Sejak masa tanpa awal, Buddha berulang kali kembali ke dunia yang penuh kekeruhan demi semua makhluk bagai orang tua penuh cinta kasih yang melindungi anak-anaknya. Sejak masa tanpa awal, Buddha berulang kali kembali ke Dunia Saha demi membimbing semua makhluk karena tidak tega pada semua makhluk.
Buddha bagai orang tua penuh cinta kasih yang menyayangi anak-anaknya dan tidak menyerah pada mereka. Bukankah orang tua selalu demikian? Tidak peduli betapa bandelnya anak-anak, orang tua mereka tidak pernah menyerah. Demikian pulalah hati Buddha. Karena itulah, Buddha berulang kali kembali ke Dunia Saha demi membimbing semua makhluk. Agar jiwa kebijaksanaan semua makhluk bertumbuh, Buddha berulang kali kembali ke dunia ini.
Suatu hari, Buddha berkunjung ke Udayana. Mendengar kedatangan Buddha, banyak orang yang berharap dapat mendengar Buddha membabarkan Dharma. Buddha teringat akan seorang nenek yang bernama Cankala. Nenek itu sangat miskin. Penyesalan terbesar dalam hidupnya ialah tidak memiliki keturunan.
Saat berjalan menyusuri sungai, Ananda melihat nenek itu hendak mengambil air dari tepi sungai. Ananda lalu berjalan mendekatinya dan berkata, “Nenek, bisakah Nenek memberiku sedikit air?”
Melihat Ananda, Cankala dengan penuh hormat berkata, “Yang Arya, apakah air ini untukmu?”
Ananda berkata, “Bukan. Buddha yang membutuhkan air ini.”
Cankala berkata, “Bolehkah aku ikut denganmu dan mempersembahkan air ini secara langsung kepada Buddha?”
Ananda berkata, “Tentu saja boleh.” Cankala segera mengikuti Ananda.
Dia meletakkan gayung dan hendak berjalan ke hadapan Buddha. Murid-murid Buddha mencoba menghentikannya. Buddha lalu melarang mereka dan membiarkan nenek itu datang ke hadapan-Nya.
Melihat Buddha, nenek itu bersujud dan menyentuh kaki Buddha. Saat dia berdiri, Buddha berkata padanya, “Bagaimana kondisi batinmu sekarang?”
Nenek itu berkata, “Aku sangat bersyukur kepada Yang Dijunjung yang mengizinkanku untuk mendekat. Bagaimana kondisi batinku sekarang, Yang Dijunjung pasti mengetahuinya.”
Buddha pun berkata, “Lima ratus kehidupan lampau, pada masa Buddha Kasyapa, dia adalah ibu-Ku. Saat itu, Aku ingin berdana, mendengar Dharma, dan meninggalkan keduniawian, tetapi selalu dihalangi olehnya. Dia juga memfitnah Tiga Permata. Karena itulah, selama lima ratus kehidupan ini, dia selalu hidup miskin dan tidak memiliki keturunan. Saat ini, satu-satunya harapannya ialah memiliki seorang anak dan jalinan jodohnya sudah matang untuk menerima Dharma. Karena itulah, Aku menyuruh Ananda untuk menjemputnya.”
Buddha lalu mulai membabarkan Empat Kebenaran Mulia untuknya. Penderitaan berasal dari akumulasi berbagai sebab dan kondisi. Untuk membebaskan diri dari penderitaan, seseorang harus melatih diri di Jalan Kebenaran. Dia sepertinya sudah menyadari kebenaran. Dia pun pulang ke rumah dan berkata kepada suaminya, “Buddha datang ke desa kita untuk membabarkan Dharma dan aku telah menemui-Nya. Kini aku memahami bahwa kehidupan penuh dengan penderitaan. Bolehkah aku meninggalkan keduniawian?”
Meski jodoh mereka terjalin pada lima ratus kehidupan lampau, Buddha tetap berusaha untuk membimbingnya. Ini adalah sebuah contoh bahwa sesungguhnya, semua orang berjodoh dengan Buddha. Sesungguhnya, bagaimana hubungan dan jalinan jodoh kita dengan Buddha di kehidupan lampau?
Saat melihat Buddha dan mendengar Dharma, kita dipenuhi sukacita. Di mana pun, saat melihat rupang Buddha, meski itu buatan manusia, kita tetap akan membangkitkan rasa hormat dan bersujud di hadapannya. Saat mendengar Dharma, kita juga menerimanya dengan penuh sukacita serta meyakini dan mempraktikkannya. Ini karena adanya jalinan jodoh baik.
Dengan penuh welas asih, Buddha berulang kali kembali ke dunia yang penuh kekeruhan ini demi membimbing semua makhluk. Buddha tidak pernah menyerah pada semua makhluk. Karena itu, kita hendaknya menyatakan berlindung kepada Buddha dengan rasa hormat tertinggi. Kita hendaknya memahami jalan agung dan bertekad untuk mencapai kebuddhaan.