Kita harus senantiasa menjaga langkah kita dan maju selangkah demi selangkah dengan mantap. Untuk menjaga setiap langkah di jalan yang benar, kita harus menjaga pikiran kita. Menjaga pikiran berarti menjaga perilaku kita yang mencakup perbuatan, ucapan, dan pikiran.

Kita harus menjaga perbuatan kita. Janganlah melakukan perbuatan buruk. Sesungguhnya, sebagian besar perbuatan kita berawal dari pikiran kita. Karena itu, saat pikiran kita menyimpang, perbuatan kita juga mudah menyimpang. Jika bisa menjaga pikiran dengan baik, barulah perbuatan kita akan benar. Jika bisa menjaga pikiran dengan baik, kita bisa menjaga keselarasan dalam bertutur kata serta menghadapi semua orang dan hal. Jadi, yang terpenting, kita harus menjaga pikiran dengan baik.

Pikiran yang menentukan kita akan melakukan perbuatan yang penuh kebijaksanaan atau perbuatan yang penuh kebodohan. Karena itulah, saya sering menekankan untuk menjaga pikiran dengan baik. Jika mengorbankan moralitas demi keuntungan, kehidupan seperti ini sungguh menyedihkan.

Hidup di dunia ini, apakah kita harus mengorbankan karakter dan harga diri demi memperoleh keuntungan?

Ada seorang janda yang hidup kekurangan. Dia memiliki seorang putra yang sangat patuh. Saat sang putra berusia 7 atau 8 tahun, ibunya tiba-tiba sakit parah. Berhubung tidak memiliki uang, ibunya tidak bisa berobat. Dia sangat panik. Dari siapa dia bisa meminjam uang? Satu-satunya kerabatnya adalah pamannya.
 

Berhubung pamannya berada, dia pun mencoba meminjam uang dari pamannya. Dia pergi ke rumah pamannya dengan berani.

Melihatnya, pamannya berkata, “Masuklah. Ada apa?”

Dia berkata, “Saya ingin meminjam uang untuk pengobatan ibu saya.”
 

Mendengar bahwa dia ingin meminjam uang, sikap pamannya langsung berubah. Pamannya berkata, “Kamu masih begitu kecil, bagaimana boleh sembarangan meminjam uang?”

Anak itu berkata, “Jika saya tidak meminjam uang, ibu saya akan mati. Jadi, saya terpaksa meminjam uang.”

Pamannya berkata, “Saya tidak mungkin meminjamkan uang padamu.”
 

Dia terus memohon kepada pamannya hingga akhirnya pamannya dengan tidak rela berkata, “Baiklah, tetapi hanya untuk sekali ini.”

Pamannya hanya meminjamkan sedikit uang. Meski demikian, itu sudah membuatnya tenang. Dia juga berterima kasih kepada pamannya.
 

Setelah mendapat pinjaman, dia segera memberi tahu dokter tentang kondisi ibunya. Dokter memberinya obat untuk diminum oleh ibunya. Uang yang dipinjamnya hanya cukup untuk biaya obat-obat itu.

Setelah meminum obat, kesehatan ibunya membaik. Karena itu, dia merasa bahwa ibunya harus terus meminum obat agar bisa sembuh total. Jadi, dia kembali menemui pamannya untuk meminjam uang.
 

Dia berlutut di luar untuk memohon sambil menangis, tetapi pamannya menutup pintu rumah. Pamannya tidak mengizinkannya masuk dan enggan bertemu dengannya.

Waktu terus berlalu dan matahari hampir terbenam. Berhubung mengkhawatirkan ibunya, dia pun pulang ke rumah.

Dia berjalan dengan kepala tertunduk. Tiba-tiba, dia menabrak seseorang. Dia mendongakkan kepala dan melihat seorang kakek.
 

Kakek itu mengulurkan tangan untuk mengelus kepalanya dan berkata, “Mengapa kamu menangis sedih?”

Anak itu lalu meminta maaf dan menceritakan kondisi ibunya pada kakek itu.

Kakek itu berkata, “Kamu adalah anak yang baik. Saya bisa membantumu.”

Kakek itu mengeluarkan sepasang bakiak dari tasnya dan berkata, “Saat kamu sangat membutuhkan uang, pakailah bakiak ini dan berjalan beberapa langkah. Saat mendengar dentingan dari bagian bawah bakiak, kamu akan melihat emas dan perak di lantai yang bisa ditukar dengan uang.”
 

Anak itu menerimanya dengan penuh rasa hormat.

Kakek itu juga berkata, “Setiap kali mengenakan bakiak ini, tubuhmu akan menjadi lebih pendek.”

Anak itu berkata, “Saya akan menggunakannya dengan bijaksana.”

Setelah membawa bakiak itu pulang ke rumah, dia mencoba mengenakan bakiak itu untuk berjalan beberapa langkah dan sungguh terdengar dentingan di lantai. Dia segera menanggalkan bakiak itu dan mengumpulkan emas dan perak di lantai. Dia segera menukarkannya dengan uang, lalu meminta dokter untuk mengobati ibunya. Hingga ibunya sembuh total, masih banyak uang yang tersisa.
 

Beberapa waktu kemudian, pamannya berkunjung ke rumahnya. Melihat ibunya sudah sembuh total dan kondisi ekonomi mereka sepertinya membaik, pamannya merasa heran dan bertanya padanya. Anak itu menceritakan semuanya dengan jujur.

Pamannya lalu menyuruhnya untuk menunjukkan bakiak tersebut. Pamannya menerima bakiak itu dan berkata, “Kamu pasti sedang berbohong. Saya akan mengambil bakiak ini.”

Anak itu sungguh tidak berdaya.
 

Setelah mengambil bakiak itu, pamannya mengenakannya. Kemudian, emas dan perak benar-benar muncul. Pamannya sangat gembira. Dia mengumpulkan semuanya, lalu mengenakan bakiak itu lagi.

Sepanjang hari, dia terus mengenakan bakiak itu. Tanpa disadari, tubuhnya sudah lebih kecil daripada bakiak itu.

Kisah ini hanyalah perumpamaan untuk mengajari kita menapaki jalan yang benar. Jika kita tidak memperhatikan langkah kita, meski bertemu kesempatan yang baik, kita juga akan lupa diri. Sikap lupa diri ini akan melukai diri sendiri. Karakter kita juga akan ternoda karena mengejar keuntungan.

Lihatlah anak yang menapaki jalan yang benar itu. Dia tahu berpuas diri dan memenuhi tanggung jawabnya sehingga bisa menjalani hidup dengan baik.

Inilah yang sering saya katakan, “Melakukan hal yang seharusnya dilakukan ialah kebijaksanaan, melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan ialah kebodohan.”

Anak itu bersungguh hati berbakti pada ibunya sehingga memperoleh buah karma baik. Dia juga tahu berpuas diri dan bersyukur. Inilah yang seharusnya dilakukan. Jika kita enggan menolong orang lain dan hanya memikirkan keuntungan pribadi, kita akan terus melakukan hal-hal yang tidak bermoral. Ini berarti melukai diri sendiri.

Saudara sekalian, perjalanan hidup kita sangat panjang. Jika kita tidak menjaga langkah kita, salah selangkah saja, langkah-langkah berikutnya juga akan salah. Konsekuensinya sungguh tidak terbayangkan. Jadi, kita harus menjaga pikiran kita dengan baik dan menapaki jalan yang benar dengan mantap.