Kehidupan hanya sebatas tarikan napas. Namun, apakah hidup hanya semata-mata bernapas? Saat hidup, manusia tak dapat berhenti bernapas. Dalam proses tarikan dan embusan napas, jika semuanya dapat berjalan dengan lancar, kehidupan kita termasuk sehat. Saat kondisi kita sehat, sudahkah kita memanfaatkannya?

Jika memiliki tubuh yang sehat, tetapi tanpa pikiran yang sehat, semakin lama kita hidup, semakin banyak pula karma buruk yang kita ciptakan.

Lihatlah berbagai mata pencaharian di dalam masyarakat kita. Banyak orang yang mencelakai makhluk hidup lain hanya demi bertahan hidup. Saya sungguh tidak tega melihatnya. Bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan? Alangkah baiknya jika kita dapat hidup berdampingan dan selaras dengan alam.

Lihatlah, di alam ini ada begitu banyak makhluk hidup. Kelihatannya sangat menarik. Banyak pula gunung, perairan, dan pepohonan yang sangat indah. Kita juga bisa melihat rusa yang berjalan-jalan, lembu yang sedang memakan rumput, hewan-hewan kecil yang berjalan di rerumputan, bahkan serangga yang merayap di dedaunan. Lihatlah, semua ini menambah keindahan dunia. Jadi, jika manusia dapat hidup berdampingan dengan semua makhluk, dunia ini akan menjadi tanah suci.

Di dalam Sutra Buddha ada sebuah kisah.

Raja Payas memerintah Varanasi dengan kebajikan. Rakyatnya hidup dengan damai dan tenteram. Segala bidang usaha mengalami kemajuan. Saat itu ada negeri lain yang rajanya berkata kepada menterinya, “Alangkah baiknya jika aku bisa menaklukkan Varanasi.”

Beberapa menteri setuju dan berkata bahwa sangat mudah untuk menaklukkan Varanasi. Sebagian menteri berkata, “Tidak boleh.” Meski ada dua kubu pendapat di antara para menteri, raja itu memutuskan untuk merebut Varanasi. Saat berita ini menyebar, rakyat Varanasi sangat ketakutan.

Di dalam hatinya, Raja Payas bertanya-tanya, “Mengapa mereka ingin merebut Varanasi?” Jika perang sampai terjadi, rakyat tentu akan banyak yang terluka. Seorang menteri memberi pendapat, “Kita harus bersiap untuk melawan.”

Raja Payas berpikir, “Untuk apa saling berseteru?” Beliau memutuskan untuk meninggalkan kerajaannya dan meninggalkan sepucuk surat. Beliau berpesan kepada para menterinya agar mengutamakan keselamatan rakyat dan tidak boleh mengerahkan pasukan. Kemudian, Raja Payas pergi ke pegunungan dan melewati hari-hari yang tenang.

Suatu hari, Raja Payas melihat seorang tua yang terlihat lapar dan kelelahan. Beliau bertanya kepada orang tua ini, “Anda terlihat lelah sekali, dari mana Anda berasal?”

Orang tua itu balik bertanya, “Maaf, berapa jauhkah Varanasi dari sini?”

Raja Payas menjawab, “Masih belasan hari perjalanan.”

Orang tua ini berkata, “Apakah Raja Payas sekarang tenteram dan sehat?”

Beliau menjawab, “Dia baik-baik saja.”

Orang tua itu berkata, “Kalau begitu saya tenang. Saya ingin memohon kepada Raja Payas untuk membebaskan diriku dari kemiskinan.”

Raja Payas berpikir, saat beliau menjadi raja, beliau memiliki harta untuk membantu rakyat. Namun, kini beliau hanya memiliki tubuh saja. Beliau berpikir, jika terus hidup seperti itu, beliau tak dapat memberi manfaat bagi orang banyak. Beliau merasa itu adalah kesempatan. Jadi, beliau berkata kepada orang tua itu, “Akulah Raja Payas. Bawalah kepalaku ini ke hadapan raja yang baru. Dia pasti memberimu hadiah. Tidak boleh,” jawab orang tua itu.

Raja Payas berkata, “Ini adalah keinginanku. Jika Anda tak mau bertindak, biar aku lakukan sendiri.”

Setelah selesai bicara, beliau mengambil pedang dan memenggal kepalanya sendiri. Orang tua itu sangat sedih. Dia lalu membungkus kepada Raja Payas dan pergi menuju ibu kota, lalu berkata kepada raja baru, “Aku ingin memberi Yang Mulia sebuah hadiah. Ini kepala Raja Payas.”

Begitu bungkusan itu dibuka, para pejabat dan menteri di sana menangis sedih. Seluruh rakyat berkumpul di istana untuk turut berkabung. Raja baru ini melihat Raja Payas sungguh telah mendapatkan hati rakyat. Dia menyadari kesalahannya dan meminta orang tua itu membawanya ke tempat Raja Payas dan memerintahkan untuk melapisi tubuh beliau dengan emas, perak, dan lilin, lalu membawanya kembali ke istana dan menempatkannya di singgasana.

Saat putra mahkota Raja Payas tumbuh dewasa, dia menggantikan ayahnya untuk bertakhta. Setelah menceritakan kisah ini, Buddha berkata, “Ketahuilah bahwa pada kehidupan lampau, Aku terus-menerus kembali ke dunia ini untuk melatih diri dan memanfaatkan nyawa-Ku untuk memberi manfaat bagi semua makhluk. Dengan kehidupan-Ku, Aku membimbing semua makhluk. Inilah salah satu kisah kehidupan lampau-Ku.”

Jadi, dalam setiap fase kehidupan kita, bagaimanakah kita menjalaninya agar kehidupan kita benar-benar bermakna dan sungguh-sungguh bernilai? Dari Sutra Buddha kita dapat mempelajari berbagai nilai kehidupan. Jadi, melihat manusia saling bertikai dan menyerang, saya sungguh merasa prihatin.

Para makhluk suci dan Buddha memperlakukan dunia ini dengan penuh cinta kasih. Jika setiap orang memiliki cinta kasih, kita akan menyadari bahwa kita hidup dalam satu kesatuan.

Seperti Raja Payas tadi, beliau berkata bahwa rakyat kedua negara seharusnya dapat hidup berdampingan. Mengapa harus saling bertikai dan berperang? Berapa banyak yang ingin dikuasai oleh satu orang? Setiap orang hanya memiliki satu mulut. Yang dapat kita makan juga terbatas. Setiap orang juga hanya memiliki satu tubuh. Berapa banyak pakaian yang dapat kita kenakan dalam satu waktu? Seberapa luas lingkungan hidup yang kita butuhkan? Mengapa manusia harus berebut? Jadi, dalam kehidupan ini, jika kita dapat melihat jelas nilai dan makna kehidupan, tiada yang perlu kita perebutkan.

Hidup hanya sebatas tarikan napas. Jadi, kita harus menggengggam waktu saat kita masih hidup dan menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Metta Wulandari