Dharma tidak ada perbedaan besar ataupun kecil, dalam ataupun dangkal. Asalkan bisa dipraktikkan dalam keseharian, semua itu adalah ajaran kebajikan.
Karena itulah, saya sering berkata bahwa kita harus menghormati guru dan mementingkan kebenaran. Jika bisa demikian, barulah Dharma di dalam hati kita bisa menjadi ajaran kebajikan.
Jika bisa membangkitkan rasa hormat, barulah kita bisa mempraktikkan, menghormati, dan memandang semua ajaran Buddha secara setara. Jika setiap langkah kita tidak menyimpang dari Jalan Bodhisatwa, kondisi batin kita akan sangat indah dan kita bisa memahami kebenaran tentang segala sesuatu di dunia ini.
Selain menjadi berpikiran terbuka dan bisa memahami kebenaran, kita juga bisa menjaga keharmonisan dalam menghadapi semua orang dan hal.
Saya sering berkata bahwa saat keharmonisan semua orang dan hal terjaga, berarti kita selaras dengan prinsip kebenaran. Keharmonisan ini meliputi keharmonisan dalam melakukan segala hal, keharmonisan dalam memperlakukan semua orang, dan keselarasan dengan prinsip kebenaran. Inilah nilai-nilai keharmonisan yang harus kita pelajari.
Kita harus senantiasa membangkitkan rasa hormat karena yang muncul di sekitar kita mungkin saja Buddha ataupun Bodhisatwa. Terlebih, Buddha juga mengajari kita untuk memandang secara setara dengan bijaksana dan menggunakan rasa hormat dalam menghadapi semua orang dan hal.
Jadi, di sini saya akan berbagi tentang sebuah kisah kehidupan lampau Buddha.
Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun yang berasal dari keluarga kurang mampu menggiring kawanan kerbau keluar merumput.
Suatu hari, dia mendengar lantunan Sutra dari kejauhan sehingga hatinya dipenuhi sukacita. Dia mencari sumber suara itu dan melihat sebuah vihara.
Usai mengurus kawanan kerbau di padang rumput, dia lekas berlari menuju vihara tempat lantunan Sutra terdengar.
Ada seorang bhiksu yang sedang membabarkan Dharma bagi sekelompok bhiksu. Tanpa disadari, dia terus berjalan hingga ke hadapan bhiksu itu. Setelah bersujud dengan penuh rasa hormat, dia duduk untuk mendengar Dharma.
Setelah bhiksu itu selesai berbicara, anak itu pun bertanya tentang Dharma.
Bhiksu itu berkata, “Engkau hanya iseng-iseng bertanya atau sungguh-sungguh ingin mendalami Dharma?”
Anak itu berkata, “Aku bersungguh-sungguh.”
Dia lalu berbincang-bincang dengan bhiksu itu tentang Dharma.
Bhiksu itu merasa bahwa anak itu sangat luar biasa. Dia juga mempelajari banyak prinsip kebenaran dari anak itu sehingga dipenuhi sukacita dalam Dharma.
Saat anak itu meninggalkan vihara, di padang rumput muncul seekor harimau yang mengejar kawanan kerbau hingga terpencar. Ada kerbau yang terluka, ada pula yang terpencar ke tempat yang jauh.
Anak itu segera berlari untuk menyelamatkan kawanan kerbau. Namun, dia malah digigit harimau hingga tewas.
Tidak lama kemudian, istri pertama seorang tetua kaya mengandung. Setelah mengandung, istri pertama ini terus melantunkan Sutra. Namun, tidak ada orang yang memahaminya. Karena itu, orang-orang merasa sangat takut. Tetua itu sangat khawatir.
Dokter yang memeriksa istrinya juga tidak tahu penyakit apa yang diderita istrinya.
Suatu hari, bhiksu itu melewati pintu rumahnya dan mendengar suara lantunan Sutra yang luar biasa sehingga dipenuhi sukacita.
