Buddha membabarkan Dharma di dunia dengan berbagai perumpamaan, kisah, dan metode terampil. Contohnya, pada zaman Buddha, suatu hari, di Jetavana, Ananda dan Buddha keluar dari vihara untuk mengumpulkan makanan. Dalam perja
lanan ke kota, mereka melihat sepasang suami istri yang tidak bisa melihat. Putra mereka yang berusia 7 atau 8 tahun menggandeng mereka berdua yang tidak bisa melihat untuk berjalan dan mengemis. Dia terkadang mendapatkan makanan dan terkadang tidak.
Saat mendapatkan makanan, dia selalu memberikan yang terbaik kepada orang tuanya. Saat makanan tidak cukup, dia memberi tahu orang tuanya bahwa dia sudah sangat kenyang, padahal sesungguhnya, makanan yang didapatkan hanya cukup untuk orang tuanya.
Saat sama sekali tidak mendapatkan makanan, dia akan membawa orang tuanya ke tempat yang agak sejuk dan pergi sendiri untuk meminta makanan. Dia sangat bersusah payah. Makanan yang didapatkan, ada yang lebih kasar dan ada yang lebih bagus. Dia memberikan yang bagus kepada orang tua dan memakan yang kasar agar tidak kelaparan.
Melihat anak ini begitu berbakti dan perhatian serta menghormati orang tuanya, Ananda sangat tersentuh. Buddha berkata, “Aku juga tersentuh melihatnya dan teringat akan kehidupan lampau-Ku.” Ananda segera bertanya, “Yang Dijunjung, bagaimana kehidupan lampau-Mu?”
Buddha lalu berkata, “Di salah satu kehidupan lampau-Ku, saat orang tua-Ku kelaparan, Aku menyayat daging dari tubuh-Ku dan mempersembahkannya kepada mereka.” Ananda segera menanyakan jalinan jodoh di baliknya.
Suatu ketika, ada seorang raja yang membagi negerinya kepada sepuluh anaknya dan menyuruh mereka untuk menjaga negeri masing-masing. Anak bungsunya kebagian wilayah perbatasan dan harus pergi ke sana untuk menjaga wilayahnya. Berhubung rakyat giat bercocok tanam, negeri kecil di perbatasan itu termasuk makmur.
Suatu hari, ada sebuah negeri tetangga yang mengerahkan pasukan untuk merebut wilayah kekuasaannya. Pasukan yang dimilikinya tidak mampu melawan para penyerang sehingga dia segera melarikan diri bersama ratu dan pangeran dan hendak kembali ke tempat ayahandanya.
Perjalanan diperkirakan butuh waktu tujuh hari. Jadi, mereka menyiapkan makanan untuk tujuh hari. Namun, mereka salah mengambil jalan. Akhirnya, makanan mereka habis. Seberapa jauh lagi mereka harus berjalan? Mereka sudah tidak punya tenaga untuk terus berjalan.
Ratu lalu berkata kepada sang raja, “Tanpa makanan, kita bertiga akan mati kelaparan di jalan. Lebih baik kalian memakan dagingku agar kalian bisa kembali ke tempat Ayahanda.” Raja berkata, “Bagaimana mungkin aku tega memakan dagingmu?”
Mendengar semua ini, sang pangeran berkata, “Kalianlah yang memberiku kehidupan dan tubuh ini. Anak tidak seharusnya makan daging ibu. Sebaliknya, sudah seharusnya anak memberi persembahan kepada orang tua. Dengan memakan dagingku, kalian bisa bertahan hingga pulang.”
Namun, bagaimana mungkin orang tuanya sampai hati? Karena itu, saat orang tuanya tidak memperhatikan, sang pangeran mengambil pisau ayahandanya dan memotong daging dari tubuhnya sendiri. Dia berkata kepada orang tuanya, “Aku telah memotong sepotong daging dari tubuhku. Berhubung tidak tahu berapa jauh lagi kita harus berjalan, aku harus tetap hidup agar dapat terus menyediakan daging bagi kalian sepanjang jalan. Setelah dekat, kalian akan terselamatkan.” Orang tuanya sangat tersentuh melihatnya. Berhubung dia terus memohon kepada orang tuanya, akhirnya orang tuanya memakan dagingnya dan dapat bertahan hidup.
Sepanjang perjalanan, dia terus bertahan agar dapat terus menyediakan daging bagi orang tuanya. Dewa pun tersentuh melihatnya dan datang dengan menjelma menjadi manusia. Dewa itu berkata, “Memberikan dagingmu sebagai persembahan bagi orang tuamu, apakah engkau tidak menyesal? Apakah engkau tidak sedikit pun membenci orang tuamu yang tega memakan dagingmu?”
Pangeran berkata, “Tubuhku memang diberikan oleh orang tua. Saat orang tua mengalami kesulitan, sudah seharusnya aku membalas budi mereka.” Dewa itu berkata, “Apa keinginanmu? Apakah engkau ingin lahir di alam surga?”
Pangeran berkata, “Apa bagusnya lahir di alam surga? Saat berkah dan usiaku di alam surga habis, aku tetap akan terlahir di alam lain dan mengalami penderitaan tak terkira. Jadi, aku tidak tamak akan kenikmatan di surga. Aku hanya berharap dapat mempersembahkan tubuhku kepada orang tuaku agar mereka dapat bertahan hidup dan di kehidupan mendatang, aku dapat membawa manfaat bagi semua makhluk dari kehidupan ke kehidupan. Aku harap setelah mencapai pencerahan, aku dapat menyelamatkan semua makhluk.”
Kisah yang Buddha ceritakan ini sungguh tidak terbayangkan bagi kita. Namun, inilah kisah tentang bagaimana Buddha melatih diri berkalpa-kalpa yang tak terhingga lalu. Saat itu, bagaimana kondisi kehidupan di dunia ini? Melihat anak yang begitu berbakti itu, Buddha menceritakan bagaimana Beliau melatih diri di kehidupan lampau.
Berbakti adalah dasar dari segala kebajikan yang hendaknya dipraktikkan dari kehidupan ke kehidupan. Untuk membimbing orang-orang, Buddha menggunakan kisah kehidupan lampau-Nya, kisah kehidupan lampau murid-murid-Nya, kisah manusia, kisah hewan, dan berbagai perumpamaan.
Buddha memberikan ajaran dengan berbagai cara. Jadi, kita harus percaya bahwa dengan berbakti dan berbuat baik, kita dapat melatih diri dan memutus noda batin. Dharma dapat membersihkan batin kita sehingga kita makin dekat dengan sifat hakiki yang murni.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah