Sebagai manusia, kita harus mengerti prinsip kebenaran, terlebih harus tahu cara untuk menghadapi orang dan masalah. Jadi, Buddha mengajarkan kepada kita bahwa kita harus menerapkan prinsip kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan orang keliru dalam memahami kebenaran.

Orang yang memahami kebenaran tahu bahwa segala benda materi dalam kehidupan ini adalah sarana untuk membantu kehidupan kita. Materi bertujuan untuk kita manfaatkan. Orang yang sadar hanya memanfaatkannya dalam keseharian. Sebaliknya, orang yang tersesat malah dikuasai oleh kekayaan materi.

 

Kita sering mendengar orang-orang yang tamak. Mengapa mereka bisa begitu tamak? Karena pikiran mereka telah dikuasai oleh materi dan nafsu terhadap keuntungan. Pikiran mereka tak dapat lagi menghindar dari jebakan ketamakan dan nafsu keinginan.

Orang yang sadar akan tahu bahwa segala sesuatu tidak dapat dibawa serta, hanya karma yang terus mengikuti. Segala benda materi di dunia hanya ditujukan untuk membantu kehidupan kita. Saat memilikinya, kita harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Jika tahu cara untuk memanfaatkannya, kita dapat menciptakan karma baik. Jika tidak tahu caranya, kita dapat menciptakan karma buruk.

 

Di zaman Buddha, Buddha pernah menceritakan sebuah kisah kepada para siswa-Nya.

Di Magadha, ada seorang tetua bernama Sankha yang memiliki harta berlimpah. Di samping itu, di Varanasi, ada tetua bernama Piliya yang juga sangat kaya. Mereka berdua adalah teman baik.

Suatu hari, Varanasi dilanda bencana alam. Piliya kehilangan harta kekayaannya. Dia pergi mencari Sankha. Sankha bertanya, “Mengapa kamu jadi seperti ini?” Piliya lalu menceritakan apa yan terjadi.

Sankha lalu berkata, “Aku bisa memberimu setengah dari harta kekayaanku. Kamu bisa membangun kembali rumahmu.” Jadi, Sankha memberi Piliya setengah dari emas dan pelayan miliknya serta berpesan kepada para pelayan itu untuk mengikuti Piliya kembali ke Varanasi. Setelah memperoleh bantuan yang besar itu, Piliya membangun kembali rumah dan usahanya.

Beberapa tahun kemudian, giliran Magadha yang tertimpa bencana alam. Seluruh kekayaan Sankha habis terbawa air. Dia tidak memiliki apa-apa lagi.

Saat itu Sankha menghibur istrinya dengan berkata, “Dahulu Piliya juga pernah tertimpa bencana alam seperti ini. Aku memberinya setengah dari hartaku. Kini aku dapat meminta bantuannya.” Istrinya setuju. Jadi, Sankha membawa istrinya berangkat ke Varanasi.

Setelah berjalan kaki sampai gerbang Kota Varanasi, Sankha berkata kepada istrinya, “Kamu pasti lelah setelah berjalan bersamaku seperti ini. Aku melihat di sana ada sebuah rumah kosong. Kamu bisa beristirahat sejenak di sana.” Istrinya lalu menunggu di rumah itu.

Sankha lalu bergegas pergi ke rumah temannya. Saat penjaga di sana mengabarkan kedatangannya, Piliya lalu berkata, “Suruh dia masuk.” Setelah melihat Sankha dibawa masuk, Piliya bertanya, “Ada perlu apa datang kemari?”

 

Sankha menceritakan semuanya dan bertanya, “Dapatkah kamu membantuku untuk membangun kembali rumahku?”

Piliya menjawab, “Tidak mungkin. Namun, berhubung kamu sudah ada di sini, aku akan berikan sedikit makanan untuk kamu bawa pulang. Kamu tunggu saja di luar.” Sankha hanya bisa menunggu di luar.

Piliya berpesan kepada pembantunya, “Bungkuslah tepung jagung yang sudah lama dan berikan sebanyak satu kali makan untuknya.” Pembantunya mengikuti pesan itu.

 

Sankha lalu menerimanya dan kembali pada istrinya. Dia berkata kepada istrinya sambil menangis, “Piliya tidak mau membantu kita, tetapi dia memberi kita makanan untuk sekali makan.”

Saat itu, seseorang lewat di depan rumah kosong itu. Dia merasa seperti mengenal Sankha. Ternyata Sankha dahulu adalah tuannya. Dia lalu bertanya apa yang terjadi. Sankha pun menceritakan semuanya pada pelayan ini. Si pelayan ini lalu menghibur mantan tuannya, “Anda dapat tinggal di rumah saya.” Dia lalu membawa tuannya beserta istri pulang.

Pelayan ini lalu mengabarkan kepada pelayan lainnya bahwa tuan mereka terdahulu datang ke Varanasi. Mereka sangat senang mendengarnya, lalu datang mengunjunginya.

Berita ini kemudian terus tersebar hingga ke kota, bahkan sampai ke telinga Raja. Raja sangat marah dan memerintahkan kedua tetua itu menghadapnya. Raja terlebih dahulu bertanya yang dialami Sankha. Sankha menceritakan semua yang terjadi pada Raja. Raja lalu bertanya kepada Piliya. Piliya hanya menundukkan kepala dan tidak menjawab.

Raja berkata dengan marah, “Berikan seluruh hartamu kepada Sankha.”

Sankha segera berkata, “Aku tidak menerimanya. Aku hanya ingin dia mengembalikan barang-barang yang dahulu aku berikan kepadanya.”

Raja terkesan pada kebesaran hati Sankha dan memutuskan bahwa Piliya harus mengembalikan semua yang pernah Sankha berikan kepadanya.

Sankha lalu membawa sekelompok pelayan, emas, dan hartanya pulang untuk membangun kembali rumahnya.

 

Setelah menceritakan kisah ini, Buddha berkata kepada para bhiksu, “Tahukah kalian? Piliya sekarang adalah Devadatta. Sankha sekarang adalah Aku, Sakyamuni. Dalam berbagai kehidupan lampau, Aku selalu membalas kejahatan dengan kebaikan. Aku terus membantu dan memberi kepada Devadatta. Namun, air susu tetap dibalas air tuba. Ini adalah tabiat buruk bawaannya. Tabiatnya adalah ketamakan dan kebencian. Tabiat buruk ini selalu ada di dalam batinnya.”

Meski ia berkali-kali bertekad untuk melatih diri, benih kebencian terus tertanam dalam batinnya. Meski selalu diberi, dia tidak pernah puas. Bagaimanapun dibimbing, dia tidak pernah bersyukur.

Tabiat buruk manusia terpupuk dari kehidupan ke kehidupan. Jika dapat memahami kebenaran dan tahu bahwa materi hanyalah ditujukan untuk dimanfaatkan sementara, kita akan menjadi orang yang sadar. Jika tidak memahami kebenaran, kita akan melekat pada harta kekayaan dan terjerumus ke dalam jurang nafsu keinginan. Dengan begitu, kita akan sangat menderita.

Jadi, kita harus belajar untuk memahami kebenaran dan mengerti cara hidup sebagai manusia. Inilah yang harus kita pelajari. Untuk itu, kita harus selalu mengingatkan diri sendiri.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah