Zaman kita hidup sekarang ini berjarak lebih dari 2.500 tahun dari zaman Buddha. Namun, kita sangat beruntung dapat terlahir di dunia ini, terlebih lagi berada di lingkungan yang dapat saling mendukung dengan tekad yang sama. Di sini kita meyakini dan menyimak ajaran Buddha. Meski tidak pernah bertemu langsung dengan Buddha, kita berkesempatan untuk mendengar ajaran Buddha.
Setelah mendengar ajaran Buddha, kita harus memuji dan bersukacita atas kesempatan yang istimewa ini. Ini adalah kesempatan istimewa dan penuh kehormatan. Jadi, kita harus bersukacita dan meyakininya karena kita telah berjodoh untuk mendengar Dharma. Setelah mendengarnya, kita harus menyerapnya ke dalam hati. Dengan menyerapnya ke dalam hati, berarti kita telah memperoleh Dharma ini.
Tanpa menyerapnya ke dalam hati, Dharma ini hanya akan terdengar sambil lalu. Dharma ini tiada hubungan lagi dengan kita. Jika kita dapat menyerapnya ke dalam hati serta mempraktikkannya secara nyata, berarti kita telah menerapkan Dharma dalam keseharian. Dalam berbagai hal, kita harus berpikiran terbuka dan bersikap pengertian.
Jangan bersikap penuh perhitungan. Kehidupan manusia begitu singkat. Untuk apa bersikap perhitungan? Kehidupan tidaklah kekal.
Saat kita bersikap perhitungan, apakah kita benar-benar mendapat yang kita inginkan? Menang atau kalah, kita tidak tahu. Untuk apa kita berulang kali membiarkan diri kita terbelenggu oleh noda dan kegelapan batin dari kehidupan ke kehidupan? Mengapa kita harus menjalani kehidupan seperti ini? Menderita sekali. Kita memiliki ajaran Buddha yang membimbing kita, membangkitkan kebijaksanaan kita, dan menunjukkan arah kehidupan ini agar kita dapat berpikiran terbuka dan berjalan di jalan yang lapang.
Di zaman Buddha ada seorang bhiksu yang sangat rajin. Dia sering melakukan meditasi berjalan atau meditasi duduk di dalam hutan. Dia senantiasa mengulang ajaran yang Buddha babarkan hari itu.
Seekor burung hinggap di atas pohon. Di bawah pohon itu terdapat sebuah batu tempat bhiksu tersebut duduk. Bhiksu ini terus mengulang ajaran Buddha. Burung itu pun mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan penuh rasa sukacita dalam Dharma hingga lupa akan kondisi sekelilingnya.
Lalu, datanglah seorang pemburu. Melihat di atas pohon ada seekor burung, dia membidik dari belakang. Tanpa menyadari kehadiran si pemburu, burung ini tertembak jatuh dan mati.
Namun, ia tidak meronta ataupun menyimpan rasa benci. Ia mati membawa rasa sukacita dalam Dharma. Dengan perasaan sukacita dalam Dharma ini, ia seketika terlahir di alam surga.
Di alam surga, wujudnya sangat agung. Ia menikmati berbagai kebahagiaan surgawi. Ia menenangkan diri dan merenung, “Pahala apa yang membuatku terlahir di surga?” Ia mengingat-ingat, “Ya, aku tengah mendengarkan Dharma hingga dipenuhi rasa sukacita dalam Dharma hingga melupakan kondisi sekitar. Wah, aku sangat bersyukur. Aku berterima kasih atas ketekunan bhiksu itu yang terus mengulang dan melantunkan ajaran Buddha sehingga aku bisa mendengarkan dengan sukacita dan terlahir di alam surga. Aku harus kembali dan menyampaikan rasa terima kasihku kepadanya.”
Jadi, ia menjelma dan muncul di tempat bhiksu itu melatih diri serta bersujud di hadapan bhiksu tersebut. Ia berkata kepada bhiksu ini, “Terima kasih.”
Tiba-tiba kedatangan seseorang yang sangat agung di hadapannya dan terus bersujud serta mengucapkan terima kasih, bhiksu ini tentu bertanya-tanya apa sebabnya. Beliau bertanya, “Aku tidak mengenal Anda. Untuk apa Anda berterima kasih kepadaku?”
Makhluk surgawi ini menceritakan bahwa ia sebelumnya adalah seekor burung yang mendengarkan beliau mengulang ajaran Buddha dan merasakan kebahagiaan dalam Dharma. Kini ia terlahir sebagai makhluk surgawi. Ia menceritakan semuanya kepada bhiksu tersebut.
Bhiksu ini merasa, “Benarkah begitu luar biasa?” Buddha lalu menghampiri bhiksu tersebut. Buddha berkata, “Benar, inilah kesungguhan dan keyakinan mendalam terhadap Dharma.”
Cerita ini mengajarkan kepada kita untuk meyakini dan menerima Dharma. Kita harus meyakini ajaran Buddha yang tiada banding dan manfaatnya dapat kita bawa ke kehidupan mendatang. Setelah mendengar Dharma, kita mempraktikkannya secara nyata. Jika kita mempraktikkannya secara nyata, berarti kita mengembangkan pahala.
Kita melatih ke dalam dan ke luar diri. Kita menyerap ajaran Buddha ke dalam hati dan menerapkannya dalam keseharian saat menghadapi orang dan masalah. Seperti burung tadi, ia mendengarkan Dharma dan benar-benar menghayatinya sehingga lupa akan kondisi sekitar. Saat ia ditembak oleh pemburu, ia tidak memiliki pikiran apa pun dalam batinnya, kecuali rasa sukacita dalam Dharma.
Dari sini kita dapat memahami bahwa hewan saja bisa mendengar Dharma dengan penuh kesungguhan dan keyakinan hingga merasakan perasaan sukacita. Bayangkan, sebagai manusia, tentu kita juga harus bersukacita di dalam Dharma.
Kita juga harus mendorong orang-orang untuk mendengar Dharma. Kita juga harus senantiasa menerapkannya dalam kehidupan kita. Setiap kali bertemu orang dan hal, kita dapat membabarkan Dharma.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah