Ada sebuah kisah pada zaman Buddha. Ada sekelompok bhiksu yang melatih diri bersama Buddha di Jetavana. Suatu pagi, saat semua orang tengah berbagi pemahaman masing-masing, seorang bhiksu berkata, “Seorang bhiksu muda yang sekamar denganku mudah kaget dan takut. Saat duduk, mendengar suara angin saja bisa membuatnya takut. Adakalanya, kicauan burung yang agak keras juga bisa membuatnya kaget. Terkadang, saat duduk di bawah pohon dan melihat pohon tersebut bergoyang, dia juga bisa merasa takut. Sepanjang hari, dia terlihat tidak tenang dan ketakutan.”
Semua orang yang mendengarnya merasa aneh dan bertanya-tanya mengapa ada orang yang begitu penakut dan begitu takut mati. Para bhiksu lalu berhimpun dan berkata kepada Buddha, “Yang Dijunjung, kami tengah membahas lahir dan mati.” Buddha berkata, “Bagus sekali. Dalam kehidupan ini, lahir dan mati tidak terhindarkan. Jika tidak memahami kebenaran tentang lahir dan mati, bagaimana bisa kita melatih diri? Jadi, kalian tahu untuk membahas lahir dan mati, ini sangatlah bagus.”
Salah seorang bhiksu berkata, “Yang Dijunjung, kami membahas tentang seorang anggota Sangha yang sangat takut mati.” Buddha lalu berkata kepada para anggota Sangha, “Dia bukan hanya takut menghadapi kematian di kehidupan sekarang. Sesungguhnya, dia sudah lama seperti ini. Ini adalah tabiat yang dibawanya dari kehidupan ke kehidupan.”
Buddha menceritakan bahwa di berbagai kehidupan lampau, dia adalah seekor gajah. Saat itu, demi melatih gajah ini agar bergeming, raja mempekerjakan pelatih gajah yang sangat ahli dan berkata, “Dalam waktu 30 hari, engkau harus melatih gajah ini hingga bisa bergeming, tidak peduli apa yang terjadi di sekitarnya.”
Melatih seekor gajah hingga bergeming dalam waktu 30 hari sungguh tidak mudah. Pelatih gajah membawa gajah ini ke alam terbuka. Dia menancapkan dalam-dalam sebilah tonggak kayu ke tanah, lalu mengikatkan gajah itu dengan tali di tonggak kayu tersebut sehingga ia tidak dapat bergerak bebas. Setiap hari, sang pelatih melatihnya dan menyediakan makanan untuk gajah yang tidak bisa bergerak bebas itu.
Suatu hari, sang pelatih memanggil sekelompok orang untuk mengelilingi gajah itu. Ada orang yang memegang busur dan anak panah, ada pula yang memegang batu. Mereka berteriak dengan sangat lantang. Lalu, mereka mulai melepaskan anak panah ke udara. Ada orang yang membidik kaki gajah, ada pula yang membidik kepalanya. Gajah itu sangat takut melihat orang-orang yang seakan menggila.
Ada anak panah yang memelesat ke udara atau ke tanah, ada pula anak panah yang melewati bagian atas kepala atau sekitar kakinya. Gajah yang sangat takut itu terus meronta-ronta. Tiba-tiba, tali yang mengikatnya terputus dan gajah itu pun terus berlari tanpa henti. Orang-orang itu terus mengejarnya. Gajah itu dengan cepat berlari ke dalam hutan. Meski ada banyak orang yang terus mencarinya, tetapi hutan itu sangatlah luas. Mereka mencarinya berhari-hari tanpa membuahkan hasil. Karena itu, mereka terpaksa melaporkan kepada raja bahwa gajah tersebut telah hilang.
Gajah yang berada di hutan itu tetap sangat takut dan tidak berani bergerak. Suara angin, kicauan burung, dan pohon yang bergoyang, semuanya membuat gajah itu merasa takut. Saat itu, ada sebatang pohon yang sangat besar. Dewa pohon di pohon tersebut melihat gajah itu merasa tidak tenang dan takut setiap waktu.
Dewa pohon pun berkata pada gajah itu, “Tenanglah, jangan takut. Ketahuilah bahwa kondisi alam memang tidak kekal. Makhluk bernyawa mengalami fase lahir, tua, sakit, dan mati. Segala sesuatu di bumi ini mengalami fase timbul, berlangsung, berubah, dan lenyap. Pembentukan, keberlangsungan, kerusakan, kehancuran adalah sesuatu yang alami. Gunung bisa mengalami longsor dan bumi pun bisa diguncang gempa dan retak. Makhluk bernyawa mengalami lahir, tua, sakit, dan mati adalah hal yang alami. Apakah yang perlu ditakutkan?” Mendengar kata-kata dewa pohon, gajah itu terlihat lebih tenang.
Bercerita sampai di sini, Buddha berkata kepada para anggota Sangha, “Wahai para bhiksu, tahukah kalian bahwa dewa pohon itu adalah kehidupan lampau-Ku, sedangkan gajah itu adalah kehidupan lampau bhiksu muda tersebut?”
Kehidupan memang tidak kekal. Alam beserta segala isinya, termasuk manusia, tidak ada yang kekal. Dalam melatih diri, kita harus memahami kebenaran tentang lahir dan mati ini. Nilai kehidupan bukan bergantung pada panjang atau pendeknya usia kehidupan. Nilai terpenting dalam hidup ialah memiliki tujuan hidup untuk membawa manfaat bagi orang banyak dan menghapus noda batin.
Kita juga harus belajar untuk membebaskan hati kita dari rasa takut dan menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Tentu saja, yang terpenting, kita harus membangkitkan kebijaksanaan hakiki kita. Untuk itu, kita harus terlebih dahulu menghapus noda batin, menghindari pertikaian, mengesampingkan kepentingan pribadi, serta membina cinta kasih dan welas asih di dalam hati.
Dengan adanya cinta kasih dan welas asih, saat menghadapi semua orang dan hal, kita tidak akan bersikap perhitungan. Dengan demikian, kita akan terbebas dari noda batin.