Kita harus selalu ingat untuk membangkitkan niat dan pikiran baik. Saat memiliki jalinan jodoh untuk menolong orang yang kesulitan, kita harus segera bersumbangsih. Inilah yang Buddha ajarkan pada kita. Asalkan ada orang yang membutuhkan, kita hendaklah bersumbangsih dan berdana. Kita hendaknya bersedia bersumbangsih dan berdana bagi orang-orang yang kurang beruntung, baik yang hidup kekurangan dalam jangka panjang, mendadak dilanda bencana, maupun jatuh sakit saat kekurangan. Mereka sangat membutuhkan bantuan.
Selain bersumbangsih sendiri, kita juga harus mengajak orang-orang untuk bersumbangsih bersama. Jika semua orang bersedia bersumbangsih, semua makhluk akan hidup tenteram dan tenang. Jika bisa demikian, orang yang kekurangan akan tertolong dan orang yang bersumbangsih akan memperoleh “kekayaan”.
Mereka disebut orang yang “kaya” karena mereka kaya akan kekuatan, cinta kasih, dan barang bantuan serta bersedia bersumbangsih. Orang seperti ini memiliki cinta kasih dan kekayaan batin yang berlimpah.
Ada pula orang yang kaya materi, tetapi miskin batinnya. Meski sudah memiliki segalanya, mereka tetap merasa tidak puas dan selalu menginginkan lebih banyak. Saat melihat orang yang menderita, mereka tidak bersedia bersumbangsih ataupun berdana sedikit pun. Hati mereka penuh pertentangan karena berpikir, “Saya begitu kaya. Jika berdana sedikit, saya malu. Jika berdana banyak, saya tidak rela.” Karena itu, mereka memilih untuk menutup mata dan mengabaikannya.
Meski orang-orang seperti ini memiliki kekayaan materi yang berlimpah, tetapi sesungguhnya, batin mereka sangat miskin. Orang yang kaya batin belum tentu memiliki kekayaan materi. Asalkan berniat dan bersedia bersumbangsih, itulah orang yang kaya batin.
Lihatlah orang-orang di Myanmar. Meski diri sendiri hidup kekurangan, mereka bersedia menolong sesama.
Di Myanmar, terdapat kisah segenggam beras.
Terjangan Badai Nargis pada tahun 2008 menimbulkan kerusakan serius bagi Myanmar. Pascabadai, insan Tzu Chi Taiwan dan Malaysia bersama-sama menjangkau Myanmar. Relawan kita berbagi dengan mereka bahwa Tzu Chi berawal dari 30 ibu rumah tangga yang menyisihkan 50 sen ke dalam celengan bambu setiap hari. Relawan kita juga berbagi tentang bantuan yang diberikan Tzu Chi di berbagai negara.
Warga setempat takjub saat mendengar bahwa dengan menyisihkan 50 sen ke dalam celengan bambu setiap hari, setiap orang dapat menolong sesama. Insan Tzu Chi membagikan celengan bambu kepada warga setempat. Setiap korban bencana sangat tersentuh dan mulai menyisihkan uang ke dalam celengan.
Namun, ada sebagian orang yang tidak mampu menyisihkan uang koin. Karena itu, mereka memutuskan untuk menghemat beras demi menolong sesama. Setiap hari, mereka menyisihkan segenggam beras saat akan memasak untuk menolong orang yang membutuhkan. Inilah asal mula celengan beras.
Praktik celengan beras berawal dari Myanmar. Semangat ini terus menyebar hingga setiap keluarga di desa itu mempraktikkannya. Mereka menghimpun beras sebulan sekali. Setiap kali, setiap keluarga membawa sekitar 1,5 guci beras yang beratnya lebih dari 3 kg. Dengan adanya lebih dari seribu keluarga, beras yang terhimpun lebih dari 3.000 kg. Beras yang terhimpun setiap bulan bagaikan sebuah bukit dan tidak bisa dibedakan beras mana merupakan donasi siapa. Ini bagaikan tetes demi tetes air yang mengalir ke lautan yang luas dan menyatu.
Dengan menghimpun segenggam demi segenggam beras, mereka bisa menolong orang yang membutuhkan di desa mereka, bahkan bisa menolong warga desa lain. Inilah kekuatan segenggam beras.
Ada pula seorang petani yang bukan orang berada, tetapi turut menyambut semangat celengan bambu dengan mendonasikan 50 kyat setiap hari. Setiap hari, dia memasukkan 50 kyat ke dalam sebuah kaleng ataupun sebuah kotak.
Rumahnya sangat bobrok dan sering bocor saat turun hujan sehingga uang kertasnya menjadi lembap. Istrinya berkata, “Kami sering menjemurnya di bawah sinar matahari. Jika setelah dijemur masih lembap, kami akan menyetrikanya. Selang beberapa waktu, kami akan menjemur dan menyetrikanya.”
Uang yang disisihkan itu akan digunakan untuk menolong orang yang membutuhkan. Karena itu, meski membutuhkan uang, mereka tidak akan menyentuh uang itu. Mereka sangat disiplin dan jujur. Jadi, tidak peduli mereka kaya atau miskin, saya sangat kagum pada niat baik mereka dan menghargai benih-benih cinta kasih ini. Meski kekurangan secara materi, mereka memiliki batin yang kaya. Mereka juga bisa menolong sesama. Orang yang bisa menolong sesama adalah orang yang memiliki kekuatan cinta kasih.
Dengan menghimpun beras, mereka juga bisa menolong banyak orang. Dalam jangka waktu yang panjang, mereka menyisihkan beras setiap hari tanpa melewatkan satu hari pun. Mereka terus bersumbangsih dengan menyumbangkan seguci demi seguci beras. Bukankah mereka merupakan orang terkaya?
Berkat sumbangsih mereka, kebutuhan kaum lansia terpenuhi dan para janda dapat membesarkan anak mereka.
Seiring berlalunya waktu, selain dapat memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, mereka juga dapat menolong keluarga lain. Semua orang menghimpun kekuatan dan seluruh warga desa hidup harmonis.
Ada yang bersumbangsih dengan cinta kasih, ada pula yang menerima dengan rasa syukur. Jadi, seluruh desa penuh dengan cinta kasih dan rasa syukur. Bukankah kebahagiaan terbesar ialah saat semua orang hidup damai dan sejahtera serta memiliki cinta kasih, kebijaksanaan, berkah, dan pahala yang berlimpah?