Kita hendaknya bersungguh hati merenungkan bahwa segala fenomena yang berkondisi di dunia ini tak luput dari hukum sebab akibat. Kita harus tahu jelas akan kebenaran ini. Meski kehidupan sangatlah singkat, tetapi kegelapan dan noda batin kita membuat kita menciptakan makin banyak kegelapan batin sehingga kita tersesat dan terus menciptakan karma dan menerima akibatnya sebagai makhluk awam.
Buddha membabarkan Dharma di dunia ini untuk menghapus kesesatan dalam pikiran kita. Saya sering berkata bahwa Buddha berulang kali datang ke dunia ini demi satu tujuan utama, yaitu menghapus kegelapan batin semua makhluk dan membimbing kita ke arah yang benar.
Saya sering berkata bahwa kita hendaknya memahami hati Buddha. Selain memahami hati Buddha, kita juga harus meneladan hati Buddha. Jadikanlah hati Buddha sebagai hati kita. Jika kita bisa memahami dan meneladan hati Buddha, segala yang kita lakukan dan segala benih yang kita tabur akan sejalan dengan hakikat sejati kita. Kita akan mempraktikkan Enam Paramita di tengah masyarakat.
Saat kita memperlakukan semua makhluk dan bersumbangsih dengan hati Buddha, semua makhluk akan menjadi ladang pelatihan bagi kita untuk menciptakan berkah. Jika kita bisa merenungkan dan memahami hal ini, bukankah segala sesuatu yang kita lakukan akan menjadi butir demi butir benih yang berbuah baik?
Ada seorang bhiksuni bernama Bhadra. Suatu hari, saat melakukan meditasi duduk di hutan, dia tiba-tiba tersenyum. Bhiksuni lain yang melihatnya berkata, “Mengapa engkau tersenyum saat melakukan meditasi?” Dia berkata, “Di tengah meditasi, aku tiba-tiba melihat kehidupan lampauku yang sangat menggelikan.”
Di salah satu kehidupan lampaunya, dia adalah seorang anak laki-laki bernama Brahma yang sangat agung. Suatu hari, dia membawa bunga yang ingin dipersembahkannya kepada Buddha Vipasyin. Dia berjalan dengan percaya diri di jalan dan semua orang memujinya. Tiba-tiba, seorang wanita yang sangat jelita muncul di jalan yang sama sehingga tatapan semua orang beralih ke wanita tersebut.
Menyadari bahwa tatapan semua orang dengan cepat beralih ke wanita tersebut, dia merasa tersaingi dan berikrar di hadapan Buddha untuk menjadi seorang wanita di kehidupan berikutnya. Dia berdoa dengan tulus kepada Buddha Vipasyin dan doanya benar-benar terwujud.
Setelah meninggal dunia, dia terlahir di alam Surga Trayastrimsa sebagai seorang dewi. Ada banyak dewa yang bersaing untuk menjadi pasangannya.
Salah seorang dewa berkata, “Mari kita berlomba dengan melantunkan syair yang paling menakjubkan.”
Seorang dewa berkata, “Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa hidup di kehidupan sekarang dan kapan aku akan mati.” Setiap orang merasa bahwa dia memiliki pemahaman yang mendalam tentang kehidupan dan mengaku kalah darinya. Akhirnya, dewi itu menjadi pasangan dewa tersebut.
Setelah menikmati berkah surgawi, dia terlahir kembali di alam manusia. Setelah berbagai kehidupan, dia menjadi pelayan dalam keluarga seorang tetua. Istri tetua tersebut berkata padanya, “Jika engkau melihat pratyekabuddha di luar, undanglah beliau ke rumah kita. Aku ingin memberikan persembahan.”
Saat bertemu seorang pratyekabuddha di jalan, pelayan itu pun mengundangnya ke rumah. Namun, istri tetua itu berkata, “Aku tidak menyukainya. Jadi, aku tidak mau memberikan persembahan. Suruh dia pergi.”
Pelayan itu berpikir, “Aku telah mengundangnya datang. Bagaimana bisa menyuruhnya pergi begitu saja?”
Dia berkata, “Mohon izinkan aku untuk mempersembahkan makananku hari ini.” Dia lalu mempersembahkan makanannya hari itu.
Setelah menerima makanannya, pratyekabuddha tersebut melayang ke udara dan mengetuk mangkuknya untuk mendoakan orang yang memberi persembahan. Orang-orang melihatnya dan penasaran keluarga mana yang begitu penuh berkah.
Tetua itu berpikir, “Semoga itu adalah keluargaku.”
Saat pulang ke rumah, tetua itu bertanya apakah ada orang yang memberi persembahan kepada pratyekabuddha itu.
Pelayan itu berkata, “Ya. Aku mempersembahkan makananku.”
Tetua itu sangat sukacita mendengarnya dan memujinya. Tetua itu berkata, “Mulai sekarang, engkau tidak perlu menjadi pelayan lagi. Sebaliknya, engkau akan dilayani oleh orang lain.”
Setelah pelayan itu meninggal dunia, dia terlahir kembali di alam manusia dan memberikan persembahan kepada Buddha lain hingga zaman Buddha Sakyamuni. Saat itu, Mahakasyapa belum meninggalkan keduniawian. Keluarganya terus berharap dia dapat menikah. Karena itu, dia berkata kepada keluarganya bahwa dia hanya akan menikah dengan wanita yang mirip dengan sebuah rupang.
Kebetulan, Bhadra mirip dengan rupang tersebut. Dia juga ingin melatih diri dan enggan menikah. Berhubung memiliki tekad yang sama, mereka pun berjanji untuk bersama-sama meninggalkan keduniawian kala jalinan jodoh matang. Saat jalinan jodoh matang, Mahakasyapa pun meninggalkan keduniawian lebih dahulu, lalu kembali untuk membimbing Bhadra meninggalkan keduniawian.
Setelah menceritakan berbagai kehidupan lampaunya, Bhadra berkata, “Saat melakukan meditasi duduk di sini, aku melihat 91 kalpa yang lalu, karena sebersit kegelapan batin, aku terlahir menjadi wanita dalam berbagai kehidupan. Kini, aku berkesempatan untuk melatih diri di sini. Mulai sekarang, aku akan sungguh-sungguh menjalankan praktik Bodhisattva. Tujuanku ialah mencapai kebuddhaan. Demikianlah jalinan jodohku.”
Bodhisattva sekalian, jalinan jodoh sungguh tidak terbayangkan. Kita hendaknya bersungguh hati mengingat dan merenung tentang hukum sebab akibat serta mempelajari Dharma yang merupakan perwujudan Buddha. Apakah kita telah menyerap Dharma ke dalam hati?
Puncak Burung Nasar terdapat dalam batin kita. Apakah kita mengikuti persamuhan Puncak Burung Nasar? Apakah kita telah membuka pintu stupa Puncak Burung Nasar? Apakah Buddha dalam batin kita telah muncul? Kita harus merenungkan semua ini dengan sungguh-sungguh.
Semua Dharma yang berkondisi berpulang pada Dharma yang tidak berkondisi. Jadi, mari kita senantiasa lebih bersungguh hati.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, (DAAI TV Indonesia)