Kehidupan bagaikan drama yang dimainkan di atas panggung. Kita tidak tahu panjang atau pendeknya kehidupan kita. Kita bagai orang yang lewat di jalan. Ada orang yang lewat dengan tergesa-gesa sehingga tidak bisa menikmati pemandangan apa-apa selama perjalanan. Ada pula orang yang bersinggah cukup lama. Namun, bagaimanapun, mereka hanya bersinggah. Akan tetapi, banyak orang yang tidak memahami hal ini.
Sungguh, di dunia ini, tidak ada yang bisa hidup abadi. Kehidupan bagaikan drama. Dalam drama ini, terdapat orang yang kita kasihi, orang yang kita benci, anak kita, orang tua kita, orang-orang yang dekat dengan kita, dan berbagai peran lainnya. Semua itu hanyalah sebutan. Ada sebutan “orang tua”, “kekasih”, “anak”, “kerabat”, dan berbagai sebutan lainnya.
Saat sedang berjalan di jalan, kita mungkin menyapa orang yang kita temui. Kita hanya berpapasan dengan mereka dan berkenalan dengan mereka karena suatu jalinan jodoh. Terkadang, orang yang kita kenal seperti ini mungkin bisa menjadi anggota keluarga kita dan memainkan peran penting dalam kehidupan kita.
Saat kita terlahir di dunia ini, siapa orang tua kita, siapa saudara kita, siapa orang yang akan memiliki hubungan dekat dengan kita, semuanya sesuai dengan jalinan jodoh kita. Saat memiliki anak, orang-orang dipenuhi sukacita. Semakin banyak anak cucu, semakin banyak berkah yang dimiliki. Namun, setelah jalinan jodoh berakhir, orang-orang tetap melekat dan enggan kehilangan. Saat anak mereka meninggalkan mereka atau meninggal dunia, mereka merasakan penderitaan tak terkira.
Dalam Sutra, terdapat sebuah kisah. Ada seorang tetua yang sangat kaya. Di usia lanjut, dia baru memiliki seorang putra. Putranya sangat menggemaskan dan disukai setiap orang yang melihatnya. Tetua ini mengasihi putranya bagai mengasihi nyawanya sendiri. Pada usia tujuh tahun, putranya yang tak menderita penyakit apa pun putranya yang tak menderita penyakit apa pun tiba-tiba berhenti bernapas dan meninggal dunia. Sang ayah dilanda kepiluan yang mendalam. Dia menggendong putranya sambil menangis hingga jatuh pingsan. Setelah siuman, dia kembali menggendong putranya sambil menangis. Dia enggan menyerah pada putranya. Berhubung dia bersikeras, akhirnya kerabat dan temannya menarik putranya darinya secara paksa. Kemudian, putranya dikebumikan.
Sang ayah sangat menderita. Dia berkata, “Saya harus membawanya kembali.” Kemudian, dia pun pergi.
Suatu hari, dia tiba di tempat pelatihan seorang praktisi brahmana. Dia memohon praktisi tersebut untuk memberinya petunjuk guna menemukan putranya.
Praktisi yang tidak bisa menolak permohonan tetua ini akhirnya berkata, “Teruslah berjalan ke arah selatan hingga ke sebuah pulau kecil di tengah sungai. Raja Yama akan melewati tempat itu. Mintalah putramu dari Raja Yama.”
Sang ayah pun memulai perjalanannya. Berhari-hari kemudian, dia melihat sebuah sungai yang di tengahnya terdapat sebuah pulau kecil. Berhubung banyak orang yang melewati tempat itu, dia berkata, “Siapa yang di sini yang merupakan Raja Yama?”
Kemudian, Raja Yama berkata, “Ada apa kamu mencari Raja Yama?”
Sang ayah berkata, “Saya menginginkan putra saya. Tolong kembalikan putra saya.”
Raja Yama berkata, “Berhubung kamu begitu bersikeras ingin menemukan putramu, maka temukanlah dia. Jika dia ingin pulang bersamamu, kamu boleh membawanya pulang.”
Mendengar bahwa Raja Yama bersedia melepas putranya, dia sangat gembira. Jadi, dia terus melangkah maju. Setelah menemukan putranya, dia segera menarik tangannya dan berkata, “Apakah kamu tahu bahwa kepergianmu membuat Ayah dan Ibu sangat sedih? “Ayo, kita pulang.”
Anak ini menatap sang ayah dengan marah dan berkata, “Orang tua yang bodoh. Saya hanya bersinggah di rumahmu. Saya akan memiliki orang tua baru di kehidupan mendatang. Ke mana kamu bisa membawa saya pergi?”
Anak ini lalu mendorongnya dan berlari menjauh.
Mendengar jika putranya enggan pulang bersamanya, tetua ini tidak tahu ke mana dia harus pergi. Kemudian, dia berpikir, “Saya seharusnya menemui Buddha.”
Setelah bertemu dengan Buddha, dia menceritakan pengalamannya dalam mencari putranya.
Buddha lalu berkata, “Engkau memang orang tua yang bodoh. Manusia terlahir di dunia ini karena adanya jalinan jodoh. Kini jalinan jodoh kalian telah berakhir, berusaha membawanya kembali hanya akan mendatangkan penderitaan.”
Tetua ini akhirnya mengerti dan tersadarkan. Banyak orang yang bekerja keras seumur hidup dan menghasilkan banyak uang, tetapi apakah itu tujuan hidup? Saat putranya lahir, tetua ini sangat gembira. Namun, putranya hanya hidup tujuh tahun. Pada usia 7 tahun, putranya meninggal dunia. Dia bersusah payah baru bisa menemukan putranya, tetapi putranya malah berkata bahwa dia adalah orang tua yang bodoh. Apakah ini tujuan hidup tetua tersebut?
Setelah tersadarkan, tetua ini menjadi seorang umat Buddha yang taat dan sangat menjunjung Dharma. Dia memahami bahwa kehidupan bagai drama dan setiap orang hanya bersinggah. Sesuai jalinan jodoh, setiap orang memainkan peran yang berbeda-beda dari kehidupan ke kehidupan dan terkekang oleh perasaan cinta, benci, dan dendam. Karena itulah, timbul kesedihan dan penderitaan. Mengapa tetua ini begitu bersikeras untuk membawa kembali putranya? Jalinan jodoh mereka sudah berakhir, untuk apa dia melekat padanya? Setelah mendapat bimbingan dari Buddha, dia akhirnya tersadarkan. Jika tidak, dia akan terus terbelenggu dalam ketidaktahuan. Demikianlah kehidupan manusia.
Demikianlah dituliskan kisahnya dari video Master Cheng Yen Bercerita – Ayah Mencari Anak (138) https://youtu.be/VX2kZ0F2ptw
Master Cheng Yen Bercerita : Disiarkan di Stasiun Televisi Cinta Kasih DAAITV INDONESIA :
Channel
Jakarta 59 UHF, Medan 49 UHF
Master Cheng Yen Bercerita Tayang Setiap Hari Senin Dan Selasa Pukul
06.30 Wib, 14.45 Wib, 08.30 Wib, 22.00 Wib. Hanya Di Daai Tv.
TV Online : https://www.mivo.com/live/daaitv
GATHA PELIMPAHAN JASA
Semoga
mengikis habis Tiga Rintangan
Semoga memperoleh kebijaksanaan dan memahami kebenaran
Semoga seluruh rintangan lenyap adanya
Dari kehidupan ke kehidupan senantiasa berjalan di Jalan Bodhisattva