Pada saat itu, tetua itu berjalan keluar dan melihat bhiksu itu, tetapi tidak memberi salam. Bhiksu itu merasa sangat heran.
Dia lalu bertanya pada tetua itu, “Tuan, apakah orang-orang di rumahmu sering mendengar Dharma?”
Tetua itu menggelengkan kepala dan berkata, “Aku tidak paham tentang Dharma. Suara yang terdengar olehmu ini adalah suara istri pertamaku. Tiada satu orang pun yang paham ucapannya.”
Bhiksu itu lalu berkata, “Bolehkah aku bertemu dengannya?”
Tetua itu menjawab, “Boleh, boleh.”
Bhiksu itu pun masuk ke dalam rumah.
Saat melihat bhiksu itu, sang istri dengan penuh rasa hormat bersujud dan berlutut di hadapannya.
Mereka mulai membahas Dharma hingga keduanya dipenuhi sukacita.
Saat tetua itu menanyakan kondisi istrinya, bhiksu itu berkata, “Selamat, anak dalam kandungan istrimu kelak akan menjadi orang yang memiliki kebijaksanaan agung.”
Tetua itu sangat gembira mendengarnya dan segera memberi persembahan kepada bhiksu itu.
Hari demi hari terus berlalu dan anak tersebut pun lahir. Istri pertama itu juga kembali pada kondisi semula.
Saat anak itu berusia 7 tahun, bhiksu itu mengajak sekelompok bhiksu pergi ke rumah anak itu. Anak itu merasa bahwa bhiksu itu sangat familier dan segera bersujud. Bagaikan teman lama yang bertemu kembali, mereka duduk dan mulai membahas Dharma.
Saat anak dan bhiksu itu berbicara satu sama lain, para bhiksu lain mendapati bahwa setiap ucapan anak itu penuh kebijaksanaan. Mereka merasa sangat takjub. Kemudian, bhiksu itu meninggalkan rumah tersebut.
Buddha berkata kepada para anggota Sangha bahwa bhiksu dalam kisah ini ialah Kasyapa dan anak itu adalah salah satu kehidupan lampau Buddha Sakyamuni.
Saat mendengar bhiksu itu membabarkan ajaran Mahayana, anak itu memuji kebajikan dan pikirannya terbuka.
Dia memuji ajaran-ajaran itu dan merasa bahwa semua itu sangat baik. Jadi, dia memuji kebajikan, berpikiran terbuka, dan senantiasa dipenuhi sukacita.
Sukacita di dalam hatinya terus bertahan hingga kehidupan berikutnya sehingga dia tetap memuji Dharma. Setelah pikirannya terbuka, hatinya senantiasa dipenuhi sukacita. Dia tidak pernah lupa untuk tekun dan bersemangat melatih diri. Hingga ke kehidupan berikutnya, dia tetap mengingat perbincangan antara dirinya dan bhiksu itu.
Setelah mendengar Dharma, hatinya senantiasa dipenuhi sukacita dan terus tekun melatih diri dengan tekad pelatihan yang teguh sehingga dapat mengingat hal-hal yang terjadi di kehidupan lampau. Demikianlah kebijaksanaannya berkembang.
Saudara sekalian, jika kita bisa menghormati Dharma, maka setiap ajaran adalah ajaran kebajikan. Setiap ajaran kebajikan harus dipraktikkan dalam keseharian.
Setelah mendengar Dharma, alangkah baiknya jika kita bisa berpikiran terbuka dan senantiasa dipenuhi sukacita.
Saya sering berkata bahwa dengan mempertahankan tekad awal, mencapai kebuddhaan tidaklah sulit; dengan mempertahankan sukacita dalam Dharma, mengembangkan kebijaksanaan tidaklah sulit. Jadi, mempraktikkan ajaran kebajikan berarti menghormati Dharma. Ini sangat dibutuhkan dalam pelatihan diri kita.