Kita hidup di alam manusia. Kehidupan kita tak luput dari hubungan antarmanusia. Kehidupan setiap orang tak luput dari masyarakat dan harus berinteraksi dengan orang banyak. Selain “saya“, juga ada “Anda” dan “dia“. “Anda” dan “dia” mungkin adalah keluarga atau orang terdekat “saya“. Contohnya, dalam satu keluarga, terdapat hubungan antara ayah dan anak, ibu dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, dan sebagainya. Semua ini melibatkan “manusia“.

Dalam interaksi antarmanusia, kita harus sangat jujur. Terhadap keluarga dan orang terdekat saja kita harus sangat jujur, apalagi terhadap orang lain. Agar bisa hidup gembira dan bahagia di dunia ini, yang harus kita praktikkan hanyalah “kejujuran“. Dengan jujur satu sama lain, barulah kita bisa saling memahami.

Kata orang, “Orang-orang yang saling memahami dapat hidup berdampingan.” Jika saling memahami, kita tidak akan saling mencurigai. Jika tidak saling mencurigai, tidak akan timbul rasa dendam dan benci. Jadi, “kejujuran” merupakan jembatan penghubung terbaik antarmanusia. Inilah kehidupan yang bahagia. Jika yang ada hanyalah kebohongan, bukan kejujuran, hubungan orang tua dan anak ataupun suami istri tidak akan harmonis. Jadi, kejujuran harus ada, tidak boleh tidak.

Ada seorang ayah dan putranya yang sangat mengasihi satu sama lain. Meski demikian, mereka enggan mengungkapkannya. Adakalanya, saat disuruh ayahnya pergi ke timur, sang putra malah pergi ke barat; saat disuruh melangkah maju, dia malah melangkah mundur; saat disuruh mendaki gunung, dia malah pergi ke laut.

Dia jelas-jelas tahu bahwa ayahnya sangat mengasihinya dan dia pun sangat mengasihi ayahnya, tetapi dia terus berpikir bahwa dia harus menunjukkan bahwa dia punya pemikiran sendiri agar ayahnya tidak mengekangnya dalam segala hal. Jadi, dia berusaha untuk membangkang. Meski demikian, hati mereka tetap dipenuhi cinta kasih.

Suatu hari, sang ayah merasa tidak berdaya dan berpikir, “Anak ini begitu tidak patuh. Apa yang harus aku lakukan? Jika aku meninggal dunia suatu hari nanti, dia tidak akan mengurus pemakaman sesuai keinginanku. Kini, aku harus memikirkan cara agar dia dapat mengurus pemakaman sesuai keinginanku.”

Dia berharap setelah meninggal dunia, dia dapat dimakamkan di pegunungan agar dapat memandang ke bawah dari tempat yang tinggi. Inilah harapannya. Dia berpikir, “Jika aku menyuruhnya memakamkanku di pegunungan, dia pasti akan memakamkanku di tepi sungai.” Dia lalu mendapatkan sebuah ide cemerlang dan berkata kepada putranya, “Ayah tidak memiliki permintaan apa pun terhadapmu. Ayah hanya berharap kamu dapat mengabulkan harapanku mengenai pemakamanku kelak. Ayah berharap kamu dapat memakamkanku di tepi sungai kelak. Inilah permintaan terbesarku terhadapmu.”

Setelah mendengar ucapannya, putranya senantiasa mengingat permintaannya ini. Dalam kehidupan sehari-hari, sang putra tetap membuat ayahnya merasa bahwa dia tidak patuh, tetapi di dalam hatinya, dia telah mengingat permintaan ayahnya. Hingga ayahnya meninggal dunia, dia merasa bahwa dia harus menuruti permintaan ayahnya.

Dia sering berpikir, “Saat Ayah masih hidup, mengapa aku tidak patuh padanya dan sering membuatnya marah? Aku sungguh durhaka. Jika tahu bahwa Ayah akan meninggal dunia secepat ini, aku seharusnya membuatnya gembira setiap hari.”

Jadi, dia sangat menyesal tidak mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya. Dia sungguh sangat menyesal. Karena itu, dia memutuskan untuk menuruti permintaan ayahnya. Namun, dia juga berpikir, “Amankah jika dimakamkan di tepi sungai? Jika turun hujan deras dan air sungai meluap, bukankah sangat berbahaya? Apakah jenazah Ayah akan hanyut? Akan tetapi, ini adalah wasiat Ayah.”

Dia merasa bahwa dia harus patuh pada ayahnya dalam hal ini dan memakamkan ayahnya di tepi sungai. Karena itu, dia pun melakukannya. Namun, dia merasa risau setiap hari. Saat cuaca mendung, dia khawatir akan turun hujan. Karena itu, dia sering pergi ke tepi sungai. Dia tidak bisa melupakan saat ayahnya masih hidup, bagaimana dirinya membangkang dan sering membuat ayahnya marah.

Saat ini, dia bertindak sesuai permintaan ayahnya, tetapi diri sendiri malah merasa khawatir. Saat turun hujan, cuaca mendung, atau bertiup angin kencang, dia selalu berada di sekitar makam ayahnya. Warga desa merasa bahwa kehidupannya mulai tidak wajar karena selalu berada di sekitar makam. Karena menyalahkan diri sendiri, dia sulit untuk makan dan minum. Akhirnya, dia meninggal dunia di samping makam.

Setelah dia meninggal dunia, sering terlihat seekor burung besar terbang di sekitar makam, seperti anak muda tersebut yang berada di sana setiap hari. Karena itu, warga desa berkata bahwa burung tersebut adalah anak muda itu. Penyesalannya membuatnya terbang di sekitar makam setiap hari dan terus memanggil ayahnya.

Sesungguhnya, kisah ini mengingatkan kita untuk mengungkapkan isi hati kita dengan jujur. Kita hendaknya senantiasa membina kejujuran. Sang putra mengasihi ayahnya, ayahnya pun sangat mengasihinya. Lalu, mengapa mereka tidak bisa mengungkapkannya dengan jujur?

Dalam kehidupan sehari-hari, baik antara orang tua dan anak maupun antara suami dan istri, cinta kasih selalu ada. Tanpa cinta kasih, tidak akan ada suami istri ataupun orang tua dan anak. Cinta kasih hendaknya sering diungkapkan untuk mendekatkan hati satu sama lain. Jadi, jujur sangatlah penting. Hati dan mulut harus selaras.

Kita hendaknya senantiasa membina ketulusan cinta kasih antarmanusia. Jika ingin hidup bahagia, pikiran sangatlah penting. Jadi, Saudara sekalian, jagalah pikiran dengan baik. Ungkapkanlah cinta kasih terhadap sesama dengan jujur. Jangan hanya menyimpannya di dalam hati ataupun malah melakukan hal yang bertolak belakang. Kejujuran merupakan bagian penting dalam pelatihan diri.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet (DAAI TV Indonesia)