berkata, “Ada apa kalian mencariku?”.
Salah satu Bhiksu berkata, “Yang Arya di antara para Bhiksu di sini keluhurannmu adalah yang tertinggi “.
“Mengapa Yang Arya harus mengumpulkan kayu bakar sendiri?”.
Bhiksu Yang Arya Jeyata berkata, “Untuk memberi persembahan kepada Sangha dan mendukung kehidupan para monastik, meski kaki dan tanganku harus dijadikan sebagai kayu bakar akupun rela”.
“Di kehidupan lampau aku pernah terlahir sebagai anjing selama lima ratus kehidupan, dalam kehidupan terakhir sebagai anjing aku hanya makan kenyang dua kali, pertama ketika ada orang mabuk dan muntah, aku memakan muntahannya hingga kenyang namun, aku juga di pukul hingga babak belur “.
“Kedua, ketika seorang petani meninggalkan rumah pagi-pagi untuk bertani, istrinya telah menyiapkan makanan dan meninggalkan rumah karena ada keperluan, saat itu aku menyelinap ke dalam rumah dan melihat sebuah guci berisi makanan, aku segera memasukkan kepala ke dalam guci, aku makan hingga sangat kenyang. Namun, saat aku ingin menarik kepalaku, kepalaku terjebak di dalam guci itu hingga tak bisa keluar dan ketika petani itu pulang dia menemukanku dengan kepala terjebak di dalam guci”.
“Karena marah, dia gunakan tongkat untuk memecahkan guci itu dan juga memecahkan kepalaku”. Demikianlah kehidupanku sebagai anjing yang ke lima ratus berakhir”.
Bercerita sampai disini Bhiksu Yang Arya Jeyata berkata, “Dalam melatih diri kita harus senantiasa berada di jalan yang benar dan jangan meyimpang sedikitpun, karena penderitaan kelahiran kembali sungguh tak terkira”.
Kedua Bhiksu ini pun tercerahkan setelah mendengar kata-kata Bhiksu Yang Arya Jeyata.
Demikianlah orang-orang dahulu melatih diri. Sesungguhnya ada berbagai bidang dan cara untuk membawa manfaat bagi orang banyak. Saat pembangunan Rumah Sakit Dalin hampir rampung selama beberapa hari semua orang sibuk membersihkan lingkungan sekitar rumah sakit dan merekrut staf baru. Suatu hari datang seorang pemuda yang tidak tahu dimana kantor kepala rumah sakit berada.
Ketika melewati kamar kecil dia melihat seorang paman yang sedang membersihkan kamar kecil. Diapun bertanya, “Paman dimana kantor kepala rumah sakit?”.
Paman itu berkata, “Untuk apa mencari kantor kepala rumah sakit?”
Pemuda itu berkata, “Saya datang untuk melamar pekerjaan”.
Paman itu berkata,”Jalan lurus kedepan, lalu belok ke pintu itu, setelah itu kamu akan melihat kantor kepala rumah sakit”.
Pemuda itu berkata, “Ohh baik, terimakasih”.
Pemuda itupun berjalan kedepan, tidak lama kemudian paman tadi muncul dengan mengenakan jubah dokter dan berkata pada pemuda itu.
“Anak muda, kita sudah bertemu tadi, saya akan memperkenalkan diri, sayalah orang yang kamu cari”.
Pemuda itu berkata, ”Ahh, anda kepala rumah sakit?’
Kepala rumah sakit berkata, “Benar, agar rumah sakit segera bersih dan rapih, kepala rumah sakit juga memberi teladan dengan membantu melakukan bersih-bersih.
Pemimpin sudah seharusnya memberi teladan secara nyata. Dahulu Yang Arya Jeyata juga mengumpulkan kayu bakar setiap hari untuk para Bhiksu. Bersumbangsih dengan segenap hati dan tenaga juga termasuk pelatihan diri.
Kita harus sepenuh hati mendedikasikan diri. Sepenuh hati berarti bebas dari pikiran pengganggu. Bebas dari pikiran pengganggu berarti memiliki hati yang murni. Kita harus menggunakan hati yang murni untuk meyakini dan mempelajari Dharma yang diajarkan oleh Buddha serta mempraktikkannya.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Anand Yahya