Setiap waktu dan setiap hari, tubuh dan pikiran kita merasakan perasaan. Saat cuaca dingin, kita merasa dingin. Saat cuaca panas, kita merasa panas. Dapat mengetahui kondisi di sekitar kita berarti kita memiliki perasaan. Perasaan ada dalam hubungan antarmanusia dan dalam diri sendiri.

Ada sebagian orang yang berpikir, “Saya sangat menderita. Mengapa harus saya yang menderita?” Saat orang lain menderita, kita tidak merasakannya. Saat kita yang menderita, kita baru menyadari bahwa penderitaan itu tak terkira. Semua ini adalah perasaan. Ada sebagian orang yang tahu bahwa perasaan membawa derita. Penderitaan bukan hanya ada di kehidupan sekarang. Jika kita berbuat jahat, kehidupan mendatang kita akan makin menderita.

Meski telah tahu akan hal ini, ada sebagian orang yang berpikir, “Saya tidak ingin berbuat jahat. Saya akan menyuruh orang lain melakukannya. Saya sudah merasakan penderitaan, lebih baik saya menyuruh orang lain melakukannya.” Mereka tidak tahu bahwa dengan menyuruh orang lain, bukan hanya orang yang berbuat yang menderita, tetapi mereka yang menyuruh juga akan merasakan penderitaan yang lebih besar.

Baik berbuat jahat sendiri maupun menyuruh orang lain melakukannya, semuanya mendatangkan penderitaan. Semua perbuatan ada konsekuensinya. Jadi, setelah kita melakukan sesuatu yang mendatangkan konsekuensi dan penderitaan bagi kita, janganlah kita membiarkan orang lain merasakan penderitaan yang sama dengan kita. Inilah rasa empati. Kita hendaknya membina cinta kasih dan welas asih. Jika kita sendiri menderita dan membuat orang lain juga menderita, karma ini akan terus menyertai kita. Ada sebuah kisah seperti ini.

Ada seorang pria yang gemar melatih diri. Dia meninggalkan keluarganya dan pergi ke hutan dengan harapan dapat mencapai pembebasan. Dia melatih diri di sana selama 12 tahun. Meski lingkungan sekitarnya sangat tenang, tetapi dia tidak dapat menaklukkan pikiran pengganggu. Ini membuatnya sangat risau.

Suatu hari, Buddha mengetahui hal ini dan menjelma menjadi seorang bhiksu, lalu menghampiri petapa tersebut dan duduk bersamanya di bawah pohon. Mereka tidak mengganggu satu sama lain. Pada saat itu, seekor kura-kura naik dari danau ke daratan. Kura-kura itu terus berjalan maju. Tiba-tiba, seekor berang-berang juga naik ke daratan. Berang-berang itu sangat lapar. Melihat kura-kura yang tengah berjalan, berang-berang pun membuka mulutnya. Ia ingin menggigit kura-kura itu.

Kura-kura yang sangat waspada itu segera memasukkan kaki, tangan, dan kepalanya ke dalam tempurungnya. Bagaimanapun berang-berang membalikkan tempurung kura-kura, ia hanya dapat menggigit tempurung yang keras. Berang-berang pun berdiri di sana dan menatapnya dalam diam.

Kura-kura yang merasa bahwa sekitarnya sudah tenang pun kembali menjulurkan kepala, kaki, dan ekornya. Ia kembali berjalan maju. Melihat kura-kura kembali menjulurkan kepala, kaki, dan tangannya, berang-berang kembali mendekatinya dan berusaha untuk menggigitnya.

Sama seperti sebelumnya, kura-kura itu kembali memasukkan kepala dan kakinya ke dalam tempurung. Ini terjadi berulang kali. Karena itu, berang-berang hanya bisa pergi karena merasa lelah dan tidak berdaya. Lalu, kura-kura itu kembali menjulurkan kepalanya untuk melihat kondisi sekitarnya. Menyadari bahwa berang-berang itu telah pergi, kura-kura pun berjalan maju dengan tenang.

Bhiksu jelmaan Buddha mendampingi petapa itu menyaksikan semuanya dalam diam. Lalu, Beliau berkata, “Tubuh ini tidaklah kekal dan akan kembali pada bumi. Saat tubuh mati, kesadaran pun akan pergi; untuk apa melekat pada wadah sementara ini? Pikiran yang terus terpengaruh oleh kondisi luar, di manakah pangkal dan ujungnya? Pikiran buruk yang terbangkitkan membawa bencana bagi diri sendiri. Semua pikiran buruk dibangkitkan oleh diri sendiri, bukan diberikan oleh orang tua. Doronglah diri sendiri ke arah yang benar dan ciptakanlah berkah tanpa berpaling. Jagalah enam indra bagai kura-kura dan jagalah pikiran bagai benteng. Jika kebijaksanaan menang dari Mara, kita akan terbebas dari penderitaan.”

Demi petapa yang belum mencapai pencerahan itu, dengan penuh welas asih, Buddha menjelma menjadi seorang bhiksu. Melihat kura-kura dan berang-berang itu, Beliau menggenggam kesempatan untuk membabarkan Dharma. Mendengar ucapan-Nya, seketika itu juga petapa tersebut tersadarkan serta melenyapkan semua ketamakan dan nafsu keinginan. Dia menghapus semua ketamakan, nafsu keinginan, dan pikiran pengganggu.

Pada dasarnya, melatih diri sangatlah sederhana. Petapa itu tidak mencapai pencerahan selama 12 tahun, tetapi dengan memahami satu prinsip, dia bisa menyatu dengan semua kebenaran dan mencapai pencerahan. Jadi, melatih diri mungkin terdengar sulit, tetapi juga bisa sangat sederhana. Asalkan kita membulatkan tekad, tidak ada hal yang sulit di dunia ini.

Saudara sekalian, dalam meneladan Buddha, saat enam indra kita bersentuhan dengan kondisi luar, kita harus tahu untuk memilih menciptakan berkah. Kita harus menciptakan berkah tanpa penyesalan. Jadi, ciptakanlah berkah tanpa berpaling. Jangan berpikir untuk mundur. Setelah membangkitkan tekad, kita harus melangkah maju dengan berani.

Saudara sekalian, bersungguh hatilah setiap waktu. Dengan bersungguh hati, kita bisa mengatasi semua penderitaan dan kesulitan. Jadi, mari kita senantiasa bersungguh hati.