Saya masih ingat pascatsunami Samudra Hindia 2004, kita mengimbau orang-orang di seluruh dunia untuk bersumbangsih dan mencurahkan cinta kasih. Sebelum itu, insan Tzu Chi terus menginspirasi yang kaya untuk menolong yang miskin. Namun, pascatsunami, kita mulai menginspirasi yang miskin untuk membangkitkan kekayaan batin.
Saat menolong orang kurang mampu, kita juga membimbing mereka untuk bersumbangsih agar mereka bisa menjadi orang yang kaya batinnya. Hanya menerima bantuan dari orang lain bukanlah solusi. Karena itu, kita berharap mereka juga dapat menabur benih kebajikan dan menciptakan berkah. Mereka dapat menciptakan berkah dengan menabur benih kebajikan. Jadi, kita harus menolong orang kurang mampu dan menginspirasi mereka untuk membangkitkan kekayaan batin.
Dengan membangkitkan kekayaan batin, mereka juga dapat menolong sesama. Contohnya, dari 500 dolar NT yang kita bagikan kepada setiap orang per bulan, mereka dapat menyumbangkan 5 dolar NT untuk menolong sesama. Meski nilainya sangat kecil, tetapi donasi yang terhimpun dapat membawa manfaat bagi banyak orang. Jadi, dengan sedikit uang, kita dapat menjalin banyak jodoh baik dengan makhluk yang menderita. Inilah yang disebut menciptakan berkah.
Sebelumnya, kita terus menginspirasi yang kaya untuk menolong yang miskin dengan berkata, “Kalian yang berada hendaknya bersumbangsih bagi orang yang membutuhkan.” Kini, kita berkata kepada yang miskin, “Meski kalian kekurangan materi, tetapi dengan memberi sedikit, kalian juga dapat menolong sesama.”
Pada zaman Buddha, Buddha berkata kepada murid-murid-Nya, “Saat mengumpulkan makanan, kalian tidak boleh membedakan kaya dan miskin. Ke mana pun kalian pergi, kalian bisa mengunjungi tujuh rumah berturut-turut. Jika makanan yang diberikan satu keluarga sudah memenuhi mangkuk kalian, kalian tidak perlu lagi mengunjungi rumah berikutnya. Jika makanan yang diperoleh belum cukup, kalian boleh mengunjungi rumah berikutnya. Jika masih tidak cukup, kalian boleh mengunjungi rumah berikutnya lagi. Jika telah mengunjungi tujuh rumah, tetapi makanan yang diperoleh tetap belum cukup, kalian hendaknya puas dengan apa yang ada dan tidak boleh mengunjungi rumah lain lagi. Ini bergantung pada berkah kalian di hari itu. Janganlah kalian memilih rumah orang yang lebih kaya karena merasa bahwa persembahan mereka lebih baik. Tidak boleh demikian. Kalian harus memandang semua orang secara setara. Ke mana pun kalian pergi, kumpulkanlah makanan dari orang-orang di sana.”
Buddha berharap semua orang dapat menjalin jodoh baik dan menciptakan berkah dengan memberikan persembahan kepada anggota Sangha. Seorang murid Buddha berkata, “Bagaimana jika ada orang yang sangat miskin dan tidak mampu berdana?” Buddha lalu menatap Kasyapa. Kasyapa sepertinya memahami maksud Buddha. Kasyapa lalu membawa mangkuknya dan berjalan keluar. Di luar, Kasyapa bertemu seorang nenek miskin. Dia lalu menghampiri nenek itu dan berkata, “Bisakah engkau memberi persembahan padaku?” Nenek itu berkata, “Aku tidak memiliki apa-apa. Aku juga merasa lapar.”
Kasyapa berkata padanya, “Engkau masih mengenakan pakaian.” Nenek itu berkata, “Tiada pakaian lain yang bisa aku kenakan lagi. Hanya pakaian inilah yang aku punya.” Kasyapa berkata, “Di pakaianmu, ada secarik kain yang hampir sobek. Engkau dapat berdana dengannya.” Namun, nenek itu merasa bahwa itu hanyalah secarik kain. Bagaimana bisa dia mempersembahkannya? Dia merasa tidak enak hati.
Kasyapa berkata, “Asalkan engkau memberikannya dengan sukacita, aku pun akan menerimanya dengan sukacita.” Nenek itu sangat berharap dapat memberi persembahan. Karena itu, dia membungkukkan badan untuk menyobek secarik kain dari pakaiannya dan mempersembahkannya kepada Kasyapa dengan penuh hormat. Setelah menerima persembahan darinya, Kasyapa memberkatinya dengan penuh hormat, lalu berjalan pulang.
Kasyapa berkata kepada Buddha, “Hari ini, aku telah menerima persembahan yang membuatku sangat puas.” Dia mempersembahkan mangkuknya kepada Buddha. Buddha melihat bahwa yang ada di dalam mangkuknya bukanlah makanan, melainkan secarik kain. Buddha dengan sukacita mengambil kain tersebut, menunjukkannya kepada semua orang, dan berkata, “Lihatlah, kain ini bukan hanya dipersembahkan kepada Kasyapa, melainkan kepada seluruh Sangha.”
Nenek miskin itu tidak memiliki apa-apa, tetapi dia bisa memberi persembahan dengan secarik kain dari satu-satunya pakaian yang dimilikinya. Pahalanya sangatlah besar. Jadi, ada sebuah kisah seperti ini. Kain ini bukan hanya dipersembahkan kepada Kasyapa, melainkan kepada seluruh Sangha.
Di bagian belakang jubah yang dikenakan para monastik, terdapat sepotong kain berbentuk persegi. Katanya, ini karena Buddha berpesan kepada seluruh murid-Nya untuk menjahit sepotong kain seperti itu di pakaian mereka. Jadi, semua jubah Sangha memiliki sepotong kain seperti ini di bagian belakangnya. Ini untuk mengingatkan orang-orang tentang ketulusan hati nenek miskin tersebut, cinta kasih dan welas asih Buddha, dan semangat Kasyapa dalam mewariskan cinta kasih ini.
Dalam mempelajari ajaran Buddha, kita pun hendaknya demikian. Kita semua merupakan murid Buddha. Karena itu, kita harus menerima ajaran Buddha. Air Dharma telah menyucikan hati kita sehingga kini, hati kita terbebas dari ketamakan dan noda batin. Kita harus memiliki hati yang sangat murni.
Saya sering berkata bahwa ke dalam, insan Tzu Chi harus membina keyakinan, kesungguhan, ketulusan, dan kebenaran. Ini adalah empat pelatihan ke dalam diri. Ke luar, kita harus mempraktikkan cinta kasih, welas asih, sukacita, dan keseimbangan batin. Ini adalah praktik ke luar. Ini adalah praktik ke luar. Jadi, dengan adanya ketulusan di dalam hati, hati kita akan sangat murni. Dengan adanya cinta kasih, welas asih, sukacita, dan keseimbangan batin, hati kita akan sangat lapang.
Hati yang lapang dapat merangkul seluruh alam semesta dan tidak tega melihat makhluk lain menderita. Secara alami, kita pun dapat bersumbangsih dengan cinta kasih agung yang tidak membeda-bedakan dan welas asih agung yang merasa sepenanggungan. Kita tidak memandang apakah seseorang itu keluarga kita atau orang yang tidak kita kenal.
Sesungguhnya, hidup di kolong langit dan di atas bumi yang sama, kita semua adalah satu kesatuan. Jika bisa memiliki kelapangan hati seperti ini, barulah kita bisa menjadi Bodhisatwa dunia dan mempraktikkan Dharma dalam keseharian. Kita semua merupakan Bodhisatwa dunia yang mempraktikkan ajaran Buddha setiap hari. Tujuan mazhab Tzu Chi ialah terjun ke tengah masyarakat untuk bersumbangsih dengan cinta kasih yang tulus. Inilah pintu Dharma Tzu Chi.