Dalam kehidupan ini, banyak orang yang merasa tidak puas. Semakin banyak yang diinginkan, semakin besar pula rasa tidak puas. Kini kita bisa melihat banyak pengusaha besar di dunia ini. Saat ditanya apa kekayaan mereka sudah cukup, mereka mungkin akan berkata, “Belum, saya sedang mengembangkan bisnis saya.” Meski sudah menjadi nomor satu di dunia, mereka tetap berharap dapat terus mengembangkan bisnis mereka agar tidak dilampaui oleh orang lain.

Pengusaha besar saja menginginkan lebih banyak dan merasa tidak puas, apalagi kita sebagai orang biasa. Inilah penderitaan dalam kehidupan manusia. Kehidupan penuh dengan penderitaan. Kita juga melihat orang yang tidak memiliki apa-apa dan hidup dalam penderitaan yang tak terkira. Ditambah dengan bencana alam dan bencana akibat ulah manusia, penderitaan mereka semakin tak terkira.

Demikianlah kehidupan manusia. Jika bisa terbebas dari nafsu keinginan, kita akan bersukacita dan berpuas diri saat memperoleh sesuatu. Saat kita tidak memiliki nafsu keinginan, tetapi mendapatkan sesuatu yang tidak terduga, kita akan dipenuhi sukacita. Jika dapat menekan nafsu keinginan, kita akan senantiasa berpuas diri. Meski hanya memperoleh sesuatu yang kecil, kita sudah sangat bersukacita dan berpuas diri.

Jadi, dalam kehidupan ini, kita hendaklah berfokus untuk bersumbangsih. Bersumbangsih adalah hal yang membahagiakan. Bersumbangsih bukan hanya hak orang berada. Dengan tenaga dan pikiran, kita juga dapat bersumbangsih. Kita selalu bersumbangsih tanpa pamrih. Dapat bersumbangsih saja, kita sudah dipenuhi sukacita dan berpuas diri.

Kim Gyo-gak adalah pangeran di sebuah kerajaan di Korea. Beliau tidak mengejar apa pun dan sangat gemar mempelajari ajaran Buddha. Beliau hanya berharap dapat menyatu dengan kebenaran. Saat itu, ajaran Buddha sangat populer di Tiongkok. Dengan membawa seekor anjing, Kim Gyo-gak berlayar ke Tiongkok dengan sebuah perahu kecil yang sederhana.

Saat mencapai Provinsi Anhui, perahunya menabrak karang dan terjebak di sana. Karena itu, beliau meninggalkan perahunya dan berjalan ke pegunungan bersama anjingnya. Beliau berjalan ke Gunung Jiuzi dan melatih diri di sana. Kala beliau melatih diri di sana, suatu hari, ada sekelompok penyair yang berjalan-jalan ke gunung itu. Melihat keindahan gunung itu, mereka pun membuat puisi di sana.

Tiba-tiba, mereka melihat seorang petapa, yaitu Kim Gyo-gak, yang terlihat sangat agung. Para penyair itu suka berbincang dengannya. Sejak itu, para penyair itu sering pergi ke sana. Selain itu, mereka juga saling bertukar ajaran Buddha dan filsafat Tiongkok. Para penyair sering mengajak orang pergi ke sana. Saat hal ini tersebar, pemilik gunung tersebut sangat gembira karena ada petapa yang melatih diri di gunungnya.

Dia pun mengunjungi Kim Gyo-gak. Sesuai perkiraannya, dia melihat seorang petapa yang sangat luhur. Namun, dia merasa bersalah pada Kim Gyo-gak karena tempat tinggalnya sangat sederhana. Dia lalu berkata pada Kim Gyo-gak, “Engkau dapat melatih diri dengan tenang di sini. Katakan saja berapa luas lahan yang dibutuhkan untuk membangun kuil di sini.”

Beliau berkata, “Tidak perlu luas, cukup sebesar jubah ini saja.” Dia berkata, “Jubah ini begitu kecil, tidak cukup.” Beliau berkata, “Asalkan jubah ini dapat melindungiku dari sinar matahari, maka itu sudah cukup bagiku.” Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Pemilik gunung itu berkata, “Bagus, engkau sungguh tidak menginginkan apa pun.”

Kim Gyo-gak lalu membentangkan jubahnya untuk melindungi diri dari sinar matahari. Saat beliau membentangkan jubahnya, matahari tertutup oleh awan sehingga seluruh Gunung Jiuzi terlindung dari sinar matahari. Karena itu, pemilik gunung itu berkata, “Berhubung jubahmu telah melindungi seluruh gunung dari sinar matahari, maka kini gunung ini adalah milikmu.” Jadi, dia menghadiahkan Gunung Jiuzi kepada Kim Gyo-gak.

Hal ini pun tersebar dengan cepat. Rakyat setempat terus berdatangan dan membangun sebuah kuil di sana. Orang-orang yang datang dari jauh untuk mendengar beliau membabarkan Dharma juga memutuskan untuk melatih diri di sana. Putra pemilik gunung tersebut, Dao Ming, juga meninggalkan keduniawian dan menjadi pelayan Kim Gyo-gak. Pemilik gunung juga merupakan pengikut Kim Gyo-gak.

Dengan semakin banyaknya orang yang bergabung, bahan pangan pun semakin terbatas. Para petapa ini melatih diri hingga sangat kurus. Mereka melatih diri dalam keterbatasan. Orang-orang percaya bahwa Kim Gyo-gak yang terlahir di Korea dan pergi ke Tiongkok untuk melatih diri adalah emanasi dari Bodhisatwa Ksitigarbha.

Jadi, beliau terlahir di Korea, tetapi namanya terkenal di Tiongkok. Orang-orang menyebutnya “Bodhisatwa Ksitigarbha” karena beliau selalu mengajari orang-orang untuk membebaskan sesama dari penderitaan. Bodhisatwa Ksitigarbha berikrar untuk tidak mencapai kebuddhaan sebelum neraka kosong. Beliau adalah Bodhisatwa istimewa yang membangun ikrar agung untuk tidak mencapai kebuddhaan sebelum neraka kosong.

Meski terdapat banyak Bodhisatwa, tetapi hanya Bodhisatwa Ksitigarbha yang bersedia pergi ke neraka dan berikrar untuk menyelamatkan semua makhluk di neraka, baru akan mencapai kebuddhaan. Bodhisatwa Ksitigarbha menyelamatkan semua makhluk tanpa pamrih. Asalkan semua makhluk terselamatkan, beliau sudah dipenuhi sukacita.

Kebahagiaannya adalah melihat semua makhluk terbebas dari neraka, mempelajari ajaran Buddha, dan hati mereka tersucikan. Dengan demikian, beliau akan sangat bahagia. Jadi, beliau tidak memiliki nafsu keinginan dan selalu bersumbangsih. Beliau bersukacita jika semua makhluk dapat mempelajari Dharma. Inilah ikrar agung Bodhisatwa Ksitigarbha.