Setiap hari, saya berpikir tentang betapa sulitnya bagi orang-orang untuk mengubah pola pikir mereka. Buddha membabarkan Dharma di dunia ini demi menghapus noda batin semua makhluk dan membimbing yang berpikiran keliru kembali pada pikiran benar. Ini terdengar sangat mudah.

Bukankah menghapus noda batin dan membimbing yang berpikiran keliru kembali pada pikiran benar terdengar sangat sederhana? Namun, Buddha menghabiskan 49 tahun untuk membimbing semua makhluk dengan sabar.

Sesungguhnya, berapa banyak makhluk hidup yang dapat memahami hati Buddha, menerima ajaran Buddha, dan memperbaiki diri sendiri? Ajaran Buddha bertujuan untuk menyucikan hati kita. Namun, setelah tersucikan, hati kita kembali tercemar dengan cepat. Ini sungguh membuat orang tidak berdaya.

Sebagai makhluk awam, kita sering melupakan sesuatu. Buddha bagaikan seorang pembersih. Beliau menyikat dan membilas yang kotor. Jika belum bersih, Beliau akan kembali menyikat dan membilasnya dengan air. Jika masih belum bersih, Beliau akan mengulanginya lagi. Jadi, untuk satu noda yang sama, Beliau membersihkannya berulang kali dengan air.

Buddha mengajari kita untuk kembali pada sifat hakiki kita. Apa sifat hakiki kita? Sifat hakiki manusia adalah bajik. Namun, membimbing orang-orang untuk kembali pada sifat hakiki yang bajik ini sangatlah sulit.

Setiap hari, kalian melihat warga lansia di RS. Jika kita bertanya apakah mereka punya anak, mereka akan menjawab bahwa mereka punya. Apakah anak mereka menjenguk mereka? Tidak. Karena itu, mereka sangat murung.

Kata orang, berbakti pada orang tua adalah akar dari segala kebajikan. Jika seseorang melakukan kesalahan, belum tentu orang lain mengetahuinya. Namun, jika seseorang durhaka pada orang tua, orang-orang akan mengetahuinya.

Suatu hari, di jalan, Buddha melihat seorang pria tua yang terlihat lemah dan bungkuk. Dia bertumpu pada sebatang tongkat dan kesulitan untuk melangkah. Dengan sebuah mangkuk, dia mengemis ke mana-mana.

Saat melihatnya, Buddha bertanya padanya, “Engkau sudah lanjut usia, mengapa tidak berdiam di rumah saja? Apakah engkau tidak memiliki putra?”

Dia berkata, “Aku memiliki seorang putra.”

Buddha berkata, “Jika demikian, mengapa engkau masih mengemis di jalan meski kesulitan untuk berjalan?”

Dia berkata, “Aku memiliki seorang putra, juga memiliki rumah. Aku memiliki semua itu, tetapi putraku sangat durhaka. Setelah menikah, dia pun mengusir diriku yang sudah tua ini.”

Mendengar ceritanya, Buddha sangat kasihan padanya. Karena itu, Beliau berkata, “Ikuti Aku lafalkan syair ini. Lafalkanlah syair ini setiap hari, tidak peduli di mana engkau mengemis.”

Dia berkata, “Apa isinya?”

Buddha berkata, “Dengarkanlah dan hafalkan baik-baik. Bersukacita mendapatkan seorang anak dan mengumpulkan harta deminya. Setelah anak menikah, aku pun meninggalkan rumah demi mereka.” Artinya, pria tua ini diusir putranya sehingga harus meninggalkan rumahnya.

“Aku memberikan banyak harta padanya, tetapi dia malah memperlakukanku dengan buruk.” Pria tua ini bisa memperoleh kesuksesan karena sepanjang hidupnya, dia bersungguh hati dalam membina rumah tangganya. Dia memiliki tanah dan rumah. Dia juga membantu putranya menikah. Saat putranya menikah, dia sangat gembira dan memberi putranya banyak harta, termasuk tanah. Namun, setelah dia berusia lanjut, putranya malah durhaka padanya dan mengusirnya dari rumah. Putranya sudah tidak menyayanginya.


“Bagai memiliki hati Raksasa, anakku mengabaikan orang tuanya ini.”
 Putranya memiliki wujud manusia, tetapi berhati Raksasa. Dia mengabaikan ayahnya yang sudah lanjut usia dan paling berharga serta mengusirnya.

“Anakku yang muda membuat ayahnya yang tua ini mengemis dari rumah ke rumah.” Putranya masih sangat muda, tetapi sang ayah yang sudah lanjut usia harus mengemis untuk bertahan hidup.

“Tongkat ini lebih bisa diandalkan.” Tongkatnya malah lebih berguna dari putranya.

“Tak seperti anakku yang meninggalkanku.” Tongkat itu tidak seperti putranya yang menjauh darinya.


“Ia melindungiku dari kerbau yang galak dan tempat yang berbahaya.”
 Tongkat itu dapat digunakan untuk mengusir kerbau dan anjing yang galak serta melindunginya di tempat yang berbahaya.

“Ia dapat melindungiku dari anjing galak dan menjadi tumpuanku untuk berjalan di kegelapan.” Tongkat itu dapat menjadi tumpuannya untuk berjalan di kegelapan.

Demikianlah yang pria tua ini lafalkan saat mengemis di jalan dan seluruh desa membicarakan hal ini.

Saat mendengar hal ini, putranya pun merasa malu dan berintrospeksi diri karena telah melakukan hal yang melanggar hati nurani. Jadi, dia segera menjemput ayahnya.

Setelah tiba di rumah, dia segera membantu ayahnya mandi, bersalin, dan sebagainya. Dia berbakti pada ayahnya untuk memperbaiki kesalahannya selama ini. Dia dibesarkan dari kecil oleh ayahnya, tetapi setelah menikah, dia tiba-tiba melakukan hal yang melanggar hati nuraninya dan durhaka pada ayahnya.

Namun, setelah orang-orang mengetahui hal ini dan terus membicarakannya, dia pun berintrospeksi diri. Jadi, dia masih memiliki rasa malu dan bisa memperbaiki diri dengan menjemput ayahnya pulang dan berbakti pada ayahnya.

Jika berbuat salah, kita harus memperbaikinya. Jika tidak, kita akan selalu melakukan hal yang melanggar hati nurani kita. Hukuman terbesar adalah penyesalan yang menimbulkan kerisauan bagi diri sendiri sekaligus orang lain. Mengapa kita harus membiarkan itu terjadi? Karena itulah, Buddha mengajari kita untuk membuka satu per satu simpul batin kita.

Berbuat salah tidak mengkhawatirkan, yang mengkhawatirkan ialah enggan berubah. Karena itulah, orang-orang berkata kita harus bertindak sesuai hati nurani kita. Benar, kita harus membangkitkan hati nurani.

Jika seseorang menutupi hati nuraninya dan mengira bahwa selama orang lain tidak tahu, dia dapat mengadu domba orang lain atau diam-diam melakukan hal buruk lainnya, berarti dia tidak tahu malu. Berhubung tidak merasa malu, maka tidak bisa bertobat. Jika kita enggan mengakui kesalahan karena mengira bahwa tidak ada yang mendengar atau melihat, kita akan membangkitkan noda batin.

Singkat kata, jangan mengira bahwa tidak apa-apa berbuat salah asalkan tidak ada yang melihatnya. Saat ada orang yang melihatnya, janganlah berpikir, “Saya memang seperti ini.” Ini sungguh akan merusak pelatihan diri dan kebajikan kita.