Pada zaman Buddha masih hidup, ada seorang pelindung Dharma  bernama Sudatta. Dia bergaul dengan luas tanpa membeda-bedakan kaya dan miskin.

Ada seorang temannya yang status sosialnya sangat rendah dan pada zaman itu disebut kaum paria. Namun, Sudatta sangat percaya padanya. Dia mempercayakan kekayaannya kepada temannya tersebut. Kerabat dan teman-teman sekastanya merasa sangat heran mengapa Sudatta yang begitu dihormati oleh raja dan orang-orang dari berbagai kasta mau bergaul dengan kaum paria yang status sosialnya begitu rendah, bahkan mempercayakan kekayaannya kepada orang tersebut.

Semua orang tidak mengerti. Karena itu, mereka mencoba menasihati Sudatta untuk memilih dalam berteman dan berharap dia dapat menjauhi orang-orang yang status sosialnya rendah. Ini membuat Sudatta merasa sangat risau.

Suatu hari, saat Sudatta pergi ke wihara, Buddha melihat bahwa ia sepertinya memiliki beban pikiran. Buddha lalu berkata padanya, “Sepertinya ada masalah yang merisaukanmu.” Sudatta pun menceritakan kerisauan hatinya kepada Buddha.

Mendengar cerita Sudatta, Buddha berkata, “Sudatta, engkau benar. Kita hendaknya tidak membedakan kaya dan miskin karena semua manusia adalah setara. Engkau bisa memandang semua orang secara setara dan menghormati mereka, ini merupakan keluhuranmu. Sesungguhnya, engkau dan temanmu ini bergaul tanpa membedakan kaya dan miskin bukan hanya di kehidupan sekarang. Di kehidupan lampau juga terjadi hal yang sama.” Buddha lalu mulai menceritakan jalinan jodoh mereka di kehidupan lampau.

Ada seorang raja yang menanam banyak tanaman di sekeliling istana. Di antara tanaman itu, terdapat rumput yang sangat subur. Rumput itu bergoyang dengan lembut saat ditiup angin dan wanginya sangat harum. Di antara tanaman perdu, terdapat sebatang pohon yang sangat rindang dan indah. Batang pohonnya sangat tegak dan besar. Orang-orang menyebutnya “Raja Pohon”.

Suatu hari, seorang pelayan melaporkan kepada raja tentang aula berpilar tunggal di dalam istana. Berhubung lama tidak diperbaiki, pilarnya sudah goyah. Jika tidak segera diperbaiki, aula tersebut bisa roboh. Setelah mendengarnya, raja merasa bahwa aula berpilar tunggal merupakan salah satu lanskap di istana yang tidak boleh dibiarkan roboh. Karena itu, seorang tukang kayu segera disuruh untuk merenovasi aula tersebut.

Tukang kayu mencari kemana-mana untuk menemukan kayu berkualitas tinggi sebagai pengganti pilar tersebut. Dia mencari di banyak hutan, tetapi tak menemukan pohon yang memuaskan. Di sekitar istana, hanya pohon tersebut yang paling cocok. Tukang kayu melaporkan kepada raja, “Untuk mengganti pilar di aula berpilar tunggal, kita harus menggunakan kayu berkualitas, yaitu pohon kesayangan Yang Mulia di istana yang disebut Raja Pohon. Bagaimana, apakah kami boleh menebangnya?”

Raja berpikir, “Jika roboh, aula berpilar tunggal akan menjadi setumpuk puing.” Karena itu, raja memerintahkan untuk menebangnya, lalu menanam pohon baru. Tukang kayu sangat gembira mendengarnya. Dia segera menyiapkan buah-buahan untuk bersembahyang di depan pohon itu dan berkata bahwa dalam beberapa hari, dia akan menebangnya. Setelah itu, dia pun pulang.Mendengar bahwa pohonnya akan ditebang, Dewi Pohon tersebut mulai menangis. Banyak Dewi Pohon lain yang mendatanginya. Setelah mengetahui masalahnya, Dewi Pohon lain pun tidak berdaya. Mereka hanya bisa menangis bersamanya.

Dewa Rumput berkata, “Pasti ada solusinya.”Para Dewi Pohon berkata, “Kami semua tidak punya solusi. Apakah engkau punya solusi?”

Dewa rumput berkata, “Baiklah, aku akan memikirkan solusinya.”

Malam itu, Dewa Rumput terus berpikir. Akhirnya, Dewa Rumput mendapatkan sebuah ide. Sepanjang malam, dia mengumpulkan banyak serangga. Serangga-serangga itu membawa tanah dan menempelkannya pada batang pohon sehingga terlihat seperti terserang hama atau lapuk.

Keesokan paginya, tukang kayu datang dengan sekelompok pekerja. Ada pekerja yang berteriak, “Aduh, pohon ini sudah lapuk.”

Tukang kayu memeriksa pohon ini dari berbagai sisi, lalu berkata, “Pohon ini sudah tidak bisa digunakan.”

Mereka pun batal menebang pohon ini. Saat itu, Dewi Pohon sangat gembira. Dengan penuh rasa syukur, ia berkata, “Engkau memang teman yang baik. Biasanya, melihat aku berteman denganmu, para Dewi Pohon menasihatiku untuk tidak berteman denganmu. Namun, saat aku mengalami kesulitan, engkau yang dianggap remeh inilah yang ternyata bisa membantuku.”

Bercerita sampai di sini, Buddha kemudian berkata kepada Sudatta, “Sudatta, apakah engkau tahu bahwa Dewa Rumput itu adalah kehidupan lampau temanmu ini dan Dewi Pohon itu adalah kehidupan lampaumu? Kalian memiliki jalinan jodoh baik. Engkau bisa mendapat bantuan teman baik dari kehidupan ke kehidupan karena jodoh baik yang engkau himpun di kehidupan lampau. Dalam berteman, jangan meremehkan status sosial orang lain. Kita harus membedakan benar dan salah, tetapi jangan membedakan kaya dan miskin. Jadi, kalian harus menghargai jalinan jodoh kalian.”

Saudara sekalian, kisah yang diceritakan oleh Buddha ini juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Dalam berteman, kita jangan membeda-bedakan dari status sosialnya. Sesungguhnya, semua orang adalah setara. Jadi, kita harus menjalin jodoh baik secara luas. Selain menjadi teman baik di kehidupan ini, kita juga berharap di kehidupan mendatang, kita bisa saling membantu dan mendukung.