Saya sering berkata bahwa jalan pelatihan diri penuh rintangan dan sepi tanpa seorang pun sehingga sangat menakutkan. Sungguh, dalam proses melatih diri, dengan bersungguh hati merenungkan kehidupan kita, kita akan menyadari bahwa kita terlahir di dunia ini di luar kendali kita dan tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginan kita. Ada banyak hal yang berada di luar kendali kita.
Berhubung telah memahami hal ini, kita pun memilih untuk melatih diri. Namun, beberapa waktu kemudian, tekad pelatihan kita perlahan-lahan mundur dan kita tidak dapat mempertahankan ketekunan dan semangat kita seperti sediakala. Awalnya, kita sangat antusias untuk berjuang demi ajaran Buddha dan semua makhluk. Kita bertekad untuk membimbing diri sendiri sekaligus orang lain. Namun, tekad ini perlahan-lahan mundur sehingga kita hanya ingin membimbing diri sendiri dan tidak memedulikan orang lain.
Berjuang demi semua makhluk sungguh melelahkan. Berinteraksi dengan manusia yang beragam sungguh sangat kompleks dan melelahkan. Jadi, lebih baik membimbing diri sendiri saja. Timbul pemikiran seperti ini, berarti kita telah lengah atau malas. Begitu kemalasan ini terbangkitkan, tekad awal kita pun goyah. Di manakah tekad awal kita?
Suatu ketika, ada seorang pria yang menghadap Buddha dan dengan tulus memohon kepada Buddha, “Aku ingin meninggalkan keduniawian.” Buddha bertanya, “Mengapa engkau ingin meninggalkan keduniawian?” Pria itu berkata, “Demi istri dan anak, aku bersusah payah seumur hidup. Kehidupan berumah tangga mendatangkan banyak kerisauan. Mohon izinkanlah aku meninggalkan keduniawian.”
Buddha bertanya, “Apakah engkau sudah membulatkan tekad dan bisa menjaga tekadmu?” Pria itu menjamin bahwa dia telah membulatkan tekad. Karena itu, Buddha pun mencukur rambutnya.
Beberapa waktu kemudian, dia berkata kepada Buddha bahwa dia hendak mencari sebuah gua untuk melatih diri di sana. Buddha pun menyetujuinya. Dia menemukan sebuah gua dan bersungguh-sungguh merenungkan ajaran Buddha.
Tiga tahun kemudian, dia berpikir, “Setiap hari, aku menjalani hidup seperti ini di sini, tetapi tidak memperoleh pencapaian apa pun. Lebih baik aku pulang ke rumah untuk menikmati kebahagiaan kekeluargaan.” Dia lalu meninggalkan gua dan berjalan ke kaki gunung. Buddha yang mengetahui hal ini pun meninggalkan Puncak Burung Nasar dan berjalan menuju gunung tempat bhiksu ini berada.
Saat melihat bhiksu ini dari kejauhan, Buddha menggunakan kekuatan batin-Nya dan menjelma menjadi seorang sramana. Saat bertemu, sramana ini berkata kepada bhiksu yang turun dari gunung, “Aku ingin naik gunung, tetapi sampai di sini, aku sudah sangat lelah. Entah berapa jauh lagi perjalanan yang harus ditempuh. Bagaimana jika kita berbincang-bincang sejenak?”
Saat mereka berbincang-bincang, tiba-tiba seekor monyet tua turun dari gunung ke dataran rendah. Sramana lalu berkata kepada bhiksu itu, “Aneh sekali. Monyet ini semula tinggal di pegunungan. Mengapa ia bisa datang ke dataran rendah?”
Bhiksu itu berkata, “Aku telah mengamati kehidupan monyet tua ini. Ia memiliki sekawanan pasangan dan anak. Setiap hari, ia bersusah payah memetik buah dan mengambil air untuk keluarganya. Ia mungkin kelelahan sehingga datang ke sini untuk beristirahat.” Tidak lama kemudian, monyet itu pun kembali ke pegunungan. Ia mungkin masih memikirkan keluarganya sehingga kembali ke pegunungan.
Kemudian, sramana ini mulai berbicara. Bhiksu itu mendapati bahwa sramana ini berbicara dengan suara yang sangat lembut. Setelah melihat dengan saksama, dia juga mendapati bahwa tubuh sramana ini memancarkan sinar cemerlang. Menyadari bahwa sramana tersebut adalah jelmaan Buddha, dia pun bertobat di hadapan Buddha.
Buddha berkata, “Pikiranmu bagaikan aliran sungai. Bagaikan air sungai yang terus mengalir tanpa kembali, tekad awalmu sudah tidak ada.Ketamakan dan nafsu keinginan bagaikan sulur tanaman yang menjerat. Engkau ingin kembali ke rumahmu untuk menikmati kebahagiaan kekeluargaan karena nafsu keinginanmu belum lenyap. Engkau hendaknya mengamati ketidakkekalan di sekitarmu untuk mengembangkan kebijaksanaan, baru bisa memutus akar nafsu keinginan.”
Mendengar ucapan Buddha, bhiksu itu sangat bersyukur kepada Buddha yang menunjukkan arah padanya di tengah jalan serta mengakui kesalahannya di hadapan Buddha. Buddha berkata, “Kembalilah ke dalam Sangha untuk melatih diri.” Dia pun kembali ke dalam Sangha bersama Buddha.
Sebagai makhluk awam, pikiran kita selalu bergejolak. Jika pikiran tidak dijaga dengan baik, kita akan menjadi lengah dan tekad awal kita akan goyah. Saat noda batin merintangi pelatihan diri kita, kita mungkin akan mundur di tengah jalan. Ini adalah sepenggal kisah dari Sutra Buddha. Jadi, kita harus bersungguh hati.
Sangat mudah untuk membangkitkan tekad dan tekad yang kita bangkitkan adalah tekad agung untuk mencapai kebuddhaan. Namun, menghadapi berbagai masalah dan ujian, hanya dalam waktu beberapa tahun, kita mungkin sudah lengah dan tekad kita pun mundur.
Dalam meneladan Buddha, kita harus sangat bersungguh hati. Meski fisik dan batin kita sangat lelah setiap hari, hendaklah kita tetap melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan. Demikianlah kita berpegang pada tekad awal kita untuk berjuang demi ajaran Buddha dan semua makhluk. Tiada hari yang tidak melelahkan. Meski demikian, kita tetap harus terjun ke masyarakat dan melangkah maju setiap hari.
Seiring berlalunya hari demi hari, usia kehidupan kita juga terus berkurang. Semoga kita dapat menjalin jodoh baik dengan semua makhluk dan menciptakan berkah. Inilah tekad yang harus kita jalankan dalam hidup ini. Jika dapat senantiasa berpegang pada tekad awal, kita pasti bisa mencapai kebuddhaan. Jadi, kita harus lebih bersungguh hati setiap waktu.