Saya sering berkata bahwa Sutra bukan hanya untuk dilafalkan, tetapi juga harus dipraktikkan. Artinya, setelah saya membentangkan jalan sesuai Sutra Bunga Teratai, saya berharap setiap orang dapat menggenggam waktu untuk menapakinya dengan mantap.

Dharma bukan hanya terdapat dalam Sutra. Sesungguhnya, semua pengalaman kita merupakan Dharma. Kita harus menghargai jalan yang kita tapaki ini, yakni Jalan Bodhisatwa.

Berhubung saya telah membentangkan jalan sesuai ajaran yang dibabarkan oleh Buddha, maka kita hendaknya menapaki jalan ini. Selain itu, jangan memiliki pamrih. Sebagian orang merasa bahwa dengan bersumbangsih, karier mereka akan lebih lancar atau mereka akan memenangkan lotre. Janganlah kita berpikir demikian. Sebaliknya, kita hendaknya berpikir bahwa berhubung memiliki tubuh yang sehat dan kehidupan yang tenteram, kita dapat bersumbangsih. Dengan demikian saja, kita sudah memperoleh pencapaian.

Sebagian orang mungkin berpikir, “Jika demikian, lebih baik saya pergi berwisata atau menikmati pemandangan alam.” Namun, itu tidaklah sama. Jika menikmati pemandangan alam, kesenangan yang diperoleh cepat berlalu. Apa manfaatnya bagi kita dan apa manfaatnya bagi orang lain? Tidak ada.

Dengan waktu yang sama, jika kita pergi bersumbangsih, jika kita pergi bersumbangsih, setelah pulang, kita akan memiliki rasa pencapaian. Pertama, kita akan menyadari bahwa kita lebih beruntung dari orang lain. Kedua, hati kita akan sangat tenang karena telah menolong seseorang.

Ada sebuah kisah yang sangat suka saya ceritakan. Pada suatu musim dingin, turun salju lebat. Ada seorang mahasiswa yang sedang libur musim dingin. Suatu hari, dia duduk di sofa, lalu mengangkat kakinya ke atas meja sambil menonton televisi. Ayahnya melihatnya dan berkata, “Nak, kamu sedang menonton acara apa?”

Dia berkata, “Acara ini bagus sekali. Saya bisa memperluas wawasan saya dengan menonton acara ini.”

Ayahnya yang bijaksana berkata, “Bukankah kamu sudah menonton banyak acara seperti ini?”

Dia berkata, “Sudah terlalu banyak, saya tak ingat.”

Ayahnya berkata, “Maukah kamu melakukan sesuatu yang bisa kamu ingat seumur hidup?”

Dia berkata, “Mana ada sesuatu yang bisa diingat seumur hidup?”

Ayahnya lalu menunjuk ke luar dan berkata, “Di sebelah rumah kita tinggal seorang nenek yang hidup sebatang kara. Lihatlah, beliau melihat ke luar jendela. Salju begitu lebat. Beliau mungkin ingin pergi karena ada urusan penting. Maukah kamu membantu membersihkan salju di depan rumahnya?”

Dia berkata, “Membersihkan salju?”

Ayahnya berkata, “Cobalah.”

Dia berkata, “Baiklah.”

Dia lalu mengambil sekop dan mulai membersihkan salju. Dia membersihkan salju yang menumpuk di depan rumah nenek tersebut. Setelah itu, dia pulang dan menyimpan sekop. Ayahnya berkata padanya, “Ayo, duduklah di sini.”

Lalu, mereka melihat nenek itu menyadari bahwa salju di depan rumahnya telah dibersihkan. Setelah membuka pintu untuk memeriksanya, beliau tersenyum. Lalu, dengan membawa sebuah tas, beliau keluar rumah dengan senyuman di wajahnya.

Ayahnya berkata padanya, “Lihatlah, apa yang kamu rasakan sekarang?”

Dia berkata, “Saya turut bergembira melihat nenek itu keluar rumah dengan gembira.”

Ayahnya berkata, “Lihatlah dengan saksama.” Dia pun benar-benar melakukannya. Tiga puluh tahun kemudian, dia sudah berusia paruh baya.

Suatu hari, dia bercerita pada anaknya tentang hal yang dia lakukan atas permintaan ayahnya 30 tahun yang lalu. Dia berkata pada anaknya, “Kamu tahu tidak? Saya selamanya tidak akan melupakan bagaimana nenek itu membuka pintu, tersenyum, dan berjalan keluar dari rumahnya. Selama 30 tahun ini, saya tak pernah melupakan pemandangan saat itu.”

Menolong sesama membuat pemuda itu memperoleh rasa pencapaian. Hatinya dipenuhi kebahagiaan dan keindahan pemandangan yang terlihat saat itu. Dia selalu bersukacita dan merasa bahwa itu adalah hal terbaik yang pernah dilakukannya. Bagaimana jika saat itu dia hanya menonton televisi atau bermain komputer?

Saat ayahnya menanyakan berapa banyak yang dia ingat dari acara yang telah ditonton, dia menjawab bahwa tidak banyak yang dia ingat. Jika kita hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, berarti kita menyia-nyiakan waktu. Itu tidaklah benar.

Kita datang ke dunia ini dengan tangan kosong, juga akan pergi dengan tangan kosong. Namun, kita hendaklah memiliki pencapaian. Pencapaian apa? Budi pekerti.

Budi pekerti juga merupakan pencapaian. Budi pekerti adalah pencapaian kita setelah bersumbangsih. “Pencapaian” dan “budi pekerti” terdengar mirip dalam dialek Taiwan. Sesungguhnya, budi pekerti juga merupakan pencapaian. Tanpa bersumbangsih dan melatih diri, kita tidak akan memperoleh pencapaian. Jadi, siapa yang melatih diri, dialah yang akan memperoleh pencapaian. Begitu pula sebaliknya.

Setiap orang memiliki jalan masing-masing. Jika kita tidak bekerja keras untuk membuka dan membentangkan jalan, kita akan kehilangan arah dalam hidup ini, jalan kita juga akan penuh rintangan. Sebaliknya, jika kita bekerja keras untuk membuka dan membentangkan jalan ke arah yang benar, kelak perjalanan kita akan lancar.

Saya sering berkata bahwa kehidupan bagaikan panggung sandiwara dan sebelum kita naik ke atas panggung, naskahnya sudah ditulis. Siapa yang menulis naskah kehidupan kita? Kita sendiri. Siapa sutradaranya? Kita sendiri. Kita menulis naskah kehidupan sendiri dan menjadi sutradara sendiri. Setelah naik ke atas panggung ini, kita tidak bisa mengendalikan apa pun. Satu-satunya yang bisa kita lakukan ialah menggenggam jalinan jodoh baik.

Berkat adanya jalinan jodoh baik, hati kita bisa dipenuhi sukacita saat mendengar kalimat yang sama. Berkat adanya jalinan jodoh baik, kita bisa bersumbangsih bersama.

Beras di dunia ini tidak habis dimakan seorang diri. Kebaikan di dunia ini tidak bisa dilakukan seorang diri. Karena itu, dibutuhkan adanya jalinan jodoh. Berkat adanya jalinan jodoh, semua orang dapat bekerja sama untuk berbuat baik bagi dunia ini. Jadi, kita harus senantiasa bersyukur